Oleh: Maman S. Mahayana

Pemilihan buku sastra untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra), memang bukan untuk membuat kanonisasi (sejarah sastra) atau seleksi karya unggulan. Sama sekali bukan untuk itu, melainkan untuk menawarkan kesesuaian, ketepatan, dan kemungkinan karya itu dimanfaatkan bagi pengembangan (i) kreativitas, (ii) apresiasi, dan (iii) wawasan siswa. Pertimbangan (i) keterbacaan, (ii) keterpahaman, dan (iii) kesesuaian dengan tingkat pengetahuan siswa dalam pemilihan buku sastra adalah aspek yang harus menjadi perhatian utama.

Dalam pemilihan buku sastra itu, ada kriteria penilaian dan argumen yang mendasarinya.

Ketika kumpulan puisi J.E. Tatengkeng atau Amir Hamzah dipilih untuk bahan penunjang, pelengkap atau pengembang pengajaran (sastra) di sekolah dasar, pertanyaannya: sesuai nggak dengan tingkat keterbacaan, keterpahaman, dan kesesuaian wawasan atau pengetahuan siswa SD? Sebagian besar guru sastra (di SD, SMP, SMA) saja banyak yang nggak mudeng, gimana nasib para siswanya?
Misalnya lagi, novel Stasiun, Putu Wijaya yang peristiwanya dikembangkan lewat pikiran tokoh- tokohnya yang lalu dikenal sebagai teknik arus kesadaran (stream of consciousness), bagaimana menjelaskannya berkaitan dengan alur cerita jungkir balik yang menghancurkan logika formal dan hubungan sebab-akibat?

Saya kutip keterangan yang disampaikan di halaman 618 buku panduan: “Novel –Stasiun— yang memenangkan sayembara penulisan roman Dewan Kesenian Jakarta tahun 1975 ini plot cerita yang utuh, alur yang tegas, karakter atau penokohan yang subtil dan konsisten.” Plot cerita yang utuh itu yang gimana? Alur yang tegas itu yang kayak apa? Memangnya, plot dan alur itu makhluk yang berbeda? Lalu, apa pula maksud penokohan yang subtil dan konsisten? Jadi, pilihan buku apa pun, silakan! Tapi tolong, penjelasan tentang buku itu jangan ngawur bin kacauw alias jangan asal jeplak!

Perhatikan juga informasi tentang naskah drama Kapai-Kapai karya Arifin C. Noor. Dalam “Panduan Penggunaan secara Umum” (hlm. 696), ada pernyataan begini: “Naskah drama Kapai-Kapai Karya Arifin C. Noor mungkin tidak cocok ditujukan untuk pembaca usia SMA/SMK/MA/MAK awal karena jalan cerita yang multi tafsir (sic!) dan memiliki jalan cerita yang absurd. Pembaca muda mungkin akan kesulitan menangkap pesan moral yang ingin disampaikan karena disajikan secara implisit dan berbelit-belit.” Kalau begitu, ngapain naskah drama itu disertakan di sana? Jika pun temanya dianggap penting, penjelasannya jangan menambah bingung pemakai buku panduan itu!

Sastra Masuk Kurikulum: Sebuah Catatan Kecil

Di beberapa bagian yang lain, di halaman 150, misalnya, pengulas bahkan terkesan sok pinter.

Dalam novel Seri Petualangan Misteri: Bisikan Wayang Suket yang jadi bahasannya itu ada kata Petruk dan Bagong. Menurutnya, dua kata itu merepresentasikan bentuk kekerasan verbal. Oleh karena itu, perlu diganti dengan nama lain. Nama Bagong tidak perlu dinyatakan. Sementara nama Petruk bisa diganti dengan nama Devon agar terdengar lebih nyaman. Saya kutip pernyataannya:

“Kata „Petruk‟ bisa diganti dengan nama sang tokoh cerita, yaitu Devon. Dengan diganti Devon, kalimat tersebut terdengar lebih nyaman.” (hlm. 150). Pigimana ini? Pengarang tentu tak asal comot nama.
Maka, nama Bagong dan Petruk tidak muncul begitu saja. Di belakangnya ada pertimbangan sosio- budaya, bahkan filosofi. Tiba-tiba kok usul ganti saja dengan nama Devon?

Kelihatan di sini, pengulas selain tidak menghargai autentisitas karya pengarang, juga tidak paham kultur dunia pewayangan. Sok pinter lainnya, muncul di bagian akhir. Saya kutip lengkap pernyataannya: “Alur-alur cerita yang ada pada buku ini bisa diterapkan untuk mata pelajaran Seni Rupa, yaitu untuk Fase C pada elemen “Berdampak” dengan deskripsi “Murid mampu memberikan respon (sic!) terhadap kejadian sehari-hari, keadaan lingkungan sekitar, dan perasaan atau emosinya melalui karya seni rupa yang memberi dampak positif bagi diri dan lingkungan terkecilnya. Murid bisa memilih salah satu gambar bercerita dari 13 cerita sesuai dengan alur cerita yang ada.” Jadi, para siswa, selain diminta memahami teks sastra, juga diharapkan dapat mengalihwahanakannya ke dalam seni rupa. Wow! Buku itu untuk SD. Pertanyaannya: “Ini pelajaran sastra atau pelajaran seni rupa?”

Pertanyaan lain, menyusul …

CATATAN: Pemuatan tulisan ini di Blog Pustaka Kabanti telah mendapat persetujuan dari penulisnya, Maman. Mahayana.