Oleh: Maman S. Mahayana**

Nh. Dini mempertahankan tradisi? Bukankah dalam novelnya, Pada Sebuah Kapal,1 Nh. Dini justru menggambarkan Sri, tokoh utama novel itu, melakukan hubungan pranikah yang dalam pandangan umum masyarakat Indonesia sebagai tabu? Bukankah dalam masyarakat yang berada dalam lingkaran kultur etnik mana pun (di Indonesia) keperawanan adalah mahkota perempuan yang wajib dipertahankan sampai kelak datang malam pertama perkawinan?

Bukankah bagian tubuh yang paling berharga pada diri perempuan cuma keperawanan, dan tidak ada lagi yang lain?

Tentu saja kita masih dapat menderetkan sejumlah pembenaran lain yang menegaskan, bahwa keperawanan bagi perempuan adalah segala-galanya. Peristiwa pranikah dalam novel Pada Sebuah Kapal itu, bagi saya, justru dalam konteks kesadaran tokoh Sri dalam menjaga dan mempertahankan kesucian tradisi yang sudah terinternalisasikan sebagai sikap hidup perempuan Jawa yang sangat menghormati keagungan budaya leluhur. Novel Pada Sebuah Kapal adalah contoh yang baik, betapa teguhnya keyakinan pengarang pada ideologi budaya yang dianutnya termanifestasikan dengan sangat halus, tegas, dan mantul!

Begitulah Pada Sebuah Kapal. Setiap kali kita membacainya lagi, setiap itu pula, sesuatu yang baru atau yang sebelumnya tak (: belum) tertangkap, seketika seolah-olah mencelat, nongol, muncul ke permukaan dan menjadikan kita memahaminya lebih kritis, lebih tajam, dan lebih lengkap lagi. Hampir selalu, dalam pembacaan ulang karya sastra, terlahir pemahaman dan pemaknaan yang lain lagi. Itulah yang saya tangkap selepas membaca kembali novel Pada Sebuah Kapal. Entah kapan pertama kali saya membaca novel itu, dan entah sudah berapa kali pula saya membacainya, tetapi selalu, mukjizat novel itu seperti mendorong saya melakukan tafsir lain dan menawarkan perspektif lain yang memungkinkan mengungkap makna yang juga lain!
***

Pada Sebuah Kapal memang ajaib. Jika kita tempatkan novel itu dalam perjalanan novel Indonesia, kita mendapatkan banyak hal baru yang ditawarkan Nh. Dini. Sejak pertama kali novel itu terbit, entah sudah berapa puluh orang yang berhasil ―disarjanakan‖ novel itu. Dan kini, jika kita berselancar di dunia maya—pada Google Scholar, misalnya, boleh jadi sudah ratusan penelitian yang dihasilkan Pada Sebuah Kapal dan novel-novel Nh. Dini lainnya, baik penelitian yang dilakukan di dalam, maupun di luar negeri yang berupa, makalah, tesis atau disertasi.

Bermacam-macam kajian lewat berbagai pendekatan menegaskan, bahwa Pada Sebuah Kapal memang mengandung sihir, dan sihir itu akan memancar begitu rupa jika kita membacanya lagi. Tetapi begitulah, kadang orang cenderung terpesona pada bentuk permukaannya belaka:

menangkap teks tersurat, dan bukan spirit kultural yang tersembunyi di balik teks. Maka, tidak terlalu mengherankan jika sebagian besar penelitian itu cenderung menyorotinya secara tematik yang lalu dikaitkan dengan citra perempuan Jawa, gerakan feminisme, dan perjuangan perempuan dalam kepungan budaya patriakhat. Apa yang dilakukan tokoh Sri dalam Pada Sebuah Kapal ditafsirkan sebagai pemberontakan pengarang pada kultur Jawa yang mengekang atau sebagai usaha mengangkat harkat perempuan (Jawa) dalam kesetaraan dengan posisi laki- laki. Sejauh pengamatan, tidak ada yang coba menempatkan novel itu sebagai upaya Nh. Dini mempertahankan keluhuran tradisi (Jawa), dalam kaitannya dengan ketokohan Sri dalam Pada Sebuah Kapal.

