Oleh: Syaifuddin Gani

Yah, membangun desa dari perpustakaan.

Demikianlah pernyataan Muh. Akbar, Kepala Desa Woitombo, Kabupaten Kolaka Utara. Baginya, perpustakaan adalah sentra bagi peri kehidupan warganya.

Warga dapat mendatangi perpustakaan untuk menghikmati pustaka yang tersaji di rak-rak buku.
Jika ingin merambah ke semesta maya, mereka dapat berselancar melalui Pojok Baca Digital, sumbangan Perpusnas, yang berada di lantai dua Woipedia.

Woipedia? Ya, Woipedia. Nama yang indah, bukan?

Ini adalah nama Perpustakaan Desa Woitombo. Sebuah perpaduan indah dari Woitombo dan Ensiklopedia yang menyiratkan adanya gerak, sajian, dan gairah pengetahuan di desa yang dikelilingi bukit cengkih, nyiur melambai, bunyi gesekan pohon bambu, desir sungai, sekaligus gemeretak gigi buldoser yang merogoh kedalam tanah untuk memanggil bijih nikel itu.

Pada perspektif lain, Woipedia dapat dikatakan dibuhul dari kata seruan, yakni wooooooi! Woi di sini dalam tutur pergaulan warga adalah panggilan atau ajakan. Jadi Woipedia adalah ajakan untuk menghikmati ensiklopedia yang tergolek di pangkuan lemari buku.

Woooooi, mari memasuki semesta ensiklopedia…

Pada Sabtu, 13 Januari 2024 lalu, saya diundang ke Desa Woitombo untuk tiga agenda. Pertama, pengukuhan pengurus Gerakan Pembudayaan Minat Baca (GPMB) Kolaka Utara. Posisi saya sebagai Ketua GPMB Sultra. Kedua, mengikuti pada peresmian Woipedia: Perpustakaan Desa Woitombo. Ketiga, menjadi bagian kemah dan panggung seni.

Pada sambutannya, Pj. Bupati Kolaka Utara mendukung pengurus GPMB Kolaka Utara sebagai gerakan untuk menguatkan dan menyiarkan derap literasi di kabupaten perbatasan Sulawesi Selatan itu.
Saya membacakan janji yang diikuti pengurus GPMB Kolaka Utara, disaksikan ratusan warga Desa Woitombo dan sekitarnya di dalam balai desa.

Usai dikukuhkan, Muh. Akbar menyampaikan pidato, menerangkan visi-misinya. Bapak dua anak ini mengatakan bahwa GPMB dan Woipedia adalah dua elemen organik yang nanti akan bersinergi dalam mendorong budaya minat baca-tulis di desanya.

Sosok yang juga dikenal sebagai salah satu penggerak JariKU (Jaringan Relawan Indonesia Kolaka Utara) itu, mengatakan bahwa bersama pengurus ia akan menjadikan perpustakaan sebagai pusat ilmu dan peradaban. Tidak hanya itu, ia akan melibatkan masyarakat dalam program literasi.
Hal yang menarik dari tuturan Akbar sebagai visi yang ia terapkan di desanya, yakni membangun desa dari perpustakaan.

Paradigma membangun perpustakaan di desa, telah berlalu. Desa tidak sekadar tempat berdirinya sebuah bangunan sepi yang diberi papan nama perpustakaan di depannya. Perpustakaan tidak juga cuma ditancapkan pada sebuah lahan, demi sebuah laku formalitas bahwa jendela dunia itu memasuki desa.
Tidak. Bagi Akbar, perpustakaan menjadi sentra bagi aktivitas warganya, sebagaimana yang ia amalkan bersama JariKU, jauh sebelum Woipedia kini berdiri di kaki bukit hijau.

Beberapa momen ia ciptakan sebagai arena perjumpaan warga Kolaka Utara. Terakhir, pada 18-20 Agustus 2023 lalu, ia selengarakan kemah rakyat yang dihadiri berbagai komunitas, lembaga bantuan hukum, pemuda, jurnalis, mahasiswa, pelajar, warga, komunitas, dan pemerintah desa.

