Oleh: Ahmad Yulden Erwin

———————————————–
PUSTAKA KABANTI–Sebuah falsifikasi terhadap sepotong argumen dari para anggota Akademi Swedia, yang menjadi juri Nobel Sastra 2016, tentang “kebaruan ekspresi puitik” dari lirik-lirik lagu pop karya Bob Dylan.
———————————————–

Mari kita pahami makna “avant garde” di dalam seni. Untuk itu saya akan mengutip sebuah proposisi 3.323 di dalam buku “Tractatus Logico-Philosophicus” karya Ludwig Wittgenstein, begini:

Preposition 3.323.

In the language of everyday life it very often happens that the same word signifies in two different ways—and therefore belongs to two different symbols—or that two words, which signify in different ways, are apparently applied in the same way in the proposition.

Thus the word “is” appears as the copula, as the sign of equality, and as the expression of existence; “to exist” as an intransitive verb like “to go”; “identical” as an adjective; we speak of something but also of the fact of something happening.

(In the proposition “Green is green”—where the first word is a proper name and the last an adjective—these words have not merely different meanings but they are different symbols.)

Saya terjemahkan begini:

Proposisi 3,323.

Dalam bahasa sehari-hari sangat sering terjadi bahwa kata yang sama menjadi tanda dengan dua cara yang berbeda—dan karenanya menjadi dua simbol yang berbeda—atau dua kata, yang menandakan cara yang berbeda, yang tampaknya diterapkan dengan cara yang sama di dalam proposisi.

Dengan demikian kata “adalah” muncul sebagai kata kerja penghubung, sebagai tanda kesetaraan, dan sebagai ekspresi eksistensi; “mengada” sebagai sebuah kata kerja intransitif seperti “pergi”; “identik” sebagai sebuah kata sifat; dengan begitu kita tidak hanya berbicara tentang sesuatu tetapi juga fakta tentang terjadinya sesuatu.

(Dalam proposisi: “Hijau adalah hijau”—di mana kata pertama adalah nama dari kata ganti diri dan yang terakhir adalah kata sifat—kedua kata ini memiliki makna yang tidak hanya berbeda tetapi mereka juga merupakan simbol yang berbeda.)

Penjelasan saya atas proposisi 3,323 di atas adalah begini:

Dua buah kata di dalam sintkasis bahasa sehari-hari tidak selalu berhubungan dengan makna yang sama, fungsi yang sama, bahkan tidak merupakan simbol yang sama di dalam sebuah proposisi logika.

Contoh proposisi: “Hijau adalah hijau” (bila dirumuskan dalam logika proposisional menjadi p = p). Kedua kata hijau itu memiliki makna dan fungsi yang tidak sama di dalam proposisi yang sama. Kata “hijau” yang pertama berfungsi sebagai subjek (kata ganti diri) yang merupakan penanda dari “sesuatu yang hijau”, sedangkan kata “hijau” yang kedua adalah predikat yang berfungsi menjelaskan subjek. Makna subjek pada kata hijau yang pertama merujuk pada benda tertentu yang berwarna hijau, sedangkan predikat berfungsi menjadi hal yang menjelaskan sifat hijau dari benda tertentu di dalam subjek sebagai sebuah gagasan atau ide di dalam pikiran. Dengan demikian ketidakjelasan dari perbedaan makna, fungsi, dan simbol di dalam bahasa sehari-hari diklarifikasi oleh logika.

Dalam konteks semiotika, proposisi “p = p” tersebut bisa juga dijelaskan begini: “p” yang pertama (subjek) adalah penanda dari “p” yang kedua (predikat), sebaliknya “p” yang kedua (predikat) adalah petanda dari “p” yang pertama (subjek). Pertama kali konsep semiotika diperkenalkan oleh Ferdinand de Saussure (1857 – 1913), seorang ahli linguistik dari Swiss, melalui dikotomi sistem tanda: signified (petanda) dan signifier (penanda) yang bersifat atomistis—di sini terlihat pemikiran Wittgenstein dalam “proposisi 3,323” dipengaruhi oleh konsep semiotika Ferdinand de Saussure. Konsep semiotika Saussure melihat bahwa makna muncul ketika ada hubungan yang bersifat asosiasi atau “in absentia” antara “yang ditandai” (petanda) dan “yang menandai” (penanda). Tanda adalah kesatuan dari suatu bentuk penanda dengan sebuah ide atau petanda—konsep kesatuan tanda ini sama dengan prinsip identitas dalam logika Aristoteles. Dengan kata lain, tanda adalah “bunyi yang bermakna” (dalam bahasa lisan) atau “grafem yang bermakna” (dalam bahasa tulis). Jadi, penanda adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi, petanda adalah aspek mental dari bahasa.

