OLEH: SYAIFUDDIN GANI

Jumat, 11 Maret 2022 sebuah helatan kesenian bernama Ruang Apresiasi Seni (Ruas) berlangsung di Pendopo Taman Budaya Sulawesi Tenggara. Ruas ditaja oleh Ziarah Kesenian Sulawesi Tenggara (ZK Sultra), sebuah komunitas seni yang hadir di Bumi Anoa, 22 Februari 2022, lalu.

Undangan yang beredar di media sosial, sejatinya dimulai pukul 19.45 WITA, akan tetapi hujan yang mengguyur Kota Kendari sejak Magrib, membuat banjir dan genangan di mana-mana. Antara panitia dan penampil pun sepakat, acara diundur. Penonton pun baru bisa hadir lewat pukul 08.00. Sehingga Ruas 1# baru bisa tergelar sekitar pukul 21.00. Suasana pendopo taman budaya masih dingin ketika dua pewara, Adinda F.P. Pangerang dan Erviana Hasan mulai menyapa hadirin di atas panggung.

Dinda dan Ervi punya cara tersendiri menghangatkan suasana. Ia memberi kode bahwa ketika keduanya mengucapkan “Ziarah Kesenian Sulawesi Tenggara”, dijawab penonton dengan “Ruang Apresiasi Seni”. Demikianlah, suara semangat bergemuruh di area Taman Budaya Sulawesi Tenggara yang sudah lama sepi dari gelaran kesenian.

Sebagai penyelenggara acara, ZK Sultra memberi sambutan di awal yang disampaikan presidennya, Achmad Zain. Ia jelaskan bahwa ZK merupakan komunitas seni lintas negara ASEAN. Digagas oleh Yasinna Saleh, sastrawan dan sutradara film Malaysia, ZK berdiri di beberapa negara ASEAN. Khusus di Indonesia, sudah hadir di Jakarta, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, dan terkini Sulawesi Tenggara. Konon, ZK segera akan hadir di Kalimantan Selatan. ZK menjadi lembaga independen yang bebas berkreasi sesuai konteks, kebutuhan, dan dinamika setempat.

Achmad Zain yang juga pendiri Teater Sendiri, sebuah komunitas sastra-teater di Kendari, menjelaskan bahwa ruas berfungsi sebagai ruang dan jarak untuk mengukuhkan keberadaan sebatang bambu. Ruas itu memiliki air untuk hidupnya sang bambu dan butuh regenerasi ruas agar melahirkan rumpun bambu yang kokoh. Demikianlah Ruas yang direncanakan hadir secara rutin ke depan dan demikian juga kesenian butuh proses dan kesinambungan untuk memberi sebuah dampak.

Tampilan pertama dimulai oleh Astika Elfakhri lewat musik. Ia memainkan “Proof of Existence” karya Buzz Gravelle. Keterampilan memetik tali dawai gitar dari jari-jemarinya merupakan tontonan yang menghibur dan indah. Dengan penghayatan yang dalam, Astika yang penyair ini, mampu menyedot konsenrasi penonton selama kurang lebih lima belas menit tampilannya. Ternyata, ekspresi musikal dapat pula menjadi ruang penghikmatan spiritual.

Astika Elfakhri di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

Ruas #1 malam itu menjadi ruang bagi kata-kata, bagi puisi. Empat persembahan berikutnya berasal dari penyair Sulawesi Tenggara. La Ode Muh. Rauf Alimin membaca tiga puisi dengan suara yang dinamis, mengikuti pesan atau makna yang terbuhul dalam baris-baris puisinya. Salah satu puisinya berjudul “Surat Lamaran Kematian” lahir dari suasana belitan pandemi, katanya. Berikut ini, puisi dimaksud saya kutip penuh.

