Di Kotamu, Timur dan Barat Bertemu

Di kotamu timur barat bertemu
Selaksa langit menyambut datang perginya pagi
Menunjuk satu nama, menumbuhkan ruas cahaya
Siang ke malam, bumi ke langit

Di pantai sasak, laut menyuarakan kegelisahan
Pada terumbu karang pada perut ikan dan lokan
Lanskap pantai menjadi tujuan, menumbuh dari keinginan
Datang ombak di pasir putih, angin tersenyum untuk tak cepat pergi

Aku datang, melihat tamalau seperti melihat jalan panjang
Meninggi, menuju puncak talago-talago
Mengajak angin menangkap buah rasa bahagia
Saat kaki mulai paham akan peristiwa-peristiwa

Tak ada yang lain di kotamu
Seperti awan yang pulang ke bukit gonjali
Menafsir mimpi para pendaki
Merajam mimpi-mimpi pulang kembali pada yang abadi

Seperti pulau dan pantai di kotamu
Sipagogo menjadi rumah bagi kedatangan
Putih air dan batu-batu yang merambati mata
Mengantar puisi menjelaskan kata-kata menjadi paling rahasia

Di kotamu barat timur bertemu
Kumandang azan, barzanji, dan doa mustajab
Mencatat rusuk-rusuk keabadian sebuah agama
Yang terus tumbuh dan besar untuk hidup bersama
Di kotamu juga aku dan cinta bertemu
Dengan bara rasa, dengan bismillah
Akar sebuah tanda di mana sejarah menulis
Suara dan doa-doa

Cirebon 2019

Malam Larut dan Sepi Membuka Baju

Pada malam,
Gelap larut menumbuh sepi
Kau datang dengan senyum perjumpaan
“Ada teh hangat, minumlah.”

Aku pada namamu
Ingin menulis segala perih
Atau bercerita tentang punah waktu
Bisakah aku tersesat
Atau hanya dalam mimpi yang bangun kesiangan

Kau tahu
Malam bisa saja lebih lama mengabarkan sepi
Tapi aku tak bisa menggambar jejak kecil penyesalan
Sebab kesepian selalu mundur saat siang memudarkan gelapnya

Mungkin ini hanya jawaban
Sesekali aku melihatmu dengan lelah
Ketabahan seakan tumbuh di matamu
Seperti ruh-ruh pijar kesepian yang berumah tangga dengan sedih
Menjaga panjang warna bahagiamu
Aku sesekali gemar menyimpan rindu itu
Dalam laci dan lemari baju
Agar kehangatan rasa selalu tabah merangkul segala

Kau tahu, sepagi ini aku belum melihatmu
Dalam perbincangan semalam, di dalam rumah bambu
Kau sebut sajak hanyalah bayang kesepian dari penyair
Atau lebih kau sebut istri ke dua dariku, ada kamar kata, cincin diksi
Dan malam pertama makna yang sulit mengeja waktu
Dan kau sendiri adalah puisiku
Yang selalu bernafas dalam tarian imajinasi
Merekam jejak perjalanan

: Bahwa malam selalu larut dan sepi membuka baju
Agar aku masuk dan meneruskan mimpi yang berangsur hilang
Menjadi bukit kenangan
Menjadi rajam dari temu yang tak hanya selesai dengan ciuman

Jabodetabek, 2019

Not-Not Kehidupan

di hidup ini, tujuan tetaplah sama
hanya tundaan rencana menumbuh
atau cerita basi merengek menipu waktu

cinta kita sudah belajar menulis tegak bersambung
kau mengajarkannya padaku
dempulan tertinggal terus berbenah
menyambungkan temali niat
menyusun rencana yang tertunda
entah

jangan terus mengaji masibmu pada lelah
menjemur segala asa di terik kepasrahan
sebab tiada waktu kembali memberi ruang
agar kembali menyulap doa bertemu rupa makna
menulis derita yaang sebenarnya hanya akting kita pada tuhan

pada hidup tak kita temukan jalan lurus
berliku, berbelok arah tanpa keinginan
menyapa yang lupa, mendengar kesalahan meratap di bahu kirimu
kita tak mengapa mengalah dan berunding
keringat tak butuh tisu untuk kering, mungkin cukup
rasa senyum manis
terasa panjang meski membuat luka sedih tak berkesudahan

pada tangga not hidup kita menyuarakan dendang tawa
apa yang kita tertawakan tidak lebih dari pesta bahagia
di mana pada doremi kita satukan awal
lalu fasollasido tetap kita pertahankan kepulangan
tapi pada pada akhir kita belum menemukan apa-apa
selain pintu sesal yang butuh perang dengan segala melintang
sebab yang kita tunggu hanya memberi makan
bagi hidup yang belum tumbuh gigi, merangkak, dan berjalan

2019

Suara Malam

ada jejak menerpa lubang sunyi
jam mengantuk di angka 00.00

rembulan mengunyah gelap
angin membanting jendela
daun jatuh ke tanah
suara laut, gerimis di atap rumah

tiang listrik dipukul dua kali
lolongan anjing dari rumah engkoh pijin
mengantar lupa orang pada ibadah
selanjutnya memilih tidur sepanjang liurnya

tanggal tua mengejar gajian
kasbon menumpuk, tagihan bulanan
beras, sayur juga buahan menipis di kulkas
bayaran sekolah anak, bau apek dari malasmu

suara malam, seperti batuk umur
renta, penglihatan semakin kabur
uzur menulis alamat, sesepi lihai keinginan
tak kunjung terukur

suara malam, seperti istrimu
mari tidur, pagi datang tak terduga
tiba-tiba saja kokok ayam tiga kali
tetangga ada yang mati frustasi

jauh di sana, pada tuhanmu
ada malam untuk meredam lelah
mengasingkan diri yang payah
menulangkan angka dan kata

