Oleh: Maman S. Mahayana

 

Ya! Begitulah puisi! Selalu, selain menyimpan misteri, puisi kerap juga membawa kita pada suasana tertentu. Kadang-kadang melahirkan perasaan yang entah yang terasa mengepung kita! Lalu, kita merasakannya seperti berada di sebuah dunia yang hening, diam, riuh, hiruk-pikuk, riang, sendu, atau sederet isyarat tentang sebuah misteri, dan seterusnya. Setidak-tidaknya, begitulah memasuki dunia puisi Yudhistira ANM Massardi. Kita merasa, pesan yang disampaikan seolah-olah berada dalam bungkusan berbagai-bagai suasana itu. Maka, perlu juga kiranya kita bekerja keras mengejar pesan atau mencari makna sesuai dengan tafsir kita. Sebab, dari penghadiran suasana itu, pikiran, imajinasi, atau asosiasi kita laksana memasuki peristiwa bermacam-macam dengan sentuhan yang juga bermacam-macam. Meski begitu, jika pun gagal memahaminya, ya, tidak apa-apa. Nikmatinya saja. Puisi tidak selalu harus dapat dipahami. Cukup dirasakan pemaknaannya, dibayangkan suasananya: itu saja. Perkara benar-salah, tidak ada keharusannya dalam menafsirkan puisi.

Masalahnya sederhana. Ketika ada hasrat ingin mengetahui lebih jauh maknanya yang tersembunyi, puisi tak cukup memberi bahan berlimpah, mengingat ia dikemas secara padat-lugas. Perangkat yang disediakan puisi untuk menguak banyak hal, sangat bergantung pada kata, frasa atau kalimat dalam larik-larik yang sangat terbatas. Itu yang membedakannya dengan cerpen atau novel yang bercerita: naratif. Tetapi justru di situlah, puisi kerap malah menciptakan rasa penasaran. Apalagi jika kita berhadapan dengan puisi-puisi pendek.

Bagi puisi, semakin terbatas kata yang tersedia, semakin terbuka luas ruang tafsirnya: apa maksud? Apakah kemudian tafsir kita sesuai dengan pesan yang hendak disampaikan penyair sebagai intentional fallacy atau tidak, ya bukan soal lagi. Itulah keunikan puisi. Ia disusun lewat kata, frasa atau kalimat yang begitu hemat, sehingga membuka kemungkinan tafsir yang berbagai. Tetapi, tokh, kita tetap dapat menikmatinya, dengan atau tanpa harus berkerut kening. Jika ada suatu kenikmatan yang menyentuh perasaan, saat itulah kita memasuki wilayah estetiknya. Itulah yang disebut sentuh estetik (aesthetic contact), yaitu ketika kita merasakan ada sesuatu yang sedap, nikmat atau entah apa yang mencelat dari teks.

Ada 70 puisi yang terhimpun dalam buku ini. Sebagian besarnya disusun lewat larik-larik pendek, sebagiannya lagi bermain dengan larik-larik panjang. Di antara itu, penyair kerap bersiasat melakukan enjambemen, yaitu pemenggalan kalimat atau frasa untuk membangun kekuatan bunyi atau sengaja bersiasat: menyembunyikan pesannya atau sekadar bermain tipografi. Meskipun begitu, keseluruhannya menawarkan berbabagai peristiwa yang samar-samar, penuh isyarat, dan coba mempertemukan misteri kehidupan dan kematian; yang dapat dibayangkan dan yang entah, yang fana dan yang hendak abadi atau yang tampak sederhana, tetapi menyimpan kedalaman, atau semacam rekaman peristiwa-peristiwa dalam kehidupan sosial. Jadi, ada kecenderungan menghadirkan berbagai sisi kehidupan yang lalu dibungkus sebagai puisi, tetapi kok, mengerucut pada dua hal yang paradoks atau yang komplementer. Apakah ini sebuah isyarat?