Sebelum kita membincangkan perkara—yang kini tidak lagi dianggap tabu—itu, patutlah kiranya kita menempatkan kehadiran novel Pada Sebuah Kapal dalam perjalanan novel Indonesia. Setidak-tidaknya, secara intrinsik, novel Pada Sebuah Kapal menawarkan model struktur yang baru pada zamannya, yaitu apa yang disebut sebagai pencerita akuan –tokoh aku yang menyampaikan cerita—melalui dua tokoh yang berbeda: Sri, Sang Penari dan Michel Dubanton, Si Pelaut.

Meskipun model pencerita semacam itu tidaklah sama sekali baru, struktur peristiwa yang membangun dua jalan cerita (alur) Pada Sebuah Kapal, yaitu Bagian Satu: Penari dan Bagian Dua: Pelaut dapat dikatakan sebagai bentuk kebaruan novel itu. Hamka dalam Di Bawah Lindungan Kabah (1938), misalnya, juga menggunakan bentuk pencerita akuan. Tetapi, hubungan pencerita aku (Hamid) dan aku (Zainab) dikembangkan melalui surat-menyurat.

Adapun kisahannya sendiri disampaikan lewat empat pencerita, yaitu (1) saya yang bertemu tokoh Hamid; (2) tokoh Hamid yang menceritakan dirinya sendiri; (3) Saleh yang menceritakan Rosna, istrinya sebagai teman Zainab; dan (4) Rosna yang mengabarkan keadaan sahabatnya, Zainab. Jadi, cerita inti dibingkai oleh cerita lain atau semacam cerita berbingkai, yaitu cerita dalam cerita.

Novel Atheis karya Achdiat Karta Mihardja (1949) lebih rumit lagi. Di sana ada tiga pencerita dengan tokoh yang berbeda, yaitu (1) saya yang menerima naskah otobiografi tokoh Hasan; (2) Hasan yang menceritakan dirinya sendiri; dan (3) Pencerita dia yang mengabarkan tertangkapnya Hasan oleh Kempetai. Jadi, bentuk penceritaan novel Atheis pun sebenarnya juga mirip cerita berbingkai. Novel Gairah untuk Hidup dan untuk Mati, Nasjah Djamin (1968) pada dasarnya juga menyerupai cerita berbingkai, yaitu kisah Fuyuko yang dibingkai oleh pencerita aku, tokoh Talib.

Selepas terbit Pada Sebuah Kapal, kita mendapati model penceritaan semacam itu, sebagaimana yang terjadi pada novel Burung-Burung Manyar, Mangunwijaya (1981), Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari (1982), Anak Tanahair, Ajip Rosidi (1985), dan Para Priyayi, Umar Kayam (1992). Dengan begitu, teknik penceritaan aku yang bergonta-ganti disampaikan lewat lebih dari satu tokoh, kini sudah bukan hal yang mengejutkan lagi. Malahan Para Priyayi, disebut Sapardi Djoko Damono sebagai album besar yang berisi berbagai potret peristiwa tokoh- tokohnya.

Meskipun begitu, jika dalam novel-novel yang disebutkan tadi pergantian pencerita aku lebih berfungsi melengkapi dan sekaligus juga melanjutkan cerita,2 dalam Pada Sebuah Kapal justru untuk meneguhkan semacam legitimasi, bahwa tindakan pranikah dan perselingkuhan yang dilakukan tokoh Sri punya akar kultural. Sebab, kisah tentang Sri sebenarnya sudah selesai pada bagian ―Penari‖. Lalu, untuk apa pula ada kisah ―Pelaut‖ jika pengarang tidak punya maksud tertentu. Oleh karena itu, kisah Michel Dubanton, pada bagian ―Pelaut‖ menjadi semacam pembenar yang memungkinkan penyatuan Sri—Michel. Jadi, tindakan Sri (dan Michel) itu bukan sebagai bentuk perlawanan, melainkan sebagai ―pembenaran‖ jika dikaitkan dengan perkara habitus menurut pandangan Pierre Bourdieu.3

Sebagai satu kesatuan struktural, Bagian Dua ―Pelaut‖ memang cenderung berfungsi bukan sebagai kelanjutan kisah Sri, Sang Penari (Bagian Satu), melainkan sebagai penguat karakterisasi ketokohan Sri dan Michel. Dengan adanya kisah Michel, perselingkuhan Sri menjadi peristiwa yang bergerak ―wajar‖ jika dibandingkan dengan latar belakang pengelanaan Michel. Lalu, ketika kedua makhluk yang punya problem yang sama dalam kehidupan rumah tangga masing-masing itu dipertemukan, keduanya laksana menemukan saluran yang selama ini dicarinya. Jadi, bagian ―Pelaut‖ tetap fungsional dalam keseluruhan cerita Pada Sebuah Kapal.