Lokasi kemah rakyat itu juga yang digunakan pada kemah seni sebagai bagian tidak terpisahkan pada peresmian Woipedia dan pengukuhan pengurus GPMB Kolaka Utara.

Dengan demikian, gerakan warga di Woitombo dan sekitarnya sudah lama berdenyut, buah dari kerja kreatif, partisipatif, dan kolaboratif berbagai elemen.

Begitu juga dengan kegiatan 13-14 Januari 2024, tempo hari. Kemah seni di halaman balai desa yang berada di samping Woipedia menandai gairah warga yang dibuhul semangat perjumpaan dan dikuatkan oleh pentas seni malam harinya.

Para penulis muda Kolaka Utara, seniman musik, penari, pelajar, dan penyanyi memeriahkan panggung senin yang diberi nama Romantisme Literasi. Saya juga ikut membaca dua puisi di sini.

Woipedia sebagai perpustakaan desa tidak hanya dimaknai sebagai bangunan fisik yang berisi buku semata. Tetapi ia mendorong budaya literasi untuk tumbuh dalam gairah penciptaan dan perjumpaan warganya.

Seniman Kolaka Utara yang rata-rata berusia muda yang hadir pada malam seni adalah bagian dari manipestasi “desa dibangun dari perpustakaan.” Tentu saja para seniman itu memiliki budaya baca tersendiri, katakanlah yang dilakukan di komunitas dan di sekolahnya masing-masing. Di sini, Woipedia menyediakan dirinya sebagai ruang baca baru bagi masyarakat Kolaka Utara.

Woipedia, terdiri atas dua lantai. Lantai pertama berisi buku dan lantai kedua direncanakan sebaga ruang diskusi. Di bagian depan, terdapat Pojok Baca Digital (pocadi). Di samping pocadi terdapat ruang kosong yang akan dijadikan ruang sang kepa desa!

Pada lantai satu dan dua, masing-masing memiliki teras di sebelah kiri yang diniatkan sebagai ruang kongko-kongko sambil ngopi.

Bunyi gesekan daun dan batang bambu di samping perpustakaan, bukit hijau nun jauh di sana, langit jauh yang biru semata, dan kepak burung menjadi kenikmatan tersendiri di Woipedia dan sekitarnya.
Peresmian Woipedia ditandai dengan pengguntingan pita pintu oleh Bunda Literasi Kolaka Utara, Nina Harini Yuniarti Toding, disaksikan ratusan warga Wotoimbo.

Siang sampai sore hari, agenda pelatihan menulis dibimbing oleh penulis muda Kolaka Utara, Agustiana Amanda Putri. Setelah itu, giliran saya dan Andi Idha berbagi pengetahuan tentang bagaimana menggagas gerakan literasi sekolah. Pesertanya, pelajar SMP dan SMA Kolaka Utara.
Dua agenda tersebut dilaksanakan di lantai dua Woipedia.

Pelajar yang hadir didampingi gurunya. Selain bentuk tanggung jawab, juga mendorong siswa masuk ke dunia ekstrakurikuler.

Momen inilah, saya bertemu sahabat lama, seorang guru, Suherman namanya. Dulu–awal tahun 2000-an, kami sama-sama bergiat di Sanggar Irmanda (Ikatan Remaja Masjid Nurul Hidayah), Kendari, melakukan latihan dan pentas teater, di masjid dan di Proselamat Teater Sendiri. Kami dipertemukan lagi dua puluh tahun lebih kemudia, dalam kemah seni dan pelatihan menulis siswanya.

Pelatihan menulis dan diskusi mengenai giat literasi di sekolah yang melibatkan siswa, menjadi agenda penting di Woitombo. Literasi dalam salah satu defenisinya yakni kemampuan membaca dan menulis harus menjadi amal nyata para pegiatnya.