Konon, hakikat puisi itu metafora: berkata begitu, maksudnya begini atau sebaliknya. Itulah yang dikatakan Sapardi Djoko Damono. Dalam perkara itu, Yudhistira agaknya sudah khatam, sebagaimana dipesankan Chairil Anwar: menangkap makna sampai ke putih tulang. Jadi, tentulah penyair punya kesadaran, betapa pentingnya ketepatan memilih kata dan tidak sekadar menderetkan frasa atau kata tertentu nemplok begitu saja asal enak dibaca. Yudhistira tentu tidak begitu. Seperti kata Sutardji Calzoum Bachri, “Bukan penyair sekadar!” Di sinilah, bagi penyair yang sebenar-benarnya penyair, pilihan kata menjadi semacam pertaruhan. Sebab, ini berkaitan—bahkan juga menentukan, kualitas kepenyairannya. Itulah yang membedakan penyair dengan penulis puisi! Terus, apa sumbangannya bagi kehidupan ini?
***
Perhatikan puisi berjudul “Akhirnya Kita” yang ditempatkan sebagai pembuka buku ini:

AKHIRNYA KITA

Akhirnya kita
Seperti dedaun
Runduk pada musim

Di kering Waktu
Kuning-rontok
Terjala ajal

Terjal
Seperti jatuh hujan
Pada aspal

Bersama bunyi langit
Guruh-gaduh
Di gunduk kubur

Sunyi-dengkur.

Bekasi, Maret 2022
Yudhistira ANM Massardi

Pertanyaan: mengapa puisi yang berjudul “Akhirnya Kita” ditempatkan sebagai pembuka, dan bukan sebagai penutup (bagian akhir)? Dari kasus ini saja, kita dapat membuat beberapa tafsir atas puisi ini: (i) dipandang lebih penting—secara tematis atau stilistik—dibandingkan puisi lainnya; (ii) boleh jadi juga dianggap mengisyaratkan keseluruhan tema buku ini; (iii) diperlakukan sebagai pembuka untuk memberi semacam penyadaran pesan keseluruhan; (iv) sebagai pintu gerbang pesan spiritual tentang hubungan kehidupan—kematian yang tersebar sebagai tema sejumlah puisinya; (v) mungkin juga sebagai isyarat tangan Tuhan (?).

Tafsir itu tentu saja, bisa benar, bisa juga tidak. Tetapi, duduk soalnya bukanlah pada perkara benar-salah, melainkan pada argumen apa yang mendasarinya. Dengan begitu, tafsir itu tidak mengandalkan ilmu “kirata”, sekadar “babaledogan” atau tebak cermat, melainkan atas dasar teks puisi itu sendiri. Bagaimanapun, puisi yang bergentayangan di tengah masyarakat, meski kita maknai sebagai karya yang sudah lengkap. Oleh karena itu, untuk memahami atau menganalisisnya, tumpuannya jatuh pada puisi itu sendiri. Jika dalam proses penafsiran itu kita merasa perlu mencantelkan teks puisi dengan biografi, ideologi atau kultur yang melatarbelakangi diri penyairnya, ya silakan saja. Pembaca bebas memperlakukan puisi itu sesuai dengan pengalaman baca, tingkat pendidikan atau sikapnya dalam mengapresiasi puisi. Mari kita periksa!

Akhirnya kita
Seperti dedaun
Runduk pada musim

Bait ini mengisyaratkan sebuah perjalanan usia. Penyair mengawalinya dengan paradoks: akhir yang ditempatkan sebagai awal (pembuka) dalam siklus kehidupan manusia. Artinya, bait ini laksana tanda seru, bahwa perjalanan waktu akan sampai juga pada titik akhir. Tetapi perhatikan metafora dedaun. Pilihan kata dedaun yang merepresentasikan bentuk jamak: kita, bukan aku (daun— tunggal), terasa lebih puitis dan secara semantik lebih tepat dibandingkan kata dedaunan yang sudah sangat lazim digunakan para penyair.

