Tak Ada Suaramu Berlabuh di Teluk Kendari
Hanya senja kulihat mengapung hanyut menuju pelabuhan
kapal-kapal telah pandai membuat dongengnya sendiri
bersandar di dermaga mengumumkan musim kemarau
tapi tak ada suaramu memanggilku untuk bersama berlayar
menuju pulau Bokori atau mencari rindu di pulau Labengki
aku masih di sini menunggu dengan lampu temaram langit Abeli
Adalah sejarah dengan teriakan suaramu berbau rempah
berlabuh di teluk Kendari dari pelayaran jauh melewati laut Banda
melambaikan tangan padaku yang sedang duduk di atas karang
mataku sedang melihat kabuenga yang indah di langit Wanci
pertemuan dua makhluk bagai mayang lontara melepas seludangnya
angin pun suka membawa burung-burung pancaroba menuju timur
Aku masih mencari suaramu di bunga-bunga ombak teluk Kendari
di sini bayangku ingin menjelma angin hanyut bersama jejak kisah
dan kapal-kapal tak salah jika diam-diam membawa suaramu ke Muna
serupa isyarat dari cinta yang pernah melukaimu.
Parepare, Agustus 2023
Berdenging
– Malam menjelang di Kendari
/1/
Jalanan mulai sepi semenjak usai Isya’
sepertinya malam baru saja dimulai
walau hanya melintas lalu terbang entah ke mana
setidaknya yang berdenging itu menebar ancaman
mungkin terbang menukik
mencium bau keringat dan meraba permukaan kulit
atau terbang menggeleng putus asa
melihat pemilik tubuh masih terjaga
Udara lembab mengikuti musim kemarau
tapi tak membawa angin
hingga tanah pucat pasi membiakan telur
jadi larva berlompatan berdesak-desakan
di genangan air saat got mampet diisi sisa buangan
beragam sampah dari dapur-dapur rumah berpagar tinggi
Suara itu terbang hanya tak mampu terlalu tinggi
kepaknya hanya mampu menjangkau kamar berpetak
yang kadang lama tanpa penghuni
ukuran kecil dengan ranjang berhimpitan
dan suara denging kadang menabrak pintu
penghuninya tertidur lelap bertelanjang dada
aroma keringatnya menguar
serupa kuntum mawar melepas wanginya
/2/
Masih saja terbang dan berdenging
melintasi ruang-ruang temaram
menyelusup ke tubuh sehangat cahaya luruh
meninggalkan bekas dengan benjolan kecil
kembali terbang di sela-sela gantungan baju
menghela napas sambil mengolah rasa kenyang
masih hinggap di salah satu kaos tergantung
juga berbau keringat dan apek
Entah mengapa kelebatan yang lain masih berdenging
melintasi daun telinga
kadang harus menghindar dari telapak tangan
yang dikibaskan serta ditamparkan ke wajahnya sendiri
sampai perih kesakitan
tapi denging itu lolos
bahkan pindah sela-sela sarung bermotif samarinda
persis di pantatnya yang sewarna pinggul kuali
Padahal malam telah menghadiahkan kantuk
sebab berkelindan seharian untuk memperpanjang hidup
sekuat tenaga bahkan sampai terinjak tapak kaki gerimis
lalu menciptakan keringat yang bercucuran
bahkan sendi-sendi di kaki dikikis lelah
/3/
Suara denging itu tak pernah tahu
bahwa tubuh ingin tidur lelap
mungkin tak akan juga merasa saat menungging
di kulit kaki dekat selangkangan
memasukan serupa jarum dari mulutnya
untuk mendapatkan protein dari darah yang mengalir
sepanjang nadi bagai meniti nasib di jalanan.