***

Dalam banyak pembicaraan mengenai citra perempuan Jawa dalam novel Indonesia, kita kerap disodori sejumlah karya sastra yang dianggap merepresentasikan gambaran tersebut. Dua cerpen Umar Kayam, ―Sri Sumarah‖ dan ―Bawuk‖ (1975), novel Bumi Manusia, Pramudya Ananta Toer (1980), novel Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari (1982), puisi naratif Linus Suryadi (Pengakuan Pariyem, 1984), dan novel Canting, Arswendo Atmowiloto (1986) adalah beberapa karya sastra yang sering kali dikaitkan dengan citra perempuan Jawa.

Meskipun para pengarang yang karya-karyanya disebutkan tadi semuanya laki-laki, tidak sedikit pengamat (atau peneliti) sastra yang beranggapan, bahwa penggambaran tokoh-tokoh perempuan di sana (Sri Sumarah, Bawuk; Nyi Ontosoroh; Srintil; Pariyem; dan Tuginem—Bu Bei) merepresentasikan citra perempuan Jawa. Justru di situ masalahnya. Bagi saya, gambaran perempuan Jawa yang disebutkan tadi, lebih sebagai idealisasi laki-laki Jawa dalam coba membentuk citra perempuan etniknya. Maka, dalam karya-karya yang disebutkan tadi, sama sekali kita tidak memperoleh gambaran faktor psikologis perempuan (Jawa) dengan segala naluri keperempuanannya: bagaimana kegelisahan memendam hasratnya yang tak tersalurkan; atau bagaimana ia mesti menelan kemarahannya dan mendiamkan sikapnya dalam menyimpan kepasrahan dan sekaligus juga penentangan terhadap suami.

Tokoh Sri Sumarah, misalnya, tiba-tiba saja menjadi perempuan yang tabah setelah suaminya, Mas Marto meninggal dunia. Janda muda dengan anak semata wayangnya, Tun, harus mencari cara melanjutkan kehidupannya sendiri. Modal kultural sebagai keturunan priayi tidak dapat dijadikan jaminan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Ia punya keahlian pijat sebagai modal kapital. Tetapi profesi itu penuh cobaan dan godaan. Pertanyaannya: apa yang menjadikannya bertahan tanpa terpeleset pada godaan? Di belakangnya, tentu ada perilaku budaya yang kemudian menjadi pembiasaan, membentuk habitus, dan sikap budaya sebagai perempuan Jawa. Bagian itulah yang tidak kita temukan sebagai latar budaya tokoh Sri. Tetapi apa yang terjadi pada putrinya, Tun, setelah remaja? Ia hamil di luar nikah oleh Yos, seorang aktivis. Setelah keduanya menikah, Tun melahirkan: Ginuk. Tetapi kemudian ada tragedi lain. Putri dan menantunya terlibat PKI. Sri Sumarah kembali berjuang yang kali ini tugasnya membesarkan cucu. Tetapi, itukah citra perempuan Jawa: ikut suami dengan meninggalkan tanggung jawabnya sebagai ibu, atau merelakan pilihan anaknya dan ikhlas mengasuh dan membesarkan sang cucu?

Hal yang sama terjadi pada diri tokoh Bawuk. Kehidupan rumah tangganya bersama Hasan yang membuahkan dua anak, berakhir setelah tragedi 1965. Bawuk memilih mengikuti suaminya menjadi pelarian daripada berlindung di rumah orang tuanya. Pertanyaannya: mengapa Bawuk memilih ikut suami menjadi pelarian dan meninggalkan kedua anaknya? Apakah yang dilakukan Tun dan Bawuk berkaitan dengan konsep: swarga katut, neroko nunut? Tetapi bagaimana sikap itu menjadi tata nilai, perilaku, bahkan sebagai pandangan hidup? Apakah pandangan itu sebagai sesuatu yang sudah seharusnya begitu, take for granted, atau nemplok begitu saja, tanpa proses internalisasi?