Perkara pilihan diksi itu juga terjadi pada kata runduk dan bukan merunduk yang lebih gramatikal atau jatuh atau luruh yang juga kelewat lazim digunakan untuk (isyarat) kematian atau akhir perjalanan hidup. Merunduk terkesan seperti ada pemaksaan dibandingkan runduk yang terasa lebih alamiah. Daun yang runduk artinya ia masih melekat pada ranting, belum tanggal yang berarti masih bertahan di sana. Jika tanggal, berarti sampailah ia pada kematian. Meski begitu, ia dapat menangkap isyarat, bahwa pada saatnya nanti, ia akan sampai juga ke sana; lepas-tanggal. Maka, runduk pada musim, selain menegaskan kesadaran bahwa ketentuan usia dalam siklus kehidupan itu harus diterima sebagai keniscayaan, juga ada penyikapan, untuk memperlakukannya dengan ketakziman. Di sana, ada keikhlasan—bukan kepasrahan, ada juga penghormatan pada hukum alam yang tidak dapat ditolak. Oleh karena itu, dedaun/runduk pada musim// menunjukkan juga kearifan-kematangan-kesiapan—dalam keikhlasan—untuk menuju ke sana. Pertanyaannya: ke sana itu, ke mana? Jawabannya ada pada larik terakhir puisi itu.

Perkara itu ternyata tidak cuma berhenti sampai di sana. Masih ada penegasan lain tentang tafsir bait pertama tadi. Di kering Waktu/Kuning-rontok/terjala ajal//. Meski dalam bait ini tidak disebut lagi entitas dedaun sebagai metafora kita—manusia, konteksnya tidak dapat dilepaskan dari posisi kita yang seperti dedaun runduk itu. Pesan dalam bait ini tidak lagi sekadar nasihat atau imbauan belaka, melainkan peringatan yang lebih tegas. Citraan /Di kering Waktu/ menunjukkan situasi yang sungguh tak nyaman, gersang, panas, dan sejenisnya dalam menghadapi Waktu (dengan W kapital). Inilah saat paling krusial, yaitu saat-saat terakhir, detik-detik menghadapi maut. Dalam kasus ini, pilihan kata /Waktu/ dengan W kapital, tentu bukan tanpa alasan, bukan juga sekadar sebagai satuan saat tertentu, melainkan saat menjelang akhir; maut, ajal, kematian. Waktu yang tentu; yang pasti datang, dan orang (: kita) tidak dapat berkelit lagi. Oleh karena itu, kita dapat memahami, mengapa penyair tidak memakai kata /saat/ yang justru dapat menghadirkan kakofoni—atau disharmoni yang tentu saja akan mengganggu persajakan dalam larik itu.

Bandingkanlah jika larik itu berbunyi: /Di kering saat/ atau /Di kering masa/. Bukankah kedua larik—yang menggunakan kata saat atau masa— itu terasa menimbulkan gangguan estetik? Kemudian proses perubahan itu dilanjutkan dengan: /Kuning-rontok/ yang acuannya, tetap mencantel pada dedaun pada bait pertama. Bukankah kelaziman rontok daun diawali perubahan warna menjadi kuning. Segalanya menjadi jelas lewat penegasan: terjala ajal. Kematianlah yang menjaringnya. Artinya, daun runduk yang lalu rontok itu, terikat oleh ketentuan ajal, maut, kematian.

Pesan yang disampaikan pada bait berikutnya lebih sebagai penegas bait kedua. Tetapi citraan pada bait ini terasa lebih kuat: Terjal/Seperti jatuh hujan/Pada aspal//. Dapat kita bayangkan, bagaimana hujan yang jatuh di jalan aspal (bayangkanlah dengan tetes hujan yang jatuh ke tanah atau ke genting yang menciptakan bunyi musikal). Hujan yang jatuh di jalan aspal cenderung mengalir membentuk genangan, tidak meresap-lesap ke dalam tanah. Artinya, daun kering yang rontok itu, menggelandang, tidak menjadi bagian dari tanah, tertolak bumi. Itulah kematian yang tak ikhlas. Lalu, klimaks kegelandangan itu, berakhir di Gunduk kubur (: kuburan)—Sunyi-dengkur// untuk mengatakan sepi-sesepi-sepinya. Tamat, selesai!

