Puisi Syaifuddin Gani
Wanggudu
Wanggudu, ibu kota kabupaten terlahir dari belalai buldoser
Hutan-bukit terbelah, remuk di julang udara
Menakik nyawa di lembah darah
Tetapi di rahim Asera, ibu dikutuk jadi belatung debu
Di pinggir jalan, ayah disihir jadi patung tanah
Dan kota belia ini, dikafani abu, didatangi penyamun batu
Buldoser mengeja nama-nama raja, tuan tanah, tuan gubenur
Dalam rakaat penambangan
Fuso mengantar mayat Bumi Kalosara
Ke ritual pembakaran tanah jadi emas
Gunung jadi cadangan kas
Pohon-pohon terbelalak di utara
Bukit-bukit merapal tasbih batu-batu
Ditakik bara baja kiriman dari Hawiyah
Seonggok buldoser menjasad di benam hutan
Belalainya menjadi salib ribuan nasib
Berkarat di tengkuk bukit menjadi monumen aib
Tanah jadi buih, timah memuai, janji jadi puih
Meleleh untuk yang terhormat: pembangunan
Bertahun-tahun setelah kota ini siuman
Jauh di sana dari para pemberi safaat dan berkat
Emas tersipu malu dalam perayaan unboxing
Yang meniup terompet bagi paras muka laut
Untuk kami menjelma paras muka maut
Di sini, di Wanggugu, di Asera, di Tenggara
Dengan wajah berdandan lumpur
Rakyat memberi penghormatan
Bagi sedu sedan banjir, yang tanpa salam
Memasuki kesentausaan kampung halaman
Kami
Wanggudu, Konawe Utara, November 2013—2017
Sebuah Janji di Teluk Kendari
Doa teluk getarkan pintu Langit
Tangannya menggenggam tangisan lumpur
Ke dada ia dekap, dalam rengkuhan peluk
Di kota, suara tanah, aroma ombak
Hidupkan huru-hara kata yang hampir mati
Siapakah yang berjanji mengeruk teluk ini
Untuk mendulang suara pada pemilu lalu
Katanya, Teluk Kendari harus disedot dari lumpur
Agar warga punya rasa bangga
Sesekali bahagia di tengah deraan rencana
Tetapi, kata-kata yang seenaknya terlontar
Mengutuknya jadi bongkahan batu
Teluk bertekuk lutut jadi daratan
Betapa ajaib
Huruf-huruf deklarasi
Meleleh dan menyaru
Menjadi reklamasi
Sebuah perahu berlayar di lumpur yang tenang
Tangan matahari menariknya
Ke laut yang jauh
Lemparlah sauh, jauh dari kutukan pulau
Sebab teluk akan pesta kemenangan
Sepasang wajah di baliho
Rayakan kota baru dalam babad pegadaian
Di atasnya, jembatan telah dibangun
Masjid yang lahir dari timbun batu tersusun
Teluk dirias dengan tubuh makin ramping
Tetapi kata-kata itu tiada kunjung rampung
Mengantar kita ke laut bahagia
Kini kita terkenang lagi pesta ayat-ayat deklarasi
Lalu kini tergenang dalam peluk cium reklamasi
Teluk Kendari, 5 Oktober 2017
Catatan:
1. Dibacakan saat Webinar Peran Bahasa dan Sastra dalam Kampanye Perubahan Iklim” pada Selasa, 22 November 2022 yang dilaksanakan oleh Pusat Riset Bahasa, Sastra, dan Komuitas, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN).
2. Kedua puisi ini dimuat di dalam antologi puisi Jelajah Kata Jelajah Kota karya anggota Pustaka Kabanti yang diterbitkan Pustaka Kabanti, Agustus 2022. Kedua puisi ini, mengalami lagi perubahan dan dengan demikian, berbeda dengan puisi yang dimuat di dalam buku tersebut.
SYAIFUDDIN GANI lahir di Salubulung, Kabupaten Mamasa, Prov. Sulbar, 13 September 1978. Tamat di SDN Inpres Salubulung, SMPN 1 Mambi, dan SMAN 1 Polewali. Tahun 1997, ia masuk di Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia, FKIP, Universitas Haluoleo. Tahun 1998, ia bergabung dengan Teater Sendiri Kendari. Puisinya diantologikan di berbagai buku dan dimuat di berbagai media. Buku kumpulan sajaknya Surat dari Matahari masuk dalam 5 besar Anugerah Puisi Cecep Syamsul Hari 2010—2011. Sejak 2006 bekerja di Kantor Bahasa Sultra dan Januari 2022 pindah ke Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN). Mendirikan dan mengelola Pustaka Kabanti sejak 2016. Tahun 2018, mendapat Penghargaan Nugra Jasadarma Pustaloka dari Perpustakaan Nasional dan menjadi Duta Baca Sulawesi Tenggara 2018—2020. Tahun 2021, Pustaka Kabanti yang dikelola bersama pendiri lainnya dan para relawan, mendapat Penghargaan Komunitas Penyelenggara Hari Puisi Indonesia Terbaik dari Yayasan Hari Puisi. Saat ini aktif mengelola Blog dan Penerbit Pustaka Kabanti.