Bagaimana dengan citra perempuan Jawa yang melekat pada Nyai Ontosoroh alias Sanikem dalam Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer? 4 Sanikem adalah perempuan Jawa, putri jurutulis Sastrotomo. Ia berhasil menjadi pengusaha perkasa dalam ruang sosial kolonialisme. Dalam usia 14 tahun, ia dijual ayahnya, dijadikan gundik Herman Mellema. Berkat didikan Tuannya, Nyai –sudah punya modal kultural—pengetahuan dan penguasaan bahasa Belanda. Setahun berikutnya, mereka pindah ke Wonokromo, mendirikan Boerderij Buitenzorg. Sejak itu, superioritas Herman surut ke belakang digantikan Nyai.

Bagaimana mungkin dalam usia kurang 20 tahun, Nyai memasuki arena permainan— pribumi, Indo, dan Belanda—sebagai pemain yang legitim? Kapan terjadi proses internalisasi yang menghasilkan modal budaya dan modal sosial, sehingga seketika ia menguasai peternakan itu. Cukupkah dengan usaha Nyai Ontosoroh mengubur masa lalunya, ia dapat meraih sukses di masa depan. Kiranya tidak cukup alasan proses penguasaan modal simbolik dilekatkan pada habitus Sanikem yang dipingit sejak usia 13 tahun, lalu dibenturkan dengan Belanda totok.

Pramoedya Ananta Toer tampaknya berusaha membangun citra perempuan Jawa—lewat superioritas Nyai Ontosoroh sebagai representasi idealisasinya, tetapi tidak cukup meyakinkan, lantaran tidak ada keterangan apa pun, bagaimana nilai-nilai kejawaan tertanam dalam diri Sanikem, kecuali kemarahannya pada ayahnya?

Contoh kasus tadi (karya Umar Kayam dan Pramoedya Ananta Toer), bahkan juga Pengakuan Pariyem, Linus Suryadi; Canting, Arswendo Atmowiloto; Ronggeng Dukuh Paruk, Ahmad Tohari, menegaskan, bahwa para pengarang itu tidak cukup meyakinkan mengangkat citra perempuan Jawa yang di belakang masa lalunya tertanam etika, tata nilai, perilaku, cara bicara, sikap, dan seterusnya yang bersumber dari kultur Jawa yang luhur dan adi luhung.

Dengan demikian, jika kita hendak menempatkan tokoh-tokoh perempuan dalam sejumlah karya sastra yang disebutkan tadi sebagai representasi citra perempuan Jawa, maka perlu ada keterangan tambahan, yaitu citra perempuan Jawa menurut idealisasi pengarang (laki-laki) Jawa. Sekarang bagaimana dengan tokoh Sri, Sang Penari dalam novel Pada Sebuah Kapal? Apakah gambaran ketokohannya yang menjawa, punya akar kultural?

***

Sejak awal kita diberi sajian sebuah cerita yang disampaikan tokoh Sri. Di sana kita tahu, bahwa Sri tumbuh dan besar dalam lingkungan keluarga priayi Jawa yang ketat memegang tata cara mendidik anak-anaknya.

… Mungkin pula karena ibuku bersifat keras, mendidik kami dengan kekerasan yang kadang-kadang mendekati kepada kehendak untuk menindas kami. Sekali-kali aku tidak menyalahkannya. Dia ditumbuhkan dalam keluarga yang erat memegang aturan-aturan adat. Dia tidak mengenal cara mendidik lainnya daripada apa yang telah dilihat serta diberikan orang kepadanya. Hatinya baik. Penuh kehendak berbuat apa pun untuk menolong penderitaan orang lain. …

Kami tinggal di kampung, tetapi ibuku tidak mau kalau anak-anaknya dipengaruhi oleh sikap dan ajaran orang-orang biasa. Baginya, seorang anak perempuan adalah wakil dari kehalusan, kesucian, dan keindahan. … (hlm. 14).

Kutipan di atas menegaskan, bahwa (1) Sri terlahir dari keluarga priayi yang memegang ketat aturan adat; (2) sang ibu mendidik dengan caranya sendiri yang bersumber dari apa yang diterima dari leluhurnya; (3) ia secara tegas tidak ingin anak-anaknya dipengaruhi oleh sikap dan ajaran orang biasa (: kebanyakan, wong cilik); (4) baginya, seorang anak perempuan adalah wakil dari kehalusan, kesucian, dan keindahan.

