Oleh: Rida K Liamsi **)

Gurindam Dua Belas (GDB) adalah karya utama (masterpiece) pujangga Melayu Raja Ali Haji, (1808-1872). Pahlawan Nasional, Bapak Bahasa Indonesia. Sudah lebih 100 tahun sejak diterbitkan (1846) karya itu masih terus diperbincangkan. Bahkan dipahat di tembok-tembok, dikutip dalam pidato, diajarkan di sekolah-sekolah. Dijadikan materi lomba, dan lainnya. Karya ini sudah melintasi zaman. Dan kekal.

Jika karya Raja Ali Haji (RAH) yang lain seperti Tuhfat an Nafis (TAN) dan Silsilah Melayu Bugis (SMB) mulai dikritisi karena dianggap terlalu Bugis centris, demikian juga dengan Mukaddima Fi Intizam (MFI) atau Tsamarat Al Muhimma (TAM) diperdebatkan karena dianggap kurang relevansinya dengan kekiniannya dalam sistem dan tradisi demokrasi yang ada sekarang di Indonesia dan kawasan Nusantara lainnya, seperti Malaysia, tapi tidak dengan GDB. Karya ini terus ditelaah, dibedah, dan diambil saripati kekuatan moral, etika, dan estitikanya, sebagai bahan kajian yang tetap relevan dengan perkembangan waktu.

Kajian-kajian ilmiah ini, terutama dilakukan para akedemisi, budayawan, dan para penulis lainnya . Baik untuk dijadikan bahan skripsi sarjana, maupun kajian untuk program doktoral dan karya sastera dan budaya lainnya. GDB dianggap sebagai sumber inspirasi yang tak pernah kering.

Di Kepulauan Riau, salah satu buku terbaru yang membuat kajian teks terhadap GDB itu, adalah buku Aneka Relasi Manusia dalam Gurindam Dua Belas (ARM-GDB) yang ditulis oleh Romo D. Fascal (yang awalnya sebuah skripsi), sebagai upaya untuk menunjukkan bukti bagaimana karya besar RAH ini tetap menarik untuk dibahas, dibedah, dan diserap saripatinya untuk kepentingan ilmu (sosio budaya) dan sebagai pandangan hidup (way of life) yang ideal. Seakan semua muara dan teras budaya, terutama budaya Melayu, dapat dibawa dan dirujukkan serta tercermin pada karya RAH yang satu ini.

Namun, yang menarik dari berbagai kajian dan telaah yang sudah dilakukan termasuk buku RD Pascal ini adalah upaya untuk membincangkan hubungan (relasi) manusia Melayu dengan manusia atau kultur lainnya, dari berbagai asfek positifnya, termasuk hubungan (relasi) dengan Yang Maha Kuasa, yang tidak tegak lurus dengan budaya Melayu yang selama ini dipahami, yang dibawa para pendukungnya dari Melaka, Johor, Pahang, Terengganu, dan lain lain negeri Melayu di kawasan semenanjung, yang kemudian ujud dan berkembang di Riau dan Lingga, kerajaan Melayu penerus Melaka dan Johor, tempat GDB itu ditulis, tempat RAH, dibesarkan dan menghabiskan sebahagian besar usia dalam pengabdiannya pada kerajaan Riau Lingga yang ujud dan berkembang selama hampir 200 tahun (1722-1912).

Pendedahan asfek etika dan moral yang terkandung dalam GDB yang selama ini dilihat dari sudut budaya Melayu, sebenarnya sudah berubah. Sudah terjadi proses alkulturasi. Budaya Melayu yang bersebati dengan budaya Bugis. Budaya Melayu itu sudah bercampur baur dengan kultur Bugis dan itu sudah berlangsung selama hampir 200 tahun yang menandai proses akulturasi tersebut. Di Lingga mungkin masih terasa bahan kultur Melayu asli. Rasa Johor, rasa Pahang, rasa Terengganu. Terutama dalam bahasa, Tapi di Penyengat? Sudah terasa lain dan berbeda.

Hal ini penting dipahami karena hakekatnya di dalam bait-bait GDB itu ditemukan prinsip-prinsip dasar bagaimana manusia Melayu itu semestinya menciptakan relasi yang baik dalam kehidupan.

