OLEH: MUHAMAD NADZIR

Kesibukan lalu lintas perairan yang ada di laut Nusantara sudah terjadi jauh sebelum abad masa pertama masehi. Kesibukan ini, terutama disebabkan oleh hubungan perdagangan melalui jalur pelayaran antara China di timur dan India di barat Nusantara, di samping negara-negara lain seperti Kamboja, Vietnam, Siam, Persia, Arab, dan lain-lain. Pada jalur perairan, terdapat dua jalur laut dari Tiongkok ke Nusantara. Pertama, jalur barat, melalui laut Tiongkok Selatan, Vietnam, Kamboja, Thailand, Malaysia, dan Maluku. Kedua, jalur timur, melalui Filipina, Laut Sulawesi, dan Maluku.

Perairan laut Sulawesi Tenggara, khususnya perairan laut Pulau Muna, terletak pada lintasan pelayaran yang pendek bagi pelaut dari bagian barat Nusantara menuju bagian timur di Maluku sebagai penghasil rempah-rempah komoditi perdagangan yang sangat laris pada kala itu. Perairan Sulawesi Tenggara, khususnya Selat Tiworo, tentu pernah dilalui oleh kapal-kapal asing (India, China, dll.), atau oleh pelaut-pelaut regional (Nusantara) dan lokal saat mengangkut hasil bumi dan barang dagangan ke bandar-bandar penting di Nusantara.

Dalam kegiatan pelayaran, apabila ada angin topan atau badai, kapal-kapal memerlukan tempat untuk berlindung. Selat Tiworo merupakan tempat yang aman untuk berlindung, di samping tempat untuk memperbaiki kapal-kapal yang rusak, seperti tiang atau kemudi yang patah, dapat diperbaiki atau diganti di Selat Tiworo. Selat Tiworo merupakan bagian Pulau Muna, pulau penghasil kayu jati berkualitas tinggi. Kayu jati tersebut dipakai untuk mengganti bagian-bagian kapal yang rusak. Selain itu, kayu jati juga menjadi bahan komoditi perdagangan yang berharga. Apabila kapal-kapal kehabisan bekal dan air minum, kebutuhan tersebut dapat diperoleh di permukiman penduduk di sekitar Selat Tiworo dalam hal ini merupakan jalur pelayaran yang cukup ramai pada zamannya.

Menurut cerita yang berkembang di masyarakat Kerajaan Tiworo pernah mengirim utusan ke Tiongkok. Hal ini menunjukkan bahwa Kerajaan Tiworo adalah sebuah kerajaan yang sudah mapan, sudah mempunyai pemerintahan yang berwibawa dengan masyarakat yang tertib dan teratur. Untuk sampai ke tahap itu, tentu memerlukan waktu yang relatif cukup Panjang. Jadi, kelahiran Kerajaan Tiworo, menurut anggapan penulis berkembang sekitar awal bad ke-6. Sayang sekali, belum ada satu pun data sejarah yang dapat menjelaskan tentang keadaan Kerajaan Tiworo ini. Namun, berdasarkan keterangan sebelumnya nama Tiworo sampai hari ini masih tetap ada. Dari tradisi dan fakta yang ada, diketahui bahwa wilayah Kerajaan Tiworo meliputi daratan Muna bagian utara dengan batas kali Rambiha Sangkula, serta daratan Muna Barat laut, ditambah seluruh pulau-pulau di selat Tiworo, termasuk Pulau Kabaena dan daratan sepanjang pesisir selatan jazirah Sulawesi Tenggara. Dalam proses pasang surut keberadaanya, Kerajaan Tiworo tidak sampai punah, seperti halnya Kerajaan Tarumanegara di Jawa Barat. Kerajaan Tiworo dapat kembali bersamaan dengan munculnya Kerajaan Wuna dan Kerajaan Wolio (Buton), pada sekitar awal abab ke-14. Kambaara adalah ibu kota Kerajaan Tiworo yang terletak di tepi Sungai Kambaara, waktu itu tentu belum terlalu jauh dari muara di Pantai Barat Laut Witeno Wuna.

