Oleh : Syahril Wong Ugusandi

Saya akan berbagi sebuah cerita dari Kota Seribu Sungai. Mau dengar, kan? Begini ceritanya.

Musyawarah dan Rapat Kerja Nasional ILMIPI (Ikatan Lembaga Mahasiswa Psikologi Indonesia) telah usai. Kami pun beramah-tamah dilanjutkan dengan makrab (malam keakraban). Agenda terakhir adalah fieldtrip yang dipersiapkan oleh panitia pelaksana. Kegitan ini dipercayakan pada HIMA Psikologi Universitas Lambung Mangkurat, Kalimatan Selatan. Inilah alasan saya dan teman teman dari seluruh Indonesia yang terhimpun dalam ILMPI bertandan ke Kota Seribu Sungai untuk mengahadiri kegiatan tersebut. Kegiatan berlangsung di Gedung Asrama Haji Banjar Baru selama seminggu penuh. Inilah sebuah kegiatan yang cukup menguras tenaga dan pikiran selama musyawarah berlangsung.

Namun kelelahan perlahan siuman setelah malam keakraban antara panitia pelaksana dan peserta musyawarah, berlalu. Sedangkan suplemen pemulihan telah menanti esok harinya yakni menjajaki Pasar Terapung Tradisional. Ia terletak di Desa Sungai Pinang, Kecamatan Sungai Tabuk, Kabupaten Banjar. Sebuah kesempatan safari yang tidak boleh terlewatkan sebab ini merupakan kesmpatan langka yang belum pernah saya jumpai sebelumnya. Untuk menyaksikan langsung wisata pasar tradisional di hilir sungai serta akan terlibat langsung dalam transaksi jual-beli di atas perahu yang selama ini hanya bias disaksikan melalui televisi. Konon, Pasar Terapung tersebut disebut juga “Pasar Terapung RCTI Oke”.

Seleteh pulang dari makrab, kuhimpun tenaga dengan istrahat sejenak di atas tempat tidur meskipun dalam tempo yang singkat. Sebab panitia telah menjadwalkan pemberangkatan usai salat Subuh dan paling lambat pukul lima Subuh. Mengingat durasiwaktu pemberangkatan di pasar cukup singkat mulai dari jam 06.00—09.00 pagi wita.

Tak terasa bunyi alarm telah berkumandang memecah keheningangan dalam blok asrama.

“Kak, bangun kak. Kak, bangun kak.”

Suara itu terus diulang berkali-kali bahkan menggunakan bantuan megafon untuk menambah volume suara. Tak heran alaram itu sudah cukup akrab dengan sensor pendengaran selama satu minggu kegiatan, baik itu pagi hari, siang setelah menikmati makan siang, atau pun sore di sela-sela memanfatkan jam istrahat musyawarah.

SYAHRIL BANJAR 1
Syahril Wong Ugusandi di atas Pasar Terapung, Banjarmasin. (Foto: Syahril 2019)

Mata masih berat untuk dibuka. Rasanya ada setumpuk pasir yang berkelebat, rasa kantuk masih berkuasa atas diri. Namun, setelah mengingat agenda yang akan dilaksanakan hari ini, mencoba memaksakan diri meskipun nyawa sepenuhnya belum terkumpul seutuhnya.

Setelah semua peserta dan panitia siap, kami pun langsung menuju bus yang telah parkir manis menunggu kedatangan kami. Kami pun lepas landas dari asrama haji dengan suara bus yang membelah keheningan di tengah pagi buta. Suara nyanyian kawan-kawan turut menemani selama perjalanan dengan diiringi petikan gitar dan suara ketukan cajon ikut melengkapi warna musik. Sesekali seluruh penumpang menanyanyi serempak bila lagu yang dilantunkan cukup familiar.

Mendengar suara teman teman menyanyi serempak, saya hanya bisa senyum senyum sendiri mengingat momen di asrama sebelum berangkat. Masa ketika para personel band dadakan ini turut membatu panitia membangunkan teman teman yang masih nyaman dalam dekapan selimut. Mereka bernyanyi sekencang mungkin diringi ketukan cajon yang dilakukan oleh boling.

“Baaanguuun….bangun…bangun…banguuun. Ayo bangun, ayo bangun kita pergi, kitaaa pergiii piknik,” begitulah lagu yang terus diulang berkali-kali bahkan hampir seluruh panitia dan peserta ikut bernyanyi yang berada dalam blok.