BGP Kendari, Agustus 2023
![](https://pustakakabanti.wordpress.com/wp-content/uploads/2023/08/puisi-tri-astoto-kodarie-pustaka-kabanti-2023.png?w=724)
Tri Astoto Kodarie, lahir di Jakarta, 29 Maret dan tinggal di Parepare. Ada 11 buku puisi tunggal yang telah terbit serta puluhan antologi puisi bersama di berbagai daerah. Buku puisinya berjudul Hujan Meminang Badai mendapatkan Penghargaan dari Kemdikbud Tahun 2012, serta berbagai penghargaan lainnya. Masih aktif memberikan pelatihan penulisan sastra dan mengikuti berbagai kegiatan sastra. Youtube: TriAsKodarie Channel. Alamat: Jalan Atletik No. 22 Parepare 91111, Sulawesi Selatan. E-mail: astotosaja@yahoo.co.id – astototri@gmail.com. FB: Rumah Puisi Parepare – Youtube: TriAsKodarie Channel.
Puisi “Tak Ada Suaramu Berlabuh di Teluk Kendari” karya Tri Astoto Kodari adalah sebuah karya yang penuh dengan nuansa kerinduan, nostalgia, dan kekosongan. Dalam puisi ini, penyair mengekspresikan perasaan kehilangan akan kehadiran seseorang yang begitu berarti dalam hidupnya. Puisi ini menyajikan gambaran tentang pelabuhan yang sunyi dan dermaga yang kosong, seolah-olah mencerminkan kesepian dan kehampaan yang dirasakan oleh penyair.
Dalam bait pertama, penyair menampilkan suasana senja di pelabuhan yang sepi. Kapal-kapal yang berlabuh di dermaga seperti memiliki cerita-cerita sendiri, tetapi di tengah semua itu, suara yang begitu ditunggu-tunggu, suara yang mampu memanggil untuk bersama-sama berlayar menuju tempat-tempat indah, belum juga terdengar. Ada perasaan kesendirian yang kuat dalam kalimat-kalimat ini, di mana penyair menunggu dengan lampu temaram di langit, menciptakan suasana yang mengundang empati.
Bait kedua menghadirkan citra sejarah dan perjalanan panjang. Suara yang menggema dari masa lalu, teriakan yang terasa memenuhi udara dengan aroma rempah-rempah, hadir sebagai kenangan yang menghantui. Pelabuhan Kendari menjadi tempat di mana semua ini berlangsung, menghubungkan penyair dengan kenangan yang kini terasa begitu jauh. Gambaran mata yang sedang memandang keindahan langit Wanci memberikan sentuhan visual yang kuat, seolah-olah memperkuat intensitas perasaan.
Bait ketiga menggambarkan upaya penyair untuk mencari jejak suara yang hilang. Bayang-bayangnya ingin menjadi angin yang hanyut bersama jejak-jejak kisah yang telah terjadi. Kapal-kapal yang pergi mungkin membawa dengan diam suara yang ditunggu, dan pulau-pulau yang disebutkan menjadi saksi bisu atas perjalanan suara itu. Kesatuan antara alam dan perasaan manusia tercermin dalam pergerakan angin dan burung-burung pancaroba yang menuju timur, memberikan perasaan bahwa kehidupan dan waktu terus berlanjut.
Bait terakhir menghadirkan kesimpulan yang menggugah. Penyair mengakui bahwa suara yang dicari mungkin telah pergi, tetapi bukan berarti cinta yang pernah dirasakan itu tak bernilai. Puisi ini merangkum perasaan kerinduan yang tetap terjaga meskipun suara yang dicari tak pernah ditemukan. Kesedihan dan kehilangan diungkapkan dengan indah melalui metafora cinta yang pernah melukai, menunjukkan bahwa bahkan dalam luka terdalam, masih ada keindahan yang tersimpan.
Secara keseluruhan, puisi “Tak Ada Suaramu Berlabuh di Teluk Kendari” menggambarkan kerinduan yang mendalam, nostalgia yang melankolis, dan kekosongan yang dirasakan ketika sesuatu yang berarti hilang dari hidup seseorang. Melalui gambaran pelabuhan, laut, kapal-kapal, dan alam, penyair berhasil menyampaikan perasaan yang kuat dan mengundang pembaca untuk merenungkan arti dari kehadiran dan kehilangan dalam kehidupan.
SukaSuka