Dalam puisi “Akhirnya Kita”, seperti disinggung tadi, kita berjumpa dengan pilihan kata /Waktu/ dengan W kapital. Ternyata, dalam beberapa puisinya yang lain, penulisan /Waktu/ dengan W kapital itu, muncul lebih dari 20-an dalam puisi-puisi yang berbeda. Apakah ini kesengajaan atau kesalahan ketik? Mengingat relatif banyak penulisan kata Waktu dengan W kapital, patut kita mencurigainya, bukan kesalahan ketik, bukan pula sebagai waktu yang bermakna leksikal, melainkan punya makna khusus atau sebagai simbol, isyarat atau penanda tertentu untuk mendukung pesan puisi yang bersangkutan. Sebutlah beberapa di antaranya: Kepada Waktu yang tak pulang (“Kepada Waktu yang tak pulang”), Ketika Waktu meninggalkan siang mendetaki malammu (“Ketika Garam”), Seperti Waktu di suatu waktu (“Bersama Tembang yang Hilang”), Ketika Waktu dan umur tak bertemu/ Ketika Waktu dan umur tidak saling tegur (“Pukul 06.30”), dan seterusnya.

Bagi kaum sufi atau mereka yang mendalami tasawuf, perkara waktu yang secara konvensi berada dalam ruang tiga dimensi—bergerak meninggalkan masa lalu, memulai masa kini, dan melangkah ke masa depan—merupakan objek penting untuk membedakan waktu keabadian sebagai milik Tuhan dan waktu fana sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari ciptaan-Nya. Oleh karena itu, dalam pandangan kaum sufi, ada tiga pemahaman waktu, yaitu (i) waktu abadi yang inheren dengan keabadian Tuhan, (ii) waktu fana yang relatif yang berada dalam wilayah tiga dimensi kehidupan manusia dan makhluk lain sebagai ciptaan-Nya, dan (iii) waktu sebelum Tuhan melakukan penciptaan dan setelah terjadi peristiwa kiamat sebagai waktu yang tidak ada awal dan akhirnya.

Dalam konteks puisi-puisi Yudhistira yang menggunakan kata Waktu dengan W kapital, apakah yang dimaksudkannya waktu Tuhan yang abadi atau waktu dalam pengertian yang lebih dekat pada waktu fana. Tetapi mengapa mesti menggunakan W kapital? Kasusnya bolehlah dianalogikan dengan penulisan tuhan (t—kecil) dan Tuhan (T kapital) untuk membedakan sifat atau karakter Tuhan dan Tuhan itu sendiri. Oleh karena itu, kesengajaan Yudhistira menggunakan W kapital dapat ditafsirkan sebagai saat atau momen tertentu yang mutlak yang tidak dapat dihindari manusia, seperti ajal atau kematian, atau peristiwa-peristiwa yang berada di luar batas logika manusia. Atau, mungkin juga ada makna yang hendak ditegaskan penyair. Dalam hal ini, Yudhistira tentu saja berhak melakukan itu sebagai kesadaran pada kebebasannya berkreasi (: licentia poetica). Jadi, penyair tampaknya sengaja menempatkan kata /waktu/ yang abstrak dan relatif itu sebagai sesuatu yang mutlak. Setidak-tidaknya, kita dapat menempatkannya tidak dalam makna leksikal, melainkan sebagai waktu dengan makna simbolik atau metaforis.

Mengenai tema kematian, perjalanan hidup manusia atau perkara kefanaan yang diangkat Yudhistira, dalam konteks puisi dunia, sesungguhnya bukanlah hal baru. Para penyair sufi kerap mengangkat tema itu sebagai peringatan pada siklus perjalanan hidup manusia, pada penguasa jagat raya, dan pada kefanaan kehidupan duniawi. Bukankah dalam sejarah pemikiran umat manusia, masalah klasik yang kerap menggelisahkan para pemikir itu adalah hakikat eksistensi manusia? Mereka mempertanyakan keberadaannya di dunia: sebagai khalifah di bumi yang diberi kewenangan untuk memanfaatkan seisi alam untuk kebaikan umat manusia atau sebagai makhluk bebas yang hakikatnya tidak dapat melepaskan diri dari keberadaan sang pencipta. Jadi, dari mana, untuk apa, dan hendak pergi ke mana manusia berada di bumi ini?