Kegaduhan pun tak terelakkan. Namun, dengan begitu, seluruh teman pun langsung bangun karena tidak tahan dengan suran bising latunan band dadakan tersebut.

Empat puluh menit berlalu begitu cepat. Bus yang kami tumpangi pun mendarat di depan sebuah warung makan coto Bang Amat. Awalnya saya bingung, katanya mau pergi ke Pasar Terapung, tapi kok pasarnya tidak tampak sama sekali. Ternyata cek percek tempat tersebut merupkan dermaga kelotok (perahu bermesin). Jasa kendaran yang akan ditumpangi selanjutnya menuju tujuan wisata pasar tradisonal.

Kira-kira setelah 5 menit rehat, pihak panitia mengarahkan seluruh peserta utuk naik kelotok yang telah siap menanti. Sedangkan gulitanya alam perlahan menyembulkan dirinya di balik cadar cahaya. Trek..trek..teg..teg..teg. Nyanyian sendu mesin kelotok mengultimatum bahwa keberangkatan telah tiba. Daya tampung 1 kelotok pada kisaran 20-23 orang. Melihat jumlah anggota rombongan banyak sehingga pihak panitia menyewa tiga kelotok. Layanan jasa dari kelotok ini dikenakan tariff Rp 400.000,00 per rombongan. Setelah kelotok berangkat, setiap orang masing-masing mencari posisi ternyaman untuk menikmati kemolekan panorama alam sekitar. Saya sendiri memilih duduk bersama kawan di atas atap, sedangkan yang lain lebih memilih duduk dan baring di dalam kelotok.

Perlahan-lahan mentari pagi menampakkan diri, mengintip di balik ufuk timur dengan cahaya kemilaunya, membuat panorama sekitar nampak lebih jelas. Kiri dan kanan rumah panggung berbaris rapi beraturan. Sebagian tiang rumah tertancap dalam sungai. Sungai berwarana kopi mix alias warana kuning. Namaun tidak jarang selama perjalanan berlangsung kami menjumpai masyarakat sedang berktivitas, mulai dari mencuci, sikat gigi, mandi, ataupun hanya sekedar cuci muka.

Sembari menikmati cakrawala dan kesejukan udara di pagi hari, tentu kebiaasan generasi milenial tidak terlewatkan yakni mengabadikan momen dengan gawai masing-masing. Mengingat terlalu indah pemandangan bila terlewatkan begitu saja tanpa ada bukti dokementasi. Tiga puluh menit berlalu pasar mulai tampak dari kejauhan. Sesekali kelotok yang kami tumpangi berpapasan dengan perahu yang lainnya.

SYAHRIL BANJAR 2
Syahril Wong dan kawan-kawan di berlatar patung bekantan, Banjarmasin. (Foto: Syahril 2019)

Sekitar dua puluh meter dari jarak pusaran pasar dengan kelotok yang kami tumpangi, nahakoda perlahan mengurangi kecepatan. Sedangkan dari arah berlawanan para penjual berduyun-duyun, mendayung jukung (perahu tanpa mesin), menghampiri kami. Mereka juga menjajakan jualannya denga suara setengah berteriak, mulai dari jajanan kuliner sampai hasil pertanian bahkan ada aneka kerajinan tangan khas Kalimatan. Tidak jarang juga para penjual menawarkan jualannya dengan menggunakan pantun.

Saya hanya biasa planga-plongo sambil nyengir kuda mendengar latunan syair pantun dengan dialek kental khas Kalimatan. Hehehe…

Oh yah, di sini nilai tukar uang tidak menjadi alat tukar andalan. Bila sesama penjual bisa melakukan sistem barter berdasarkan kesepakatan meraka. Sedangkan para penjual didominasi oleh ibu-ibu rumah tangga pada kisaran usia kurang-lebih 40 tahun.