Dari jejak peninggalan sejarah Kerajaan Tiworo hingga hari ini masih bisa disaksikan, antara lain benteng-benteng pertahanan, seperti Benteng Kota Tiworo, Benteng Waobu, Benteng Lasiapamu, Benteng Lapadaku, Benteng Lakauale, dan Benteng Kota Lambiku. Kebanyakan benteng tersebut berdiri di tempat yang jauh dari daerah yang berbatu. Menurut cerita, batu-batu yang digunakan untuk membuat benteng tersebut, selain diangkut dengan perahu melalui sungai (Kambara dan Lambiku), juga diangkut secara estafet oleh orang-orang yang berdiri yang berjajar, mulai tempat batu-batu berada sampai ke tempat dibangunnya benteng. Hal itu membuktikan adanya pemerintahan yang kuat dan berwibawa. Tiworo sebagai kerajaan maritim yang menguasai laut dan selat, menjadi jalur lalu lintas pelayaran yang ramai dari barat ke timur dan sebaliknya. Selain itu, Tiworo mempunyai armada laut yang kuat, baik untuk kepentingan perdagangan maupun untuk kepentingan keamanan dan pertahanan.

Menarik diketahui tentang tulisan oleh Ibrahim Buchari yang mengutip pendapat Said Alwi bin Thahir Al Hadad Mufti dari Kerajaan Johor sebagai berikut. “Sulaiman Assirafi, pedaagang dari pelabuhan Siraf di Teluk Persia yang pernah mengunjungi timur jauh berkata, bahwa di Sala (Sulawesi) terdapat orang-orang Islam waktu itu, yaitu kira-kira pada akhir abad kedua Hijriah. Hal ini dapat dipastikan dan tidak perlu dijelaskan lagi, karena perdagangan rempah-rempah dan wangi-wangian yang terdapat di Maluku, sangat menarik pedagang-pedagang muslim untuk berkunjung ke Maluku dan tempat yang berdekatan dengan kepulauaan itu” (Buchari dan Ibrahim S., 1971).

Dari kutipan di atas dapat diperkirakan kerajaan di Sulawesi (Sala) yang dapat dilalui oleh Sulaiman Assirafi, dalam pelayarannya menuju Maluku ataupun kepulauan yang terdekat dengannya. Bukan hal yang mustahil apabila Kerajaan Tiworo menguasai perairan Selat Tiworo yang merupakan jalur pelayaran menuju Maluku ataupun kepulauan yang terdekat dengannya. Bukan hal yang mustahil apabila Kerajaan Tiworo menguasai perairan Selat Tiworo yang merupakan jalur pelayaran menuju Maluku. Jika hal ini benar, Tiworo saat itu (akhir abad 800 M) telah menjadi jalur pelayaran para pedagang muslim.

Pulau Sala (Mursallah) yang pernah disinggahi oleh rombongan sahabat Nabi yang akan ke negeri Cina, yang dipimpin oleh Wahab bin Abi Qabshah, yang bertolak dari Madinah pada tahun 627 M (7 H). Rombongan tersebut singgah untuk mengambil air dan bahan-bahan yang diperlukan, sambil menyiarkan Islam atas dasar Faqqu Raqabah. Wahab bin Abi Qabshah dan sebagian rombongannya meninggalkan Cina dan kembali ke Arab tahun 632 M.

Di Pulau Sala (Sulawesi) pada tahun keberangkatan rombongan tersebut (627 M), belum ada kerajaan yang dikenal selain Two-ho-lo atau Tiworo yang mengirim utusan ke Tiongkok, bersama Ho-ling dan Two-po-teng pada tahun 640 M dan 648 M. Pelaut biasanya singgah berdagang sambil mengambil kebutuhan perbekalan di pusat-pusat kerajaan atau di bandar-bandar perdagangan ramai. Oleh karena itu, ada kemungkinan tempat yang disinggahi oleh Wahab bin Abi Qabshah adalah Kerajaan Tiworo.