Siklus kehidupan itu menegaskan perjalanan manusia kelak akan berlabuh di mana, di suatu tempat yang masih misterius, meski kitab-kitab suci dan kisah mitologi sudah menyebutkan nama-nama tempat yang misterius itu. Dalam filsafat Jawa, kita mengenal konsep sangkan para ning dumadi: sebuah pernyataan filosofis yang secara metaforis mewartakan asal manusia hadir dan ke mana ia akan kembali. Atau, dalam bahasa yang lebih lugas: dari tanah, kembali ke tanah!

Puisi “Akhirnya Kita” hakikatnya adalah pesan sangkan para ning dumadi atau dari tanah, kembali ke tanah. Tetapi, Yudhistira—seperti juga para penyair sufi, menyampaikan pesan itu tidak secara letterlijk, melainkan secara metaforis, agar kita –pembaca—ikut terlibat memikirkan hakikat keberadaan dan perjalanan hidup manusia di dunia. Perhatikan sebuah puisi yang tertulis di Makam Malikussaleh (1270—1297) berikut ini:

Sesungguhnya dunia ini fana
… tiadalah kekal
… ibarat sarang
yang ditenun laba-laba
….
(Terjemahan Teuku Ibrahim Alfian, 1991)

Ya, dunia manusia itu fana, begitu getas, rapuh laksana sarang laba-laba. Jadi, bersikaplah seperti daun yang runduk pada musim. Yang menerima perjalanan usia dengan keikhlasan, dengan kesadaran religius. Bukankah setelah perjalanan di dunia ini, tidak ada lagi yang tersisa dari warisan manusia, kecuali manusia itu sendiri yang sewaktu hidupnya memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan. Itulah yang ditegaskan Firdausi (940—1020 M), Bapak Penyair Persia tentang keberadaan manusia dan perjalanannya memaknai kefanaan: “Dunia adalah kenangan, kita akan pergi/Yang tersisa dari manusia hanyalah kemanusiaan//. Nah, pesan Yudhistira adalah metafora dedaun (: kita) yang kelak (Akhirnya …) mukim di kuburan.

Tentu saja cukup berlimpah puisi dengan tema keberadaan manusia, kematian, kefanaan dunia, dan Yudhistira menyembunyikan pesan itu dengan metafora daun dan membukanya dengan … akhirnya kita sebagai ujung sebuah perjalanan. Yudhistira, dengan caranya sendiri coba mengangkat tema dari perspektif daun. Tetapi di balik itu, jika kita hendak mengejar makna puisi(-puisi)nya dan mencermati keterampilannya melakukan pilihan diksi, kita tidak ragu lagi menempatkannya sebagai penyair yang tidak sekadar. Uraian ringkas tentang puisi “Akhirnya Kita” sekadar contoh, salah satu kekuatan penyair dalam membangun struktur puisinya.

Meskipun begitu, perlu ditegaskan, bahwa perjuangan penyair bukanlah cuma melakukan pilihan kata. Ada sarana puitik yang lain yang kerap dimanfaatkan penyair untuk mengungkapkan gagasan dan kegelisahannya, menciptakan ungkapan atau metafora yang lebih segar, atau mempermainkan repetisi—sebagaimana yang banyak kita temukan dalam banyak puisinya—untuk menegaskan pesan atau menciptakan paradoks. Dengan begitu, pergulatan penyair di medan makna akan sangat menentukan pilihan kata untuk membangun puisinya. Di sinilah sumbangan penyair dalam memperkaya daya ungkap bahasa yang digunakannya. Dengan cara demikian, berbagai persoalan yang serius atau yang remeh-temeh sebagai ekspresi kemarahan, kecemasan, kegelisahan, atau apa pun dapat disampaikan dan dibungkus sebagai puisi. Untuk memahaminya, terpaksalah kita masuk ke tubuh puisi, mengidentifikasikan diri di sana, lalu ikut melakukan refleksi, sekalian juga coba menempatkannya sebagai bahan perenungan.