Begitulah, sejak awal, pada diri tokoh Sri telah ditanamkan nilai-nilai kepriayian yang lalu terbentuk dan terinternalisasi yang dalam pandangan Bourdieu sebagai modal budaya (cultural capital).5 Sebagai perempuan priayi, ia memegang teguh citra dan cita rasa (taste) tentang kehalusan, kesucian, dan keindahan. Penanaman itu pada akhirnya membentuk habitus. Maka, ia menolak kekasaran, keberandalan atau segala sesuatu yang bertentangan dengan cita rasa sebagai perempuan priayi. Oleh karena itu, pada saat ayah Sri membawanya untuk belajar menari, ia menjadi sangat tersinggung ketika ayahnya berkata begini: “… Mudah-mudahan dia tidak sebodoh kakak-kakaknya.” (hlm. 15).

Pada bagian awal itu, kita melihat, bagaimana Sri yang pemalu, tumbuh menjadi lebih percaya diri, terutama setelah ia belajar tari, lalu belajar gamelan. Bersamaan dengan itu, kesenangannya membaca menumbuhkan keberanian untuk menyampaikan pendapat, bahkan juga berani mengajar tari. Dengan begitu, jika kita mengikuti pandangan Bourdieu, dalam arena produksi budaya, Sri secara perlahan tidak hanya mulai menyadari posisi status sosialnya yang berbeda dengan orang kebanyakan sebagai modal budaya, tetapi juga berkat kemahirannya menari, menjadi penyiar radio, mahir pula bahasa Inggris, dan menulis berita-berita tentang kebudayaan, ada modal lain yang mulai diraihnya, yaitu modal simbolis.6

Dalam konteks nilai-nilai kepriayian Jawa, penanaman sikap, perilaku, cara bicara yang segalanya mengedepankan kehalusan, bersumber dari pendidikan keluarga, terutama dari ibu. Dikatakan Clifford Geertz, bahwa dalam pandangan kebatinan orang Jawa, kehalusan adalah hal utama; semakin halus semakin baik.7 Pandangan itu pula yang kemudian menjadi ukuran bagi Sri dalam pergaulannya berhadapan dengan dunia laki-laki. Maka, ketika Giyono, temannya sesama penyiar menyatakan cintanya, penolakannya yang terutama lebih disebabkan oleh caranya yang berlebih-lebihan dan lagaknya yang sok menjadi pelindung. Itulah awal mula Sri secara tegas menolak sesuatu yang dipandangnya tidak memperlihatkan kehalusan.

Penolakan kedua ditimpakan pada pelukis Yus yang “hidup” di awang-awang dan kerap bersikap menyalahkan orang lain. Ajakannya untuk menjadi istrinya, ditolak tegas. “Kawin dengan dia berarti pengabdian terhadap omongannya yang hampir tidak pernah ada hubungannya dengan hidup kenyataan.” (hlm. 54). Bagi Sri, sikap itu bertentangan dengan nilai-nilai yang diajarkan ibunya tentang kehalusan, di samping secara fisik, Yus bukan tipe idealnya. Jadi dalam hal ini, secara sadar Sri menerapkan nilai-nilai kepriayian, tidak hanya dalam pergaulan dengan teman atau sahabat, tetapi juga dalam hubungannya menjalin cinta. Oleh karena itu pula, meski pelukis itu yang memberi pengalaman pertama berciuman, Sri sama sekali tidak merasakan kenikmatan-kelezatan. Tidak ada kehalusan yang diperlihatkan Yus saat menciumnya. Hal itu pula yang menjadi alasan untuk menolak ajakan si pelukis itu.

Lelaki ketiga yang mendekati Sri adalah Carl, seorang Amerika yang kaya raya. Kedekatan dengan kakaknya, Sutopo, menjadikan hubungan Sri dan Carl terjalin sebagai persahabatan biasa, meski Carl sendiri kerap memperlihatkan perhatian dan rasa cintanya pada Sri. Secara ekonomi, hidup bersama Carl tidak akan bermasalah. Tetapi Sri melihatnya dari sudut lain. Ia tak suka segala sesuatu diukur berdasarkan nilai-nilai materi. Penilaian berdasarkan materi tidak pernah diajarkan oleh keluarganya.