Berdasarkan analisis logika dan semiotika di atas, maka saya membuat pengembangan lebih jauh, misalnya proposisi berikut in: “S adalah Subjek.” S pada poposisi itu bukan merupakan kata yang bermakna apa pun, tetapi hanya sebuah huruf yang berfungsi sebagai subjek. Sedangkan kata “Subjek” berfungsi sebagai predikat yang menjelaskan huruf “S” sebagai subjek. Subjek menjadi bermakna sebagai sebuah simbol setelah dijelaskan oleh predikat, tetapi tak bermakna apa pun ketika dilepaskan dari predikat di dalam proposisi itu. Ini berarti kita telah keluar dari “teori gambar” dalam logika Wittgenstein dan “konsep penanda” dalam semiotika Saussure. Subjek bukan lagi sebuah fakta yang menggambarkan dunia dalam logika Wittgenstein, juga bukan penanda yang merujuk pada satu hal di luar sistem tanda Saussure, tetapi telah menjadi predikat atau petanda itu sendiri. Subjek tak lain predikat itu sendiri, sebuah proses yang menjelaskan dirinya sendiri, sebuah petanda yang menjelaskan petanda. Subjek menghilang di dalam predikat. Penanda menghilang di dalam petanda. Simbol “S” pada prosisi di atas telah menjadi seperti angka 1—yang tak bisa dijelaskan oleh teori gambar maupun teori semiotika—sebab kedua simbol itu bukan lagi bagian dari sistem tanda atau logika berdasarkan prinsip korespondensi. Di sini simetri menjadi sempurna dan logika berdasarkan prinsip korespondensi mencapai batasnya. Apakah dengan demikian logika berakhir? Tidak. Logika mulai memasuki prinsip koherensi di dalam logika simbolis: sebuah simbol tak berelasi dengan realitas di luar sistem simbol, tetapi berelasi dengan ide-ide yang disepakati dalam semesta pembicaraan tertentu.

Berdasarkan argumen di atas, saya membuat satu puisi avant garde yang berjudul “Dua Puluh Ribu Cawan dalam Bilangan Phi”. Isi puisi itu hanyalah deretan angka acak hasil penghitungan program komputer terhadap “golden ratio” dari bilangan Fibonacci. 20.000 angka acak itu merupakan bilangan irasional yang disebut sebagai bilangan Phi. Yang dimaksud dengan bilangan irasional dalam matematika bukanlah bilangan yang tidak masuk akal, tetapi bilangan yang “tidak bisa habis dibagi”. Begini definisi tepatnya dalam matematika: Bilangan irasional adalah bilangan riil yang tidak bisa dibagi (hasil baginya tidak pernah berhenti). Dalam hal ini, bilangan irasional tidak bisa dinyatakan sebagai “a dibagi b”, dengan “a” dan “b” sebagai bilangan bulat dan “b” tidak sama dengan nol. Karenanya bilangan irasional bukan merupakan bilangan rasional. Contoh yang paling populer dari bilangan irasional—selain bilangan Phi—adalah bilangan π (dibaca Pi), bilangan akar kuadrat dari 2, dan bilangan e.

Di dalam sejarah matematika penemu bilangan irasional adalah Hippasus dari Metapontum (500 SM) karena ia berhasil membuktikan akar kuadrat dari 2 adalah bilangan acak. Namun, penemuannya tersebut justru menyebabkan ia dihukum mati oleh Pythagoras karena dianggap sebagai penganut ajaran sesat (menyanggah sistem matematika mistik dari Phytahoras). Di dalam sejarah Yunani kuno, Pythagoras adalah orang yang menganggap bahwa matematika merupakan wujud dari Logos, dari pikiran Tuhan sendiri. Sementara Hippasus dari Metapontum adalah seorang filsuf penganut aliran Phytagoras, namun ia tidak membuat matematika menjadi semacam mistik seperti yang dilakukan oleh Pythagoras. Hippasus sebenarnya termasuk ke dalam golongan filsuf dari aliran Phytagoras Awal, yakni sebelum sekolah dari aliran Phytagoras di Kroton ditutup pada abad ke-5 SM. Ketika aliran Phytagoras terpecah menjadi dua kelompok, akusmatikoi dan mathematikoi, Hippasus menjadi pemimpin dari kelompok mathematikoi. Kelompok akusmatikoi melihat perlunya menaati semua peraturan aliran Phytagoras dengan ketat, karena aturan itu dianggap merupakan “perintah” dari Tuhan atau Logos. Sedangkan kelompok mathematikoi lebih mengutamakan pengajaran ilmu pengetahuan, khususnya ilmu alam dan matematika.

Ketika melihat dua puluh ribu bilangan Phi itu saya mengalami momen epifani: Saya melihat 20.000 keramik dan lukisan dan patung dan arsitektur Yunani kuno dan bunga matahari dan pola daun-daun seruni dan fraktal brokoli dan sekian pola tenun tradisional dan piramid dan candi dan sekian rumus matematika dan inferensi logis dan proposisi kalkulus predikat dan grafik saham di bursa Wall Street dan peperangan dan pembunuhan para ilmuwan pada masa kegelapan di Eropa dan pembakaran ratusan ribu buku di Perpustakaan Alexandria dan air mata dan senyum Monalisa dan pola spiral galaksi dan teks prosa Organon karya Aristoteles dan satu teks haiku karya Matsuo Basho dan puisi dan puisi dan puisi di dalam deretan 20.000 angka “golden ratio”. 20.000 angka acak dalam momen epifani saya itu adalah metafora dari sejarah kebudayaan manusia dan riwayat alam semesta. Tidakkah angka-angka acak itu begitu “puitis”? Saya “melihatnya”, sungguh-sungguh melihatnya, dan karenanya saya menuliskannya menjadi sebuah puisi sepanjang 11 halaman buku—puisi terpanjang yang pernah saya tulis. Terserah orang mau menganggapnya sebagai puisi atau bukan, tetapi saya telah membuat konsep estetis dan logis dari pengalaman epifani saya itu. Saya menuliskannya sebagai sebuah karya seni avant garde. Kenapa puisi tidak boleh dituliskan dalam “grafem” angka? Jika, dalam contoh proposisi sebelumnya, “S adalah Subjek” terbukti benar dalam kerangka prinsip koherensi, maka saya bisa membuat proposisi berikutnya yang sama benarnya, yaitu: “20.000 bilangan Phi adalah Subjek Epifani”. Jika angka-angka irasional