Periksalah, misalnya, puisi berjudul “Ketika Kata-Kata” yang mengisyaratkan kemuakan penyair yang terus-menerus dijejali dan dibombardir berbagai tayangan televisi yang nyaris tidak dapat dihindarkan. Ya, kita juga merasakan bahwa berbagai tayangan televisi itu cenderung menampilkan hiburan murahan, menampilkan selebritas cantik, meski tak cerdas, atau menayangkan sinetron klise, stereotipe dan semacamnya. Belum lagi berita-berita kriminal, tawuran anak-anak remaja yang makin brutal, dan seterusnya. Semua seperti teror, lalu wacana seni murahan itu meluas tidak cuma dalam tayangan televisi, melainkan sudah menjadi bagian dari kehidupan sosial. Cermati saja, misalnya, larik pertama pada bait pertama dan kedua (Ketika kata-kata berhamburan dari layar kaca) dan larik pertama bait ketiga dan keempat (Ketika kata-kata berhamburan). Repetisi itu, selain menegaskan pesannya, juga mengisyaratkan, bahwa problem itu makin meluas memasuki berbagai sendi kehidupan. Oleh karena itu, dapat dipahami, jika pada dua bait berikutnya ada penghilangan frasa dari layar kaca, sehingga larik itu berbunyi: Ketika kata-kata berhamburan, sebab kata kuncinya memang berada pada frasa itu.

Meskipun begitu, penyair rupanya masih optimistik dan cukup punya kesabaran untuk mengubah kemuakan itu menjadi sesuatu yang lebih mustahak. Oleh karena itu, meskipun pada bait pertama dan kedua, aku lirik tidak dapat melindungi dari kekacauan, pada bait-bait berikutnya ada kesadaran untuk melakukan sesuatu: Aku harus … artinya, mengubah kemuakan dan kemarahan itu menjadi sesuatu yang positif. Dalam hal ini, kita merasakan adanya pesan, bahwa sesuatu yang buruk itu tidak seharusnya selalu disikapi dengan tindakan-tindakan yang juga buruk, tetapi justru mesti diolah kembali secara kreatif menjadi sesuatu yang positif. Bagi aku lirik (: penyair) puisi laksana pintu keluar untuk menyalurkan segala beban itu … agar tidak kehilangan harapan; agar Cinta dapat dimaknai lebih beragam.

KETIKA KATA-KATA

Ketika kata-kata berhamburan dari layar kaca
Aku tak bisa melindunginya dari sepi, yang bisa membuatnya berduka

Ketika kata-kata berhamburan dari layar kaca
Aku tak bisa melindunginya dari dengki, yang bisa menjadikannya belati dan melukai

Ketika kata-kata berhamburan
Aku harus menampungnya dalam keranjang kasih sayang
Meletakkannya dalam baris-baris yang terang
Menjauhkannya dari bayang-bayang
Agar kegelapan tidak membuatnya kehilangan harapan

Ketika kata-kata berhamburan
Aku harus memberinya tinta berbeda
Sebab hitam-putih berakhir pedih
Sedang Cinta harus diselamatkan
dengan huruf-huruf aneka warna.

Bekasi, April 2022
Yudhistira ANM Massardi

Jika mencermati keseluruhan puisi yang terhimpun dalam buku ini, Yudhistira tampaknya tidak termasuk golongan—meminjam istilah Rendra— penyair salon. Ia tidak teralienasi dari problem yang muncul di lingkungan masyarakatnya. Yudhistira juga tidak asyik-masyuk tenggelam dalam perburuan model estetik untuk kepentingan puisi itu sendiri atau bahkan menawarkan metafora yang maknanya terkunci di lemari besi! Meskipun puisi-puisinya tidak lantang menyuarakan kemarahannya atau setidak-tidaknya, kenceng menyampaikan kritik sosial, ia merasa terpanggil untuk menyuarakan pesan-kemanusiaannya. Sebut misalnya, puisi “Banjir” yang mengecam kebiasaan jorok penduduk memperlakukan lingkungan; puisi “Seribu Hujan” yang mengecam kemalasan, dan seterusnya. Dalam konteks ini, peristiwa besar atau perkara remeh-temeh, tidaklah penting. Sebab, yang dilakukannya adalah mencatat dan menyampaikannya dalam bentuk puisi.