Bersamaan dengan itu, muncul Saputro, seorang pilot Angkatan Udara yang dalam banyak hal memenuhi kriteria berdasarkan ukuran nilai-nilai kepriayian. Pilihan pun jatuh pada Saputro. Dengan segala keyakinannya, ia telah menentukan orang yang tepat. Lalu, buat apa menunggu saat perkawinan jika ia merasa bahwa dirinya telah menjadi milik Saputro atau sebaliknya. Perhatikan alasan Sri berikut ini:

Malam itu kami habiskan tandas. Aku tidak menunggu saat perkawinan kami lagi seperti kebanyakan gadis-gadis dari keluarga baik-baik. Saputro telah kembali. Dan aku mencintainya. Apakah lagi yang mesti kami tunggu untuk saling melumat satu dengan lainnya, memasabodohkan hukum yang hanya dibikin oleh manusia abad-abad terakhir. Dalam bercintaan aku sadar bahwa Saputro memang untukku. Gerakannya halus, rabaannya pasti dan membelai dengan kemesraan yang meluap. … (hlm. 96)

Itulah hubungan pranikah yang dilakukan Sri dengan segala kesadarannya. Ia mejalaninya bukan sebagai bentuk pemberontakan para tradisi leluhurnya, melainkan atas kesadarannya, bahwa pada diri Saputro, ada kehalusan, ada kesucian, dan ada keindahan yang dikatakannya sebagai “… kemesraan yang meluap.” Dalam hal ini, Sri sadar juga pada “hukum yang hanya dibikin oleh manusia abad-abad terakhir.” Baginya, perbuatan itu adalah bentuk pernyataan kesucian cintanya pada seseorang yang diyakini bakal membawa kebahagiaan.

Dengan begitu, perkara keperawanan menjadi tidak penting lagi, sebab cintanya pada Saputro di atas segalanya. “Dalam bercintaan aku sadar bahwa Saputro memang untukku” kesadaran itulah yang menempatkan Sri menyerahkan sepenuhnya pada apa yang menjadi miliknya.

***

Tetapi, jalan hidup Sri berkata lain. Menjelang persiapan pernikahan, Saputro tewas dalam kecelakaan pesawat. Tragedi itu tentu saja menghancurkan segalanya. Dalam keadaan berhadapan dengan duka yang mendalam, Carl datang lagi. Bahkan, ia menyatakan cintanya pada Sri, memintanya pula menjadi istrinya. Tetapi Sri melihatnya ada jarak terbentang yang memisahkannya, dan ia tidak yakin pada kemampuannya memiliki laki-laki itu. “Kau terlalu kaya. Kau ditumbuhkan dengan asuhan yang mengutamakan harta. Aku tidak bisa menghadapi orang-orang seperti itu. Dan aku tidak berani mencobanya.” Itulah alasan penolakan Sri pada Carl. Jadi, penolakan itu bukan oleh adanya perbedaan budaya, melainkan pada perbedaan persepsi tentang harta dan kekayaan.

“Sepuluh bulan kemudian Sri kawin dengan Charles Vincent.” (hlm. 116), seorang duda, diplomat Prancis. Awalnya Sri melihat Vincent dengan segala kehalusannya. Pengetahuannya yang luas dan caranya membahas satu persoalan dengan jujur dan wajar menjadi alasan lain Sri bersedia jadi istrinya. Jadilah Sri sebagai istri diplomat bernama Charles Vincent.

Apa yang terjadi kemudian? Sri sesungguhnya belum mengenal banyak tentang Charles Vincent. Secara perlahan-lahan, mulailah watak asli suaminya muncul: kasar, temperamental, dan tidak sedikit pun menghargai apa pun yang dilakukan Sri. Di sinilah Sri merasa tidak menemukan apa yang pernah diajarkan keluarganya tentang kepriayian. Apalagi makiannya bahwa Sri: tidak punya kesopanan, bodoh, tidak beradab, dan seterusnya, yang baginya tak pernah sekali pun dalam hidupnya punya kosa kata itu. Juga tak pernah selama hidupnya bertemu dengan hujatan dan bentakan demikian. Oleh karena itu, kesumat yang selama ini dipendamnya, tidak kuasa pula ditahan-tahan lagi. Konsep kepriayian tentang kehalusan, kesucian, dan keindahan, seperti menguap begitu saja. Maka, ia pun berani melawan dan menuntut cerai. Apa yang menyebabkan Sri punya keberanian seperti itu?