Di sela kegiatan itu, kami sepakat dengan sang kepala desa, bahwa ke depan penerbitan buku yang berisi tulisan pegiat dari Kolaka Utara menjadi prioritas. Dengan demikian, antara gerak dan geliat kegiatan yang selama ini dihelat di Kolaka Utara dapat terbuhul dalam satu jendela yang disebut buku sebagai “puncak” dari amal literasi.

Woipedia telah berdiri. Lalu, apa?

Tentunya, perlu pasokan literatur untuk mengisi rak-raknya. Butuh puspawarna agenda yang melibatkan setiap elemen warga, khususnya kaum muda untuk menerjemahkan filosofi “membangun desa dari perpustakaan.”

 

Woipedia dapat menjadi lokus yang membangkitkan soliditas dan sikap kritis warganya.
Terkhusus Kolaka Utara, terlebih lagi Woitombo, kesadaran dan rasa awas ekologis tetap dibutuhkan. Mengapa? Di balik bukit yang tampak asri nan hijau itu, persis di belakang kantor dan perpustakaan desa, ada benda pendorong industri bernama buldoser tengah menderu, menggapai-gapai ke kedalaman bumi, ke tubuh bukit untuk mencari sebongkah tanah berharga yang dapat diubah menjadi rupiah.

Negosiasi warga menjadi penting untuk tetap menjaga wilayah terdekatnya, terjaga dari garuk tambang.

Momen penting lain dari kegiatan di Woitombo adalah malam seni bernama Romantisme Literasi di balai desa.

Pelajar Lalusua ikut mewarnai panggung ini. Mulai dari tari sampai lagu.
Hal berkesan adalah hadirnya lagu dan tarian Bugis di panggung.
Hal ini dapat dipahami karena masyarakat Bugis banyak mendiami Kolaka Utara yang berbatasan langsung dengan Kab. Luwu Timur, di Sulawesi Selatan.

Seorang pelajar bernama Rafli menyenandungkan lagu “Na Atie Mappoji” yang artinya “Karena Hati Terlanjur Cinta”ciptaan dan dipopulerkan Abi Rafdi di YouTube. Sejak rilis pada 21 Maret 2023 di YouTube, ia sudah 4.325.530 kali ditonton.

Ternyata lagu ini juga populer di kalangan pelajar Kolaka Utara. Saat tiba di reff, gemuruh suara menggema di aula desa. Para pelajar ikut menyanyikan bagian ini.

Narekko baja sangadie
Uruntu i atassalammu
Tekku wassesse kale tekku nawa nawaiwi
Na atie mappoji

Persoalan cinta anak manusia, memang universal. Diucapkan dalam bahasa Bugis, mendapat sambutan dari generasi pelajar Bugis.

Dari fakta ini dapatlah dikatakan bahwa lagu menjadi medium penting dalam mengucapkan bahasa Bugis yang dapat memperkokoh daya tahannya. Tema cinta yang diusungnya dapat diterima generasi muda Bugis yang kesehariannya menggunakan bahasa itu sebagai alat komunikasi.

Pengalaman berkesan lainnya adalah dipentaskannya tari Mappadendang di atas panggung yang dibawakan oleh gadis-gadis Bugis. Para penari mengenakan kostum khas Bugis. Lagu Bugis yang mengiringinya semakin menguatkan pesan budaya kepada penonton.

Para penari ini adalah warga Desa Woitombo.

Pesan heterogenitas panggung seni malam itu menjadi kekuatan tersendiri. Tari Lulo dari etnik Tolaki ikut mewarnai Romantisme Literasi. Lagi-lagi, pelajar Kolaka Utara menjadi penarinya. Tolaki dan Bugis hadir bersama menghidupkan panggung seni. Sebuah perjumpaan yang menguatkan dan mempersatukan yang dikerjakan melalui bahasa kesenian.

Dua pelajar lainnya ikut menggoyang panggung, yakni Tiara dan Rini. Keduanya menyenandungkan lagu pop kekinian yang diiikuti penonton yang memadati aula desa.