2019

Pada Tuhan Aku Menulis Puisi

:bersama joko pinurbo

pada tuhan aku menulis puisi
puisi shalat, puasa, bersedekah kata-kata
apa kau tahu aku siapa, mudah saja jawabnya
berikan aku pertanyaan yang bisa kaujawab
biar tuhan menulisnya: ah kau selalu menunda ibadah
sebenarnya apa maumu

biarkanlah kata mengurus tubuhnya sendiri
mandi pada akar-akar hujan musim semi
bergelantungan di bajumu setiap hari
baik tidaknya itu tuhan yang ngurus; aku kamu
tidak usah khawatir, cemas hanya tiadanya niat untuk
melepaskan gairah doamu

tuhan tidak tidur hari ini, tidak juga kamu
mengejar bayang hari dan waktu
waktu hanya 24 jam, jangan sedih melulu kau kalungkan
perlu juga sesekali tertawa dengan cara sedih yang kau punya
sendawa hidup tidaklah melulu pahit, manis terkadang kecut tak pasti

pada tuhan aku kembalikan puisi
puisi hidup_mati, rezeki dan jodoh pasti
betapa luas sekali kesempatan itu
hingga lupa bagaimana tuhan menciptakan
sebab kita masih terlalu malu mengaku kecil
mengaku papa dan berkuasa atas segala yang dipunya

pada tuhan aku tidak lagi menulis puisi
jangan tanya
pikirkanlah sendiri bagaimana itu terjadi
tapi aku tetap ingin menjadi kata-kata
yang tuhan lepaskan dengan seribu jalan cahaya

2019

Saatnya Menulis Sajak untuk Daerah Jakarta dan Sekitarnya

dari ciliwung ke cisadane
wajahmu tersenyum di buku pelajaran sekolah
kali bekasi sampai citarum,
wangimu sudah sampai pulau madura
merasuki asin garam, wangi daun tembakaunya

waktu seperti air sungai mengaliri kotamu
begitu riang ucapkan selamat datang dan tinggal
di kotamu orang-orang melihat harapan bergerigi, tujuan pasti
hidup tidak ribet, kerja tidur, dan makan
kenyataan bermimpi lain, di sini urat dan keringat
seperti hujan mengunyah musim, tandas kehilangan angin

waktu berkejaran dalam buku harian
arus urban mengembang, bertaburan
bersama siklus kelahiran dan kematian
kita harus terbiasa
dengan makanan ringan, kaleng, cepat saji buatan pabrik-pabrik
penuh pengawet dan kolesterol tinggi
supermarket menjadi tetangga, gedung tinggi menunjuk langit
seakan ingin menulis
bahwa dialah langit di kotamu

sampai juga aku di tanahmu encang encing, enyak babe
tanah batavia dulu, sunda kelapa orang-orang menyebutmu dalam cerita
saat kawin campur dari ras betawi, portugis, belanda
menuju jalan campur darah lahirnya nama-nama di kotamu
jalan-jalan menjunjung nubuat pahlawan
sepanjang jalan itu ada bau mesiu,
tajam bambu runcing, teriakan lantang
dari para antek belanda, mengunyah segala hingga tiada,
sampai kata merdeka tumbuhlah sejarah

aku percaya bagaimana pitung dari pengumben rawa belong
dan jampang dari tanah jampang
pada mata hatinya ada batu mati di jalan kebenaran
menyulap tanah ini dilahirkan dari keringat para pekerja
sampai napasnya berakhir dengan sebutan pahlawan
lalu kepada nyai dasima kita akan berterima kasih
airmatanya terus mengembun di ari-ari kota ini
mencatat bagaimana perjuangan
dari lubang hitam sampai putih tulang-belulang

kotamu tak pernah mati
dari jalan jaksa sampai setu babakan
pencarian tak pernah selesai dan tamat
orang-orang mengukur sejarah lahirmu dari sudut lampu kota
mencuci lidah dengan cara sederhananya khas sajianmu
yang terus bertutur memanggil rindu cepat datang
atau hanya duduk membuang jenuh dalam labirin lelah,
muda-mudi mengulang malam minggu ke minggu
menutupi sepi, bertemu kawan lama atau hanya saling tukar rindu
dengan kekasih

ada saja cara bagaimana kotamu menyimpan surga
memulangkan aroma gairah
selalu hidup dalam degup puisi
selalu membuat sumur berahi
memanggil kehidupan kembali ke mati suri

Istana Puisi, 2019Kurliadi Blog Pustaka Kabanti

KURLIYADI lahir di kepulauan kecil Giligenting, Madura, bekerja sebagai pedagang kelontong (sembako) dan alumni Pondok Pesantren Mathali’ul Anwar, Pangarangan, Sumenep. Ia menulis cerita pendek dan puisi yang tersiar di beberapa media massa dan beberapa antologi. Sekarang berdomisili di Warung Madura Zayadi, Jalan Pamengkang Raya (Masjid Jami Baiturrahman), Blok Pahing, RT 03 RW 03, Kecamatan Mundu, Cirebon.