Sri sadar, bahwa suaminya, Vincent adalah makhluk lain yang datang dari planet lain.

Mempertahankan rumah tangga seperti itu hanya memperpanjang penderitaannya. Dengan kesadarannya bahwa ia punya modal budaya, modal simbolik, dan modal sosial, ia tidak perlu cemas menjalani kehidupan. Dalam situasi seperti itu, kehadiran sosok lain dengan sikap dan perilaku yang berlawanan dengan suaminya, memberi alasan baginya untuk menerima kehadirannya. Michel Dubanton, Sang Pelaut datang pada saat yang tepat. Oleh karena itu, perselingkuhannya—jika itu dapat dikatakan sebagai perselingkuhan— dengan Michel tidak ditempatkan sebagai pengkhianatan atau ketidaksetiaan pada suami, melainkan sebagai pemenuhan hak seorang perempuan memperoleh kebahagiaan. Jadi, kembali kita melihat, bahwa Sri sama sekali tidak hendak memberontak pada ajaran tradisi yang ditanamkan keluarganya, melainkan sebagai kesadaran manusia untuk memperoleh kebahagiaan. Tindakannya bersama Michel tidak ditempatkan sebagai perselingkuhan, melainkan sebagai pemenuhan hak paling dasar manusia untuk memperoleh kebahagiaan.

Dalam kesadarannya sebagai perempuan, Sri juga sama sekali tidak memperlakukan hubungannya dengan Michel dalam kaitannya dengan perkara superioritas-inferioritas laki-laki— perempuan. Bagaimanapun, dalam arena produksi budaya, Sri sudah punya syarat-syarat kepemilikan modal budaya, modal sosial, dan modal simbolik. Bahkan, jika ia mau, modal ekonomi pun dapat diperoleh dengan mudah melalui Carl. Dengan begitu, terlalu naif jika hubungan Sri dengan Michel diperlakukan sebagai perlawanan pada dominasi laki-laki.

Pengalaman masa lalunya telah mengajarkan, bahwa dalam hubungan dengan dunia laki-laki, Sri merasa punya kekuatan untuk memilih dan menentukan pilihannya. Pilihan pada Michel pun sama sekali tidak didasari pada tarik-menarik dominasi laki-laki—perempuan, melainkan sebagai hak dasar manusia memperoleh kebahagiaan. Meskipun demikian, yang dilakukan Sri bukanlah pencarian kebebasan seks, melainkan pencarian kebahagiaan. Oleh karena itu, Sri hanya berhubungan dengan Michel, dan tidak sekalipun dengan laki-laki lain.

***

Pertanyaannya kini: bagaimana dengan posisi Michel Dubanton? Bagian Kedua, “Pelaut” memberi gambaran lebih lengkap dengan pengelanaan Michel. Mula-mula—untuk pertama kalinya, ia merasakan tubuh perempuan dalam usia lima belas tahun. Francoise—pembantunya yang mula mengajarinya.

Dan malam itu, ketika Francoise meninggalkanku, aku mengerti apa yang dimaksud dengan kenikmatan tubuh perempuan yang sebenarnya. … (hlm. 270).

Sejak aku mengenai Francoise semua menjadi berubah. Setiap kulihat seorang perempuan, kuteliti seluruh tubuhnya.” (hlm. 271)

Setelah pengelanaannya dengan sejumlah perempuan, Michel akhirnya berlabuh pada perempuan yang usianya lebih tua, Nicole. Ia teman sekolah kakaknya yang perempuan. Setelah berhubungan sekian lama, dan dengan berbagai desakan, mereka menikah. Tetapi, sejak awal Michel memang tidak mencintainya. Ia hanya tertarik pada tubuh perempuan itu. Lalu apa akibatnya? Michel seperti memasuki penjara, dan Nicole menjadi penguasa dalam urusan apa pun dalam kehidupan rumah tangga mereka. Hanya lantaran tuntutan sosial dan agama, Michel tidak dapat menceraikan Nicole. Itulah alasan Michel mencari kebebasan di luar rumah. Dan kebebasan itu ada di lautan. Maka pilihan sebagai pelaut pada dasarnya sebagai pencarian kebebasan itu. Ia memang bertemu dengan berbagai jenis perempuan dari berbagai negara, tetapi hatinya tidak terjerat. Sebab, ia tahu, perempuan-perempuan itu menempatkan pertemuannya dengan Michel sebagai peristiwa sesaat yang akan hilang bersamaan dengan perginya kapal.