Komunitas Seni Budaya (KSB) Artala, Lasusua, tampil dalam beberapa nomor lagu yang dibawakan oleh Lukman, lalu ditutup dengan pembacaan puisi.

Puisi, lagu, tari, dan musik menjadi kekuatan panggung seni yang ikut dihadiri warga Desa Wotoimbo dan sekitarnya. Tentunya, momen penting ini dihadiri kepala desa, sekretaris desa, bendahara desa, dan Ketua Badan Permusyawaratan Desa (BPD) Woitombo.

Saya jadi ingat Pertemuan Penyair Nusantara (PPN) XII di Kuala Lumpur. Puisi dan lagu menjadi kekuatan panggung penyair. Puisi dan lagu masing-masing memiliki daya pukau bagi penontonnya.
Kehadiran penonton dari kalangan pelajar terasa besar artinya. Meraka memperlihatkan antusiasme tinggi. Pelajar menjadi kaum yang menentukan dalam upaya apresiasi dan pemasyarakatan seni-sastra.
Menggarap segmen pelajar dalam sebuah peristiwa seni adalah keniscayaan dalam kerangka mempersiapkan generasi pelapis, generasi literat.

Usai panggung seni berlalu, para peserta ada yang menginap di kemah masing-masing, ada pula memilih di perpustakaan desa. Saya, kepala desa, dan Alfian seorang relawan juga nginap di lantai dua Woipedia.

Sebelum tidur, terdengar diskusi masih mengalir. Beberapa di antaranya asyik membaca buku di rak Woipedia, mengantar ke dunia mimpi.

Dua hari di Woitombo, saya banyak ditemani sahabat saya, Alfian Al-Ahsan, mendiskusikan banyak hal, menemani dalam berbagi momen, dalam suasana akrab. Dia adalah relawan JariKU yang kemudian juga menjadi pengurus GPMB Kolaka Utara.

Begitu juga perbincangan mendalam terjadi dengan Muh. Akbar, sang pemuda idaman (demikian pernyataan Pj. Bupati Kolaka Utara), untuk kegiatan literasinya. Diskusi itu menyasar banyak hal. Mulai dari gerakan literasi, perjumpaan aneka komunitas Kolaka Utara, pendirian Woipedia, ide menerbitkan buku, sampai bunyi raung mesin buldoser yang menggetarkan tanah-tanah desa yang permai itu.

Jika ikhtiar itu berlaku, maka membangun desa dari perpustakaan, akan membawa daerah itu pada semesta pustaka. Sebuah semesta yang hanya dapat diraih jika ada perjumpaan kreatif semesta manusia, meminjam istilah mendiang Nirwan Ahmad Arsuka, pendiri Pustaka Bergerak Indonesia.
Lalu, kami mencoba memasuki semesta yang lain, bagian kecil dari semesta alam, yakni hutan yang di dalamnya terpelihara sebuah air terjun.

Yah, kami menyempatkan diri mengunjungi air terjuan Raoda. Airnya betapa jernih dan dingin, terpancar dari celah baru yang mengalir jauh menjadi sungai. Riaknya berdesir-desir. Di kiri dan kanannya, terdapat pohon menjulang yang memogon doa ke angkasa.

Sungai, sebuah anugerah terbesar dari Sang Maha Pencipta. Jika bukit-bukit itu bergerak oleh kaki mesin dan pohon-pohon ikut raib menjadi sebuah kabar yang tidak baik bagi sungai itu sendiri.
Maka menjaga Woipedia sama pentingnya dengan menjaga sungai dan air terjunnya.

Minggu jelang siang, saya balik ke Kendari.

Dari jauh, Woipedia tampak berdiri anggun. Untuk membuatnya menjadi semarak, maka tangan-tangan kreatif pegiat literasi di Kolaka Utara, menjadi menentukan.

Dari dalam mobil, saya melihat deretan pohon kelapa, menghirup aroma cengkih, menghikmati kejernihan sungai, membayangkannya kelak jadi puisi!

Kendari, 19 Januari 2024