Periksa, misalnya, puisi yang berjudul “Di Kanjuruhan: Maut” berikut ini.

DI KANJURUHAN: MAUT

Di Kanjuruhan
Maut putih pekat
Pedih, berkaki seribu…
80,127,170…
Tak mau kalah
Pada jumlah…

Di Kanjuruhan, kematian berjatuhan, terlempar, tersungkur
Keos
Bola hitam
Kambing hitam
Air mata hitam, lalu putih, lalu kelam

Di Kanjuruhan
Duka jadi sesal yang perih
Lapangan hijau akan dikenang
Sebagai padang kematian
Amarah yang tumpah: menang, kalah
Malang
Sia-sia.

Bekasi, 2 Oktober 2022
Yudhistira ANM Massardi

Mencermati puisi ini, kita seketika seperti dihadapkan pada fakta yang disajikan dalam bentuk puisi. Maka tiga larik awal di bait pertama: Di Kanjuruhan/Maut putih pekat/ Pedih, berkaki seribu … mengajak asosiasi kita melayang ke peristiwa tragis tentang kematian ratusan penonton sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Malang. Akibat gas air mata yang disemprotkan aparat keamanan, kepanikan terjadi. Penyair menegaskannya dalam bait berikutnya: Di Kanjuruhan, kematian berjatuhan, terlempar, tersungkur/Keos/Bola hitam/Kambing hitam/Air mata hitam, lalu putih, lalu kelam//. Setelah itu, catatan tentang jumlah korban, petugas dan aparat keamanan yang lepas tanggung jawab, kemarahan dan dendam yang terpendam, dan semuanya … selesai sia-sia!

Puisi ini boleh jadi dipandang sekadar catatan sebuah peristiwa belaka. Lalu, seiring dengan perjalanan waktu, ia akan segera dilupakan. Dan catatan itu pun tenggelam begitu saja. Tetapi, ia tetap penting, karena peristiwa itu bagian dari sejarah kelam persepakbolaan Tanah Air. Juga bagian dari sejarah hitam penegakan hukum di Indonesia. Bagaimanapun, ia satu bagian dari mozaik perjalanan bangsa ini. Pada suatu saat nanti, ia akan melengkapi serpihan lain. Sekadar contoh, saya kutip masing-masing dua bait dari dua puisi yang pernah dimuat surat kabar Tjahaja Hindia, 9 September 1886 dan Pembrita Betawi, 5 November 1895 (dikutip sesuai teks aslinya).

PANTOEN PEMBOENOEHAN

Pantoen pemboenoehan saja karangken
18 Augustus itoen boelannja
Sa boleh saja trangken
Hal pemboenoeh kadjadiannja

Jang boenoeh nama Pa Boengah
Tinggal dessa nama Tangoenggan
Hari sakit kaja api mengangah
Dia memboenoeh tiada ketanggoengan*

TJERITA KROE

20 Ocotober ketika itoe
Di passar Kroe tempat jang tentoe
Di koentjang Gempa njatalah tentoe
Banjaq binasa roemah-roemah batoe

Orang berlari bertaboer-taboer
Tanah di iedjak baq rasa boeboer
Tiadalah orang berkata taqboer
Ngeri terkenang kapintoe koeboer**

Dua contoh syair di atas sekadar menegaskan, bahwa puisi—sastra, bukanlah cuma berisi perasaan klangenan tentang curahan hati atau kisah percintaan, melainkan sebagai catatan peristiwa, bahkan juga catatan sejarah. Puisi Yudhistira, “Di Kanjuruhan: Maut” dan beberapa puisi lainnya dalam buku ini, juga hakikatnya catatan, tanggapan, bahkan juga kritik atas berbagai peristiwa yang terjadi di negeri ini. Jadi, kita dapat menikmatinya, bagaimana penyair menunjukkan kepedulian sosialnya.