SURAT LAMARAN KEMATIAN
Adam
Di Suatu Basah

Selamat hilang kedatangan.
Aroma pucat masuk pula ke tanggal. Bunyi-bunyi sunyi makin pukul. Aku sudah nafsukan dia. Aku sudah lukakan aku punya aku. Mulut menor dan batu sudah dipasangkan. Jangan cari lubang lagi! Lubang sudah bolong. Dan aku pun sedang menuju kemarin. Kalau-kalau tua itu ada di sana, mestilah nyanyi itu sangat peluk di genangan mayat-mayat laron. Apalagi basah ini. Turun menulis hapus padamu. Lalu dia tangis-tangis di mataku. Jadi semakin kemarinlah esok.

Anggaraku melunak-lunak, pukul empat di suatu basah. Lilin koyak, mata koyak, tubuh koyak. Di bawahnya ilam-ilam segala cari. Ini gelapmu atau cahaya dosaku? Butuh berapa apa buat menyala? Maka kutuang-tuangkan kopi liberika itu pada cangkir tubuhku. Sekadar melubangi ketebalan gelap. Daripada mata tak tawa. Daripada datang tak jelang. Aku teguk lagi basahmu. Sepenggal dari sehelai kepala. Separuh dari selembar waktu. Duhai aku, enyahlah dari kepalaku!

Wolio, 1 Syawal 1441

Dengan metafora yang pekat, seperti “Jangan cari lubang lagi! Lubang sudah bolong. Dan aku pun sedang menuju kemarin”, sebuah pengalaman mengerikan tentang kematian, ia kemukakan. Puisi ini membuka lagi layar demi layar pemberitaan dan memori tentang antrian jasad di lubang kematian akibat pandemi.

Ld. Muh. Rauf Alimin di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

Pembacaan puisi berikutnya adalah Muammar Qadafi Muhajir. Tema kopi menguat di dalam dua di antara tiga puisi yang ia bacakan. Minum kopi, sebagaimana aktivitas kelaziman masyarakat, ia hadirkan jua. Akan tetapi, ada kopi lain yang tersaji di puisinya yang membuat bulu kuduk bergidik. Inilah puisinya yang utuh.

CARA LAIN MEMINUM KOPI

Aku menghabiskan dan masih mencari
Di cangkir itu, ada sendang dan dasarnya
tetaplah misteri
Aku meminumnya seperti tenggelam
ke sendang, tertekan sebelum lepas
tanpa syarat atau luput sendirinya.
Apa yang kukenang adalah segala
yang kuhanyutkan ke sana.

Apa yang kuhanyutkan adalah
segala yang pantas kuhanyutkan kecuali racun
yang tiada penawarnya: kebingunganku sendiri.
Ketakutanku yang nanar terhadap apa.
Kau akan mendengar esok hari, seseorang
telah mati meneguk racunnya sendiri.
Akulah berita ketiadaan
yang menyemerbak ke seluruh kota.
Orang-orang tidak menemukan bukti
meski mereka telah habiskan setiap detik
yang melambat dan siapa pun tahu waktu tidak
biasa mengalah untukku atau untuk cinta.

Kadang kita harus percaya waktu berhenti
semata untuk kita saja atau kita terhenti semata
karena waktu saja. Dan aku sadar saat itulah
kesekian kalianya aku lagi-lagi mengalah.
Mereka menjadi tamak dan iri kepada
kesenyapan malam tapi bukan di sana
kutelentangkan kematianku.
Bila esok kau tidak sabar lagi.
Kau minum racunku dan
kau seduh hatiku: satu-satunya yang tersisa
dan masih bisa kau percaya.
Suntuk pencarianmu di situ.
Di hari kau menyaksikan sendiri
kesungguhanku yang tiada
berpura-pura

Kendari, 2 Januari 2022

Muammar Qadafi Muhajir di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

Dari puisi itu tampak bahwa ternyata, minum kopi bukan sekadar sebuah laku yang lazim belaka. Penyair melihat, bahwa “di cangkir itu, ada sendang, dan dasarnya tetaplah misteri” sebagai frasa yang menjelaskan bahwa ada pengalaman dan suasana batin tertentu yang ikut serta dalam aktivitas minum itu. Si aku mengenang sesuatu. Dan yang ia kenang adalah “segala segala yang pantas kuhanyutkan kecuali racun, yang tiada penawarnya: kebingunganku sendiri.” Ada kesan ganjil bahwa “kau akan mendengar esok hari, seseorang telah mati meneguk racunnya sendiri.”