Ada petunjuk bahwa ibu kota Kerajaan Tiworo kuno berpusat di Lambiku sebelum pindah di Kambara. Indikasi pertama ialah nama benteng di Lambiku yang disebut Benteng Kota. Ini berarti bahwa Lambiku adalah ibu kota pada waktu itu.

Indikasi kedua iadalah kondisi dan keadaan Benteng Kota sendiri. Benteng-benteng lain yang umumnya berada pada garis batas dengan Kerajaan Wuna yang muncul kemudian, terlihat hampir masih utuh (40-60⁒ batu-batu benteng masih bersusun), sedangkan benteng kota hanya tinggal situs karena batu-batu pagar sekeliling benteng sudah hampir tidak ada lagi. Benteng itu berada pada puncak bukit, kira-kira sekitar 500 meter di sebelah barat jalan raya Raha-Tampo pada Km 23 dari Raha. Terkesan bahwa benteng itu jauh lebih tua dari pada benteng-benteng lainnya. Setelah Kabupaten Muna Barat memisahkan diri dari Kabupaten Muna, terjadilah pemugaran benteng-benteng Kerajaan Tiworo.

Jika memang benar bahwa Lambiku adalah ibu kota pertama sebelum Kambara, hal itu dapat dimaklumi dengan melihat posisi strategis wilayah tersebut. Lambiku terletak di ujung utara Witeno Wuna bagian timur di muara sungai yang Bernama juga Lambiku, merupakan posisi kunci di titik silang antara selat Tiworo dan selat Buton. Letak yang demikian strategis menyebabkan Tiworo dapat mengontrol jalur pelayaran, baik yang melalui Selat Tiworo maupun selat Buton. Demikian terkenalnya kerajaan ini sehingga ketika orang (Portugis) yang pertama datang di Nusantara pada akhir abad ke-15, mereka mencantumkan nama “Tiworo” sebagai nama selat yang terletak antara Witeno Wuna dan Daratan Semenanjung Sulawesi Tenggara dalam peta mereka, bukan nama Pantiano (nama yang diberikan oleh Ternate dan Portugis buat Witeno Wuna) atau nama lainnya. Dalam pasang surut perjalanan sejarah nama Tiworo kemudian, menurun, tetapi tidak sampai punah sebagaimana halnya Kerajaan Sriwijaya ataupun kerajaan lainnya di Nusantara.

MUHAMAD NADZIR lahir di Watuputih, Kabupaten Muna, Sulawesi Tenggara, 7 Mei 1995. Masa kecil banyak dihabiskan di Kota Raha yang terkenal sebagai pusat peradaban layang-layang tertua di dunia. Lulusan Pendidikan Bahasa & Sastra Indonesia, Universitas Halu Oleo (UHO), Kendari. Tergabung dalam antologi antara lain: Teluk Bahasa (2014), Merindu Mendari di Bumi Anoa (2015), Tak Ada Mata (Hari) (2019), Pandemi Puisi (2020), Rantau (2020), Menikah yang Menikam (2020), Ayahku Jagoanku (2021), Para Penuai Makna (2021), Anakku Permataku (2021), Seribu Tahun Lagi (2021), Guruku Inspirasiku (2021), Lelaki di Lautan (2021), dan Para Penyintas Makna (2021-2022). Semasa kuliah bergabung di Laskar Sastra Universitas Halu Oleo. Sejak tahun 2018, bergiat di Pustaka Kabanti Kendari dan aktif di dalam menulis sastra. Saat ini, Nadzir bekerja di Jakarta dan tetap bergiat di Pustaka Kabanti Kendari secara jarak jauh – jarak dekat lewat komunikasi digital. Puisi di atas, dikutip sepenuhnya dari antologi puisi