Realitas sosial yang bertembung selama 2 abad itu menunjukkan betapa dalam proses akulturasi ini, budaya dan adat istiadat Bugis sangat terasa dan bahkan sangat dominan. Ini misalnya bisa dilihat dalam urusan dan tradisi serta sistem pemerintahan yang dampaknya tentu saja sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter sosial budayanya dan adat istiadat.

Adanya jabatan Yang Dipertuan Muda (YDM) misalnya. Jabatan yang setara dengan Wakil Sultan atau Raja Muda ini, sebelumnya tidak dikenal dalam sistem politik dan pemerintahan di negeri Melayu yang merupakan penerus tradisi Melaka.

Sebelum kehadiran pihak Bugis (Daeng Perani, Daeng Manambun, Daeng Marewa, Daeng Celak, Daeng Kumasi, yang dikenal dengan Upu Bugis Luwu lima bersaudara), kehidupan politik di kerajaan Melayu ini, sangat terasa pengaruh budaya Tamil (India Selatan) dan Aceh (yang dipengaruhi kultur Persia dan Turki). Misalnya, kepala pemerintahan tertinggi yang sebelumnya adalah Raja, lalu diganti dengan Sultan, seperti nama kepala pemerintahan di Parsi dan Turki. Juga Bendahara atau Wazir. Tetapi begitu terjadi persekutuan politik antara Melayu Johor (melalui sosok Tengku Sulaiman, pendiri kerajaan melayu Riau, penerus Johor) melalui persetiaan Melayu Bugis (sumpah setia Melayu Bugis), maka jabatan Sultan diubah dengan Yang Dipertuan Besar (YDB) dan wakil Sultan atau Raja Muda, diganti dengan Yang Dipertuan Muda (YDM). Penamaan yang demikian ini hanya ada di kerajaan Islam di Sulawesi, terutama di Luwuk, Bone, dan Makasar.

Meskipun pergantian sebutan jabatan sultan dan wakil sultan menjadi YDB dan YDM itu lebih banyak dipakai di elit Bugis dibanding pihak Melayu yang tetap mengekalkan sebutan Sultan dan Raja Muda

Proses perubahan penamaan penguasa tertinggi itu, juga telah mengubah tatanan sosial budaya yang ada di kerajaan Melayu Riau Lingga ini. Perubahan sistem politik dan adat istiadat dan hubungan sosial ini, terutama karena pihak Bugis melalui jabatan YDM itu secara bertahap mulai memengaruhi perubahan tatanan sosial budaya itu. Apalagi setelah itu, meskipun jabatan bendahara dan Temenggung masih ada tetapi tidak lagi mempunyai pengaruh dan kuasa untuk menolak proses alkuturasi budaya Melayu Bugis.

Perubahan tatanan budaya ini bukan hanya di kalangan elit kekuasaan tapi juga sudah merasuk ke strata bawah. Para pegawai kerajaan dan pengawal istana. Apalagi, Islam yang dianut oleh para petinggi kerajaan dari pihak Bugis lebih puritan dibanding petinggi Melayu. Pengaruh Persia dan Turki yang diserap para pembesar keturunan Bugis Melayu ini lebih terasa dan dominan, dibanding pengaruh Aceh dan Tamil. Telah terjadi rivalitas kuasa antara kedua subkultur itu (antara Melayu Bugis dengan Bugis Melayu) dalam semua lini kehidupan.

Proses Bugisnisasi itu misalnya sudah dimulai sejak masa YDM Daeng Marewa (1722-1728) ketika sejumlah bangsawan Bugis didatangkan dari Luwuk, Bone, dan Makassar ke Riau dan diberi jabatan-jabatan penting dalam kerajaan. Bahkan jabatan Raja Tua (pemangku adat) yang biasanya adalah dari darah Melayu telah diganti dengan yang berdarah Bugis. Di lini adat inilah kultur Bugis itu meresap, dengan ujung tombok utamanya adalah persemendaan (perkawinan politik) antara Melayu dan Bugis, di mana pihak Bugis selalu merebut panca kaki. Sebuah doktrin perkawinan politik yang diajarkan Raja Lumu (Sultan Salahuddin) YDB Selangor: Jangan kita berbapak kepada pihak Melayu.