Jika ditarik ke konteks realitas masyarakat kita, tahun 2016 lalu pernah ada kejadian seseorang yang mati akibat meneguk kopi yang beracun sianida yang berlatar sebuah affair yang memantik perdebatan. Yang mati dan yang divonis sebagai pelaku adalah dua sahabat dekat. Minum kopi dapat menjadi arena untuk berbagi kisah, kasih, sayang, akan tetapi dapat juga menjadi momen memutus dan hancurkan ikatan, tersebab adanya “cara lain meminum kopi” tak biasa, sebagaimana judul puisi ini. Cara baca puisi Ammar yang tidak ekspresif, tetapi menumpukan makna puisi pada teks, memberi ruang bagi pentonton untuk memetik pesan dari kata-katanya.

Adalah Ahmad Ridwan Wanderer yang tampil berikutnya dalam pembacaan puisi. Berbeda dengan penampil sebelumnya, Ridwan baca puisi dengan ekspresif. Puisinya yang bernada kritik sosial, menambah gelegar suara yang nyaring tersampaikan. Antara gugatan dan cara pembacaam berkelindan jadi satu, membentak keadaan, hangatkan pendopo yang sudah ditinggalkan hujan. Inilah salah satu puisi Ridwan.

Ahmad Ridwan Wanderer di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

TIADA NAMUN SEBENARNYA ADA

Kepada siapa?
lidah akan berbisik
Mulut tak bernyawa
mengigit perahu rusak

suara dari kedalaman jiwa
menjadi kunang-kunang yang tak nyata
amarah membutakan jalan
mengiris-iris kantong daun

kepada siapa?
lambung dompet akan memberontak
tiang-tiang telah lapuk
jemari tak punya nyali untuk meminta

luka telah kental
tangis bersembunyi di balik siul
terkadang ada rasa sesal
saat bibir menyentuh tembakau usil

harga-harga datang menyumbat nafas
meloncat hingga ke ujung kertas
adakah yang sanggup untuk mendengar
saat rayap sibuk mencari kubur

ada untuk menjadi tiada
tiada atas nama bisu
bisu untuk menghemat waktu
menghemat waktu agar nyawa menjadi tiada

Kendari, 13 November 2017

Ia memulai dengan sebuah pertanyaan, “kepada siapa? lidah akan berbisik, mulut tak bernyawa, mengigit perahu rusak.” Terdapat pertanyaan ke pihak entah yang tidak butuh jawaban. Ada keberpihakan penyair atas kemiskinan dan juga orang-orang bernasib tidak baik, melalui metafora “menggigit perahu rusak” sebagai lambang kemelaratan dan kesia-siaan harapan. Pesan dalam puisi makin tampak melalui baris “harga-harga datang menyumbat nafas” sebagai sumber inspirasi penciptaan yang “meloncat hingga ke ujung kertas” sang penyair. Realitas sosial yang menguakkan kemelaratan, terepresentasi di dalam baris “lambung dompet akan memberontak, tiang-tiang telah lapuk, jemari tak punya nyali untuk meminta.”

Achmad Zain hadir dengan puisi pendek dan gaya ungkap yang sederhana, tetapi menohok. Kritik atas laku manusia yang menyimpang, terasa kuat mendesak hadir di dalam puisi yang dia bangun dari dua bait ini. Inilah kutipan utuh puisinya.