Di luar tema-tema sosial itu, tentu saja tidak sedikit puisi Yudhistira lainnya sebagai hasil perenungan—seperti puisi “Akhirnya Kita”, hasil refleksi yang intens, bahkan juga sublimasi menembus ruang dan waktu dalam dimensi Tuhan. Beberapa puisi yang terasa sebagai hasil perenungan dan sublimasi itu, bagi saya, rasanya seperti isyarat Tuhan—yang diyakini oleh para penyair romantik sebagai “Tuhan bertahta dalam sanubariku yang terdalam”. Jika puisi-puisi dengan nafas sufistik ini dihimpun tersendiri, bukan mustahil, kita (: pembaca) seperti diceburkan pada suasana religiusitas, lebur di kedalamannya, meskipun tak sampai memasuki wilayah manunggal ing kawula gusti! Puisi-puisi seperti ini, rasanya tidak berlebihan jika disebut puisi-puisi “langit”. Sekadar contoh, mari kita berselancar di kedalaman puisi berikut ini:

PUISI MEMPERSIAPKAN DIRI BAGI KEMATIANKU

Entah di mana kuburku nanti
Kata-kata tidak akan mencariku lagi
Mereka meninggalkan hati
Menutupkan lisan
Merapatkan jemari
Di pintu sunyi

Pintu di alam nanti
Di ruang-ruang rahasia
Yang disembunyikan kehidupan
Agar kematian menemukan jalan sendiri
Yang dirindukan semua puisi

Yang dirindukan para penyair
Di tanah merah bertabur bunga
Selain adzan, solat dan solawat
: Hening bunyi “ning”
(Entah dawai mana yang memetik string)
Bunyi ruh megatruh
Gamelan pelan
Rebab yang sembab

Puisiku menuangkan isinya
Ke lahat rehatnya
: Pusara aksara
+
Pias riasnya
Pasi spasinya

Bekasi, November 2022
Yudhistira ANM Massardi

***
Catatan atas puisi-puisi Yudhistira ANM Massardi ini, tentu saja masih terlalu ringkas, belum mengungkapkan kekuatan lain dan kekayaan yang tersembunyi dalam teks. Oleh karena itu, masih tersedia puisi lain yang menantang dan menggelisahkan. Terhampar luas peluang kita memasukinya melalui berbagai perspektif. Permainan repetisi, simbolisme, paradoks, dan seterusnya, tampak menjadi bagian dari upaya penyair memanfaatkannya sebagai metafora. Jadi, seperti dikatakan Chairil Anwar, “mencari makna sampai ke putih tulang” bagi Yudhistira, boleh dikatakan—seperti di awal disebutkan—sudah khatam! Maka, bagi penyair yang “tak sekadar” ini, peristiwa apa pun, dapat menjelma puisi. Dalam hal ini, dapat dipahami pula, jika puisi di atas, seperti merepresentasikan alam ketidaksadarannya, bahwa di sana ada suara Tuhan—yang bertahta dalam sanubari yang terdalam.
Percayalah …

Bojonggede, 11-1-2024

CATATAN KAKI:

* Syair yang disusun dengan pola persajakan pantun ini, seluruhnya terdiri dari 29 bait. Dimuat secara bersambung dalam surat kabar Tjahaja Hindia, 9 September 1886 dan 14 September 1886. Isinya mewartakan pembunuhan seorang mandor, akibat melakukan perselingkuhan dengan istri pelaku (Pak Bungah). Jadi, “Pantun Pembunuhan” ini, selain berfungsi sebagai hiburan, juga sebagai berita tentang pelaku pembunuhan yang kemudian dijatuhi hukuman oleh pengadilan Jombang, Jawa Timur.

 

** Syair ini seluruhnya terdiri dari 22 bait dikirim oleh seseorang yang menggunakan nama pena Awoer Litjin kemudian dimuat di halaman 1 surat kabar Pembrita Betawi, 5 November 1895. Isinya tentang kepanikan masyarakat di Pasar Kroe, Residensi Bencoelen akibat terjadi gempa bumi (lindu), 20 Oktober 1895. Diceritakan juga dalam syair itu, bagaimana orang-orang berteriak-teriak minta tolong dan menyebut-nyebut nama Tuhan. Seperti juga “Pantun Pembunuhan”, syair “Tjerita Kroe” berfungsi sebagai cerita dan berita.