Proses perbancuhan budaya Melayu Bugis inilah yang menjadi latar belakang dan warna dominan dari budaya dan etika kehidupan yang mewarnai karya RAH Gurindam XII itu. Doktrin Islam yang keras (melalui tarekat Naksabandiyah) dibancuh dengan kultur Bugis yang pantang berhianat, setia pada ras dan darah keturunan, dan tradisi, dilumas dan dibalut dengan kultur Melayu yang terbuka. Tidak suka berkonflik secara frontal, cenderung mengalah, dan sangat pragmatis. Lebih suka merajuk daripada mengamuk. Saya menamakan inilah kultur Melayu baru, yang dalam formulasi Dr. Mukhlis PaEni, seorang sejarawan, pakar sejarah Melayu Bugis, disebut sebagai perbancuhan antara Kecerdasan Melayu dengan Heroisme Bugis dibalut oleh kultur maritim Orang Laut (suku laut, Bajau dan Iranun). Melayu baru yang lebih sanggam, liat, dan terbuka. Lebih egaliter. Inilah yang sebenarnya tercermin dan mewarnai baik bait GDB.

Artinya, ajaran moral dan etika hidup yang sangat Islami yang dianut dan dipahami oleh masyarakat Melayu baru itulah sebenarnya terekam dalam bait- bait GDB. Doktrin yang kemudian menjadi sumber relasi antarkomunitas yang ada dan juga relasi masyarat Melayu baru dengan sesama komunitas suku bangsa lain, termasuk hubungan dengan Sang Penciptanya. Atau dalam sudut pandang yang lebih filosofis: menciptakan relasi yang baik, pada prinsipnya tidak bisa dilepaskan dari kenyataan hakiki hidup manusia yang senantiasa berelasi dengan Tuhan, dirinya, dan sesama.

Hasil proses perbancuhan kultur Melayu Bugis Ini, meskipun, sekarang ini masih tetap selalu disebutkan sebagai kultur atau budaya Melayu, tapi sebenarnya tetaplah sebuah kultur baru hasil perbancuhan, hasil persebatian politik, dan persemendaan kultural antara Melayu dan Bugis, dan direkat serta dibuhul oleh Islam sebagai kekuatan pemersatu dan pancang kekuatan kulturalnya. Itulah yang menurut saya belum banyak disentuh oleh para penulis, dan penelaah lain tentang GDB, karya besar dan monumental RAH ini.

Asfek hubungan atau relasi antara orang Melayu baru dengan komunitas sosial lain di luarnya, termasuk relasi dengan Sang Khalik itulah bahagian yang menarik yang perlu didedahkan sebagai ujud dari penafsiran terhadap bait-bait dari GDB, di mana di dalam bait-bait itu ditemukan prinsip-prinsip dasar bagaimana manusia Melayu baru itu membangun hubungan dalam kehidupannya. Artinya, menurut GDB, penghayatan terhadap aneka relasi manusia, adalah kunci utama dalam menciptakan sebuah kehidupan yang baik dan lebih manusiawi.

GDB akan tetap menjadi karya klasik yang melintasi zaman. Tapi yang juga patut direnungkan, selama ini, kajian tentang gurindam, seperti halnya kajian karya sastera klasik Melayu lainnya, sudah tidak mudah ditemukan lagi. Bukan hanya untuk karya sebuah buku, seperti GDB ini, juga untuk karya-karya lepas. Di Indonesia mungkin di Kalimantan Selatan masih ada penulis gurindam yang setia menulis dan menerbitkan buku genre sastera ini. Juga masih ada di Malaysia. Tapi di Kepulauan Riau tempat GDB ditulis RAH, seakan sudah selesai dan tak ada lagi karya yang baru. Bahkan dari para pujangga sezaman dengan RAH. Sangat berbeda dengan syair atau pantun yang masih terus hidup. Apakah tradisi bergurindam itu akan punah? Wallahu alam bis sawab!

2024

**) Tulisan ini merupakan pengembangan dari tulisan saya yang saya buat untuk Kata Pengantar buku Aneka Relasi Manusia dalam Gurindam Dua Belas karya RD Pascal, 2020.