Achmad Zain di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

KATA KATAK DALAM TEMPURUNG

Kata bak katak
Berlompat-lompat
Dari mulut berlumut
Maut kian dekat menjemput
Kata tak jua tertata
Tuk menjelma kalimat

Berteriak katak
Dalam tempurung
“Inilah aku raja Kata-kata”

Wua-wua Ramadhan 07

Walau bertiti mangsa 2007, akan tetapi masih kontekstual dan relevan dengan kekinian, kepada situasi apa pun puisi ini dimaknai. Tabiat orang-orang dengan perilaku “kata tak jua tertata” walau “maut kian dekat menjemput” mendapat kritik tajam puisi Zain. Kenyinyiran tak bermakna itu, dibalut pada larik dalam pengandaian “bak katak, berlompat-lompat.” Padahal, dunia begitu luas terhampar, mungkin demikian salah satu pesan tersirat dalam puisi ini, sehingga tidak perlu ada laku yang “berteriak katak, dalam tempurung, Inilah aku raja Kata-kata”. Berangkat ke dunia yang terbentang tak terhingga ini, mengingatkan saya pada puisi Asrul Sani ”Surat dari Ibu”. Agar tidak sekadar melompat di tempat yang sama sebagaimana yang dikritik Achmad Zain, Asrul Sani berpesan agar “pergi ke dunia luas, anakku sayang, pergi ke hidup bebas!” Peluang untuk bebas dari kotak dunia sendiri selalu terbuka, “selama angin masih angin buritan, dan matahari pagi menyinar daun-daunan.” Achmad Zain berbicara tentang “katak”, Asrul Sani tentang manusia.

Empat pembacaan puisi, memberi kesan kuat dan intim pada penonton. Bagaimana tidak, sebagaimana gagasan Ruas #1, jarak panggung dan apresian begitu dekat, sehingga setiap huruf yang keluar, jelas di pendengaran. Puisi yang dibaca tidak sekadar 1 belaka, tetapi 3 sampai 4 judul. Dengan demikian ada kesempatan penampil untuk membaca puisinya dengan penghikmatan yang dalam. Sebaliknya, penonton diberi momen menyaksikan dan mendengarkan pembaca dan puisi, hadir sekaligus dalam satu momen apresiasi.

Panitia, peserta, dan penonton dalam satu sesi pemotretan bersama. (Foto: Dok. ZK-Zultra)

Jika empat penampil sebelumnya adalah pembacaan puisi, peserta selanjutnya adalah Putry Ramdan melalui sebuah monolog “Balada Sumarah” karya Tentrem Lestari. Monolog yang disutradari Marwan Karl Wan tersebut mampu menyedot perhatian penonton selama 16 menit penampilannya. Kekuatan sang aktor, yakni Putry Ramdan dari Teater Tujuh ini, menjadi daya tarik tersendiri pertunjukannya, dipadu dengan vokal yang berkarakter. Meskipun demikian, mungkin karena tidak sempat menyiapkan musik dan tata artistik panggung, sehingga belum menampilkan keutuhan pemanggungan yang diidealkan sendiri oleh sutradara dan aktornya. Akan tetapi, dengan potensi aktor yang didukung sebuah bangku pesakitan, “Balada Sumarah” tetaplan menjadi monolog yang berhasil.

Monolog ini, tak pelak lagi merupakan potret buram nasib TKW Indonesia di luar negeri. Tersebab ia seorang babu dan menjadi perkosaan sang majikan, ia pun membunuh majikannya. Nasib Sumarah memang sudah tidak baik sejak dalam kandungan. Ayahnya dituduh sebagai antek PKI dan pacarnya pun meninggalkan dia karena tak mau dianggap kekasih anak seorang antek partai terlarang itu. Untuk mempernaiki hidup, ia memilih jadi TKW yang tak jua mengubah hidupnya jadi lebih baik, justru semakin pilu. Di depan hakim persidangan, ia siap divonis mati dan menyatakan pembelaannya sebagai seorang perempuan yang layak berbicara dan menjaga martabatnya.

Putry Ramdan di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

Tata cahaya oleh Menggaa Lighting yang diperasikan oleh Irawan Tinggoa mampu memberi kesan emosional tertentu pada lakon yang dimainkan Putry yang mendapat banyak kritik dan apresiasi sekaligus.