Setelah semua belanja, kami pun balik kanan kembali ke dermaga warung coto Bang Amat, menyelusuri hilir sungai Martapura. Di tengah perjalanan, kami masing-masing memamerkan hasil buah tangan dari Pasar Terapung. Kebanyakan dari hasi belanjaan sudah bias ditebak. Yah betul, ada yang beli makanan berat unuk sarapan pagi dan buah segar khas Kalimatan. Dari semua hasil shoping ada satu jenis buah unik yang menarik perhatian kami. Bentuknya hampir mirip dengan jeruk nipis, namun dagingnya seperti jeruk manis. Rasa penasarn tentu tidak bisa diobati, bila tidak dicicipi buahnya. Ada salah satu teman bernama Akbar yang mencicipinya dengan penuh kehati-hatian. Perlahan beliaunya masukkan buahnya ke dalam mulut. Tidak lama kemudian tiba-tiba ekspersi wajahnya berubah menjadi tujuh rupa, matanya meram, serta bahu diangkat ke atas sedikit lagi menyenuh daun telinganya. Melihat ekpresinya kami pun sontak ketawa terpingkal-pingkal. Dia dengan sigap mengeluarkan buah tersebut. “Giiilllaaa ini buah rasanya asem skali,” cetusnya dengan muka masam.

Melihat ekspersi dari Bang Akbar, teman-teman yang lain tidak mau ketinggalan. Bila hendak menolak maka akan dibujuk sebisa mungkin. Mereka pun secara bergantia mencicipi buahnya. Hasilnya pun tidak jauh berbeda dari ekspresi wajah Bang Akbar. Ketawa lagi kami, sudah pasti. Bodohnya, saya pun tidak mau ketinggalan mencoba memberanikan diri melumatnya. Rona wajah saya pun sudah bias ditebak bagaimana bentuknya. Dari bentuk wajah asli saya yang hampir gagah, akan bertambah jauh dari hampir gagah, to. Ternyata, rasanya memang asam sekali dan kepahit-pahitan. Dari semua yang mencicipi buah tersebut yang ekspresinya datar-datar saja, hanya satu orang, Kelvin namanya. Bahkan minta tambah lagi.

“Ini anak lidahnya mati rasa atau gimana?” batinku.

Di tengah keheranan dengan rasa buah jeruk itu, ada salah satu teman cewek yang bertanya.

“Buah apa sih namanya ini?” Ia bertanya ditujukan kepada salah satu teman panitia yang mendampingi.

“Ini kak namanya buah jeruk asem sambal. Rasanya memang asseeem,” sahutnya santai.
“Oh pantas asem sekali. Namanya saja jeruk asem,” lirih bang Akbar.

Tidak lama kemudian kelotok yang kami tumpangi berlabuh di temapat semula sebelum keberangakatan yakni diwarung coto Bang Amat. Kami pun langsung diarahkan untuk mencari bangku tempat duduk untuk menyantap coto khas Banjarmasin, setelah pemandangan dimajakan dengan keunikan wisata Pasar Terapung Tradisional di tengah sungai Martapura. Kali ini lidah yang akan dimajankan dengan kuliner khas Kalimatan. Sebuah jamuan yang memuaskan.

Oh yah, melalui kesempatan ini, saya mewakili dari teman -teman ILMPI Wilayah VI, mengucapkan terima kasih kepada teman-teman Panitia Hima Psikologi, Univesitas Lambung Mangkurat, Kalimatan Selatan atas jamuan dan keramahan selama keberadan kami di sana. Serta permohonan maaf bila ada perilaku dan bicara yang kuarang berkenan di hati.

Usai menyantap coto khas Banjarmasin dan istrahat sejenak, kami pun kembali diarahkan untuk naik kelotok. Kali ini rute safari menuju patung bekantan, sebuah fauna identitas Kalimatan Selatan, meskipun ada juga di beberapa wilayah Kalimantan hingga Malaysia dan Brunei. Di sana kami akan menunggu jemputan bus. Namun, sembari menunggu kebiasan Generasi Z kami, kumat kembali. Yah berpose ke sana ke mari sambil menikmati pemandangan pinggiran sungai di tengah kota.

Catatan ini pun usai sudah. Kutinggalkan Kota Seribu Sungai. Namun, ada satu sungai lain menetes di mataku. Sungai kenangan…

Banjarmasin—Kendari, 25 April 2019

SYAHRIL WONG UGUSANDI, namanya. Saat ini kuliah di Jurusan Psikologi, semester tujuh, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Halu Oleo (UHO) Kendari. Asal kampung, Desa Marobea, Kecamatan Sawerigadi, Kabupaten Muna Barat (Mubar), Sulawesi Tenggara. Tulisan ini adalah bagian dari tugas menulis sebagai relawan-anggota Pustaka Kabanti Kendari.

#PelatihanMenulisPustakaKabantiKendari
#LikaLikuDuniaMahasiswa
#PustakaKabantiKendari
#JurnalismeKomunitas
#MenulisMengabadikanKenangan
#HidupFanaMenulisAbadi