Dapat dipahami, mengapa pertemuan Sri dan Michel menjadi terasa istimewa. Keduanya punya problem rumah tangga yang sama. Keduanya mencari kebebasan untuk memperoleh kebahagiaan. Oleh karena itu, apa yang dilakukan Sri dan Michel, bagi keduanya, bukan sebagai bentuk ketidaksetiaan atau pengkhianatan (pada suami atau istri), melainkan sebagai keinginan memperoleh kebahagiaan. Jika saja Vincent dapat memenuhi kebahagiaan yang dicari Sri; jika saja Nicole dapat memenuhi kebahagiaan yang dicari Michel, tentu keduanya (Sri dan Michel) tidak perlu mencari kebahagiaan di luar rumah.

Begitulah, dengan latar belakang kehidupan rumah tangga yang sama, Sri dan Michel mencari kebebasan, mencari kebahagiaan dan mereka bertemu pada sebuah kapal. Jika begitu, apa yang dilakukan Sri dan Michel, sesungguhnya tidak di dalam kerangka melakukan pemberontakan pada ajaran tradisi leluhur mereka. Juga tidak ada hubungannya dengan gerakan feminisme sebagaimana yang banyak dibincangkan para peneliti!

 Pada Sebuah Kapal telah mengajari kita, bagaimana kehidupan rumah tangga mesti didasari pada kesadaran memberi dan menerima! Jika salah satunya berat sebelah, ia akan menjadi penjara! Itulah yang terjadi pada diri Sri dan Michel!

Mklh/msm/14/3/19

CATATAN KAKI:

* Makalah dibawakan pada Seminar Akademi Jakarta, ―Nh Dini: Karya dan Kenangan‖ Jakarta, Cemara 6, 15 Maret 2019

** Pengajar FIB-UI

1 Cetakan ketujuh, 2000; Cetakan Pertama, Gramedia Pustaka Utama, 1985; Cetakan pertama sampai ketiga, Dunia Pustaka Jaya, 1973; 1976; 1979).

2 Sekadar informasi, periksa Maman S. Mahayana, ―Cerita Berbingkai dalam Novel,‖ dalam Sembilan Jawaban Sastra Indonesia, Jakarta: Bening Publishing, 2005, hlm. 161—164. Periksa juga Maman S. Mahayana, ―Posisi Para Priyayi,‖ dalam Ekstrinsikalitas Sastra Indonesia, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 274—297.

3 Pierre Bourdieu, Distinction: A Social Critique of the Judgment of Taste, Cambridge: Cambridge University Press, 1984; Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terj. Yudi Santosa, Bantul: Kreasi Wacana, 2016 (Cet. Keempat), Cet. Pertama, 2010; Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2016 (Edisi Revisi).

4 Tulisan tentang ―Bumi Manusia dalam Perspektif Bourdieu‖ secara agak lengkap pernah dimuat majalah sastra Horison (2016).

5 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terj. Yudi Santosa, Bantul: Kreasi Wacana, 2016 (Cet. Keempat), Cet. Pertama, 2010; Bagi Bourdieu, modal adalah sesuatu yang diperoleh seseorang dengan cara terbentuk dan terinternalisasi sejak kecil. Ia membuat empat kategori modal, yaitu (1) modal budaya, (2) modal ekonomi, (3) modal sosial, dan (4) modal simbolik. Kehidupan Sri yang berada di dalam lingkungan priayi telah menjadikannya ia punya modal budaya yang membedakannya dengan anggota masyarakat yang berada di luar itu.

6 Pierre Bourdieu, Arena Produksi Kultural: Sebuah Kajian Sosiologi Budaya, terj. Yudi Santosa, Bantul: Kreasi Wacana, 2016; Richard Jenkins, Membaca Pikiran Pierre Bourdieu, terj. Nurhadi, Bantul: Kreasi Wacana, 2016 (Edisi Revisi).

7 Clifford Geertz, Santri, Abangan, Priyayi dalam Masyarakat Jawa, Jakarta: Pustaka Jaya, 1981, hlm. 307.

Iklan