Malam itu, Ruas #1 mencoba menjadikan dirinya sebagai ruang kesenian yang baik, di tengah fungsi Taman Budaya Sulawesi Tenggara yang tidak lagi jelas dalam waktu yang cukup panjang. Hampir tidak ada agenda kesenian yang jelas yang pernah ada di lembaga milik pemerintah ini dalam beberapa tahun terakhir. Gedung Kesenian yang dibangun beberapa tahun silam, tidak layak digunakan sebab sistem akustik yang jelek. Suara di dalamnya berkelahi alias berpantulan sana-sini, sehingga tidak jelas apa yang diucapkan. Mirisnya, Museum dan Taman Budaya Sulawesi Tenggara sudah berkali-kali mengalami pencurian aset pentingnya, yang hingga kini belum juga tertangkap pelakunya. Hadirnya Ruas #1 malam itu, terasa mengembalikan kerja yang seharusnya hadir di ruang itu; ruang kesenian.

Kembali ke panggung yang ditaja Ziarah Kesenian Sultra. Pembacaan puisi masih menjadi tontonan berikutnya. Penyair Amaya Kim tampil membacakan tiga puisinya. Amaya yang dikenal sebagai cerpenis ini, mampu tampil dengan penuh penghayatan, dipadu pembacaan yang liris. Puisi Amaya Kim, begitu menyentuh, dengan latar seorang anak-ibu tunawisma yang rumahnya kehilangan kunci. Inilah puisinya itu.

PULANG

apa lagi yang kita tunggu, Bu?
cinta sudah lama pergi dan mengunci pintu
dari luar sementara kita tak lagi
memiliki korek api untuk dinyalakan

kenakan mantelmu, Bu
dingin akan melumat kita seperti yang selalu
dilakukannya kepada setiap tunawisma
tapi kita punya rumah, kan, Bu? hanya saja kita
telah kehilangan kuncinya

jadi, apa lagi yang kita tunggu, Bu?
pintu itu tak akan diketuk siapa-siapa
kecuali hantu-hantu yang dulu kita panggil bahagia
atau kebahagiaan atau sesuatu yang mirip dengan itu

kenapa wajahmu muram, Bu?
apakah sejak awal tak pernah ada kunci
dan kita tak pernah benar-benar punya rumah?

kalau begitu, kancingkan mantelmu, Bu.
dingin akan melumat kita seperti yang selalu
dilakukannya kepada setiap gelandangan
kita tak akan lagi menangis sebab menangis
hanya dilakukan orang-orang yang kalah

Bu, cuaca hari ini sedikit terlalu dingin
tapi tidak apa-apa
kita sudah hidup begitu lama
dan tak pernah sekali pun merasa hangat

Amaya Kim di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

Amaya Kim selaku penyair, memperlihatkan kepekaan sekaligus keberpihakan kepada para tunawisma yang adalah orang-orang tak bernasib baik di sebuah kota, di sebuah negeri. Percakapan getir dan satir dari anak-ibu, begitu menyentuh. Si anak bilang, “jadi, apa lagi yang kita tunggu, Bu?” Seakan-akan tiada sesuatu apa pun yang layak mereka nanti dalam hidupnya untuk sebuah perubahan. Akan tetapi, si anak kembali bilang, ”pintu itu tak akan diketuk siapa-siapa, kecuali hantu-hantu yang dulu kita panggil Bahagia, atau kebahagiaan atau sesuatu yang mirip dengan itu.”

Wow, kosakata kebahagiaan dalam hidup orang-orang pinggiran pada puisi Amaya adalah hantu yang menjadi harapan, sekaligus menyaru menjelma sesuatu yang menyeramkan. Kebahagiaan itu, mungkin hanya ia lihat di jalan-jalan, saat melihat orang-orang seperti mereka dengan tampilan yang lebih layak dan mungkin akrab dengan sang Bahagia. Dengan getir, mereka sadar dalam sebuah pertanyaan bahwa “kita tak pernah benar-benar punya rumah?”

Hidup tanpa rumah lalu memimpikan kebahagiaan adalah hantu abadi yang tercandra pada puisi Amaya.
Sejatinya, penampilan berikutnya adalah musikalisasi puisi dari Topan Megabayu feat Iin Bheverly. Akan tetapi, tiba-tiba ada sebab yang membuatnya tidak sempat manggung.

Malam itu, puisi paling banyak dihadirkan. Saya juga ikut tampil membacakan tiga buah puisi di hadapan penonton setia. Penonton tidak hanya ada di ruang pendopo, tetapi juga di gazebo, sekitar enam meter dari arena Ruas #1. Mereka menikmati tontonan dari jauh, karena kualitas sound yang cukup bagus dan pencahayaan yang kuat sehingga masih memungkinkan dinikmati tidak dari jarak dekat. Penonton ngopi dan nikmati kudapan saat sebuah puisi dari latar penggusuran Kota Lama Kendari, saya bacakan.

Syaifuddin Gani di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

RUMAH YANG PINTUNYA TERTUTUP SELAMANYA

Sebuah rumah tertutup selamanya
Debu dan waktu bersekutu mengunci pintu
Laba-laba menjadikannya rumah kenangan

Masa silam gentayangan di jendela yang ragu
Apakah merapuh dalam lepuhan waktu
Ataukah khusu’ dalam kepungan:
Masa kini yang meleraikan
Harap dan ratapan

Kota Lama Kendari
Di jembatan ia terbujur

Tetapi di nol kilometer kota
Di antara ruko-ruko yang berlari menuju masa silam
Jejak dan tiang gosong mengejar sang kala
Kata-kata memanggil ribuan nama
Nama yang jadi titian
Hilir mudik kedatangan dan kepergian

Kota Lama Kendari, 1 Oktober 2017

Puisi ini dicipta dalam masa-masa penggusuran sebagian pemukiman dan ruko-ruko di Kota Lama Kendari, untuk pembangunan Jembatan Bahteramas, yang kini bernama Jembatan Teluk Kendari (JTK). Kota Lama, demikian warga Kendari menyebutnya, sebuah arena titik nol kilometer Kendari. Di sana pula pusat awal Kendari, dengan teluk yang ramai di sampingnya. Tidak ada upaya pemerintah saat itu untuk melakukan revitalisasi Kota Lama, sehingga ia menjadi cagar budaya sekaligus kota tumbuh, kota hidup, yang berdepan-depan dengan nafas zaman. Akan tetapi, ia dilihat sebagai bagian dari masa silam yang memang secara fisik sudah agak ketinggalan dibanding daerah lain Kendari yang berkembang, ia pun bukan bagian dari perencanaan modern yang membuatnya benar-benar kini menjadi puing-puing. Kini, jembatan telah menghubungkan dua sisi teluk dengan megahnya. Akan tetapi, sebagaimana puisi ini, “Kota Lama, Kendari, di jembatan ia terbujur.”

Iwan Konawe cukup dikenal melalui puisi-puisi etniknya yang berlatar etnografi Tolaki. Malam itu, ia membaca tiga puisinya, masih dengan latar tanah kelahirannya itu. Puisinya, “Haluoleo” mengangkat kembali sebuah epik dalam masyarakat Tolaki, Konawe. Dalam perspektif orang Konawe, Haluoleo adalah sosok tokoh yang dihormati karena mampu meredam amuk peraompak di daratan Konawe. Ada rindu dan kekaguman, yang bercampur dalam ode kepahlawanan bagi Haluoleo. Simaklah puisi ini yang menutup tampilan kesenian di panggung Ruas #1.

HALUOLEO

Di hutan-hutan Kalapi, Konawe kelam
Matahari yang telanjang turun dari kisahmu
Delapan hari, delapan malam
Bumi dengan sabarnya menunggu lahirmu

Tak ada tabuh genderang berdengung
Tapi tangis itu bergemuruh menggamang

Haluoleo
Kapal-kapal perompak negeri seberang
ambruk di tanganmu
Labolontio kapar di pedang
Tapi cinta yang kau pendam
Tetap lekat di dadamu
Di hati putri persembahan

Konawe dalam kisahmu
Hujan duka turun di tanah leluhur ni
Di atas lautan kembara
Teduh layar dan laju buritan
Mengantarmu ke negeri seberang

Berabad-abad lamanya
jejak tubuhmu
Mengabur ke mana-mana
Tapi jejak jiwamu
Bersemayam di belantara Konawe

Di atas tanah ini
Leluhur dan ritus basah
Doa-doa dan asap dupa resah
Memanggilmu untuk kembali

Namamu begitu sepi di tengah ilalang
Tapi kau tak pernah kemari
Merimbun mantra dalam semedi
Lalu hutan-hutan Konawe kembali kosong

Konawe, 2017

Iwan Konawe di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Tangkap layar video Arif Relano Oba-Pekamata)

Puisi bercorak naratif tersebut melihat Haluoleo sebagai manusia yang dapat bekerja sebagai panglima sebuah perang yang meruntuhkan musuhnya, tetapi dapat juga luluh pada hati seorang perempuan. Iwan Konawe, merekamnya melalui larik berikut, “Labolontio kapar di pedang, tapi cinta yang kau pendam, tetap lekat di dadamu, di hati putri persembahan.” Hal menarik pada puisi ini adalah Iwan dapat menariknya ke konteks kekinian, sehingga semangat Haluoleo yang hidup di dalam narasi masyakat Konawe, tetap hidup di masa kini. Bacalah bait berikut, ”di atas tanah ini, leluhur dan ritus basah, doa-doa dan asap dupa resah, memanggilmu untuk kembali.”

Pertanyaan menariknya adalah mengapa Haluoleo harus dipanggil oleh “leluhur dan ritus basah” juga “doa-doa dan asap dupa resah?” Apakah maksud penyair adalah Konawe di kekinian perlu kehadiran seorang Haluoleo lagi untuk sebuah misi mendesak? Sepertinya ada kegalauan si penyair dalam melihat era kekinian yang membuatnya resah. Bait terakhir paling terasa sebagai suara kritis. Penyair melihat bahwa Haluoleo perlu hadir karena “hutan-hutan Konawe kembali kosong.” Jika ditarik ke konteks ekologi, hutan-hutan Konawe kini memang banyak yang “kosong” diganti sawit! Tersebab soal ini, Kendari dan beberapa wilayah Konawe, menjadi langgana banjir! Dalam poin inilah, Haluoleo perlu dipanggil lagi, sebab ada tugas yang belum selesai!

Doa untuk seni menutup keseluruhan acara Ruas #1. Putut Tedjo Saksono ke panggung membacakan doa. Ia awali dengan mengatakan bahwa tersebab dirinya bukan ustaz atau kiai, makai a akan baca doa semampunya saja. Doa yang bacakan pun cukup hikmat, yakni puisi “Doa” Chairil Anwar.

Putut Tedjo Saksono di Panggung Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Dok. ZK Sultra)

Dari area penonton, banyak yang memotret dan merekam keseluruhan tampilan. Dua di antaranya adalah Arif Relano Oba dari Pekamata yang merekam sebagau video yang kini dapat ditonton melalui Youtube dan dan Facebook Pekamata Indonesia, miliknya. Dokumentator lainnya adalah Adhy Rical dari Wakatobi Multimedia yang bahkan ia melakukan siara langsung via Facebook. Selain itu, publikasi kegiatan ini dapat pula dilacak melalui Instagram (zk.sultra, hiski.kbsultra, dan pustaka.kabanti_sg), Blog Pustaka Kabanti, dan haluansultra.id.

Sesi yang tak kalah hidup dan menariknya adalah diskusi. Kopi dan teh berkali-kali dituang dan direguk. Nikmat kudapan pun mengiringi jalannya diskusi. Firman A.D. selaku moderator memimpin jalannya diskusi dengan baik. Berbagai pendapat atas penampilan peserta, mengalir. Ada yang melihat pembacaan puisi yang mengutamakan teks sebagai media utama pesan, sebagai hal yang biasa, lalu melihat pembacaan puisi yang ekspresif dan penuh dinamika sebagai sesuatu yang menarik. Tetapi ada juga yang melihatnya sebagai keberagaman pembacaan puisi. Soal keberagaman gaya itu dianggap sebagai kekayaan bersama. Demikian juga dengan teks puisi yang dibacakan, memiliki gaya ungkap yang berbeda. Dari lirik sampai naratif. Dari yang metaforis sampai yang pamplet. Dari puisi panjang ke puisi pendek, menjadi kekayaan Ruas #1, malam itu.

Penonton-peserta di Ruas#1, Ziarah Kesenian Sultra, 11 Maret 2022. (Foto: Dk. ZK Sultra)

Peserta diskusi mengeluarkan pandangannya, berupa kritik maupun apresiasi. Kritik penting sebagai cermin untuk mengevaluasi pencapaian para peserta dan juga kesenian itu sendiri. Apresiasi perlu sebagai cara merawat kerja-kerja kesenian. Demikianlah, pandangan-pandangan dari Irianto Ibrahim, Achmad Zain, Sukrin, Adhy Rical, Putut Tedjo Saksono, Firman AD, Iwan Konawe, Marwan, Ahmad Ridwan Wanderer, Putry Ramdan, Rauf Alimin, Amaya Kim, dan Astika Elfakhri.

Beberapa pegiat seni juga hadir seperti Ari Ashari, Ramadoni, Budur Orlen, Ismail Fathar Makka, Ardian Rixan, Topan Megabayu, dan dari mahasiswa Fakultas Teknik, UHO.

Salah satu momen menarik adalah ketika Dinda dan Ervi selaku pewara membagikan tujuh hadiah buku sastra dan seni kepada peserta. Buku tersebut adalah sumbangan dari Rumah Buku Firza sebagai salah satu mitra kegiatan ini. Buku itu pun dibagi kepada peserta dan penonton yang menjadi kemeriahan tersendiri bagi Ruas #1.

Di ujung diskusi, Achmad Zain katakan bahwa Ruas tidak mesti ZK Sultra yang selalu laksanakan. Terbuka bagi komunitas atau lembaga lain sebagai bagian dari sinergi dan kerja sama sebagai pelaksana. Ketua Program Studi Pascasasarjana Pendidikan Bahasa dan Seni, Universitas Haluoleo, Irianto Ibrahim langsung menyatakan siap sebagai penyelenggara Ruas#2 selanjutnya, yang diiringi tepukan tangan peserta.

Ruang Apresiasi Seni, walau baru pertama kali diadakan, tapi ia dapat bekerja sebagai ruang-ruang harapan. Harapan bagi kesenian di Kota Kendari, setidaknya. Ruas di Kota Kendari akan menjadi bagian dari forum kesenian yang hadir memperkaya forum dan agenda serupa di kota lain di Sulawesi Tenggara seperti Kolaka, Baubau, Kolaka Utara, Buton, Konawe, dan Wakatobi. Ziarah Kesenian Sulawesi Tenggara, walaupun ia adalah sebuah komunitas, tetapi juga berfungsi sebagai media jejaring yang dapat menghubungkan kerja kesenian lintas kota, lintas provinsi, dan bahkan lintas negara.

Untuk Ruas #1, dapat terselenggara berkat dukungan komunitas sebagai mitra ZK Sultra, yakni Teater Sendiri, Pustaka Kabanti, Pekamata, Teater Tujuh, Rumah Buku Firza, HISKI Komisariat Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Penerbit Sekar Langit, dan Menggaa Lighting TS.

Kita berharap agar Ruang Apresiasi Seni menjadi ziarah kesenian bagi kesenian di Sulawesi Tenggara. Selain itu, kita berharap ke depan, agar agenda kesenian di Kendari marak lagi, setelah pandemi usai. Amin.

Kendari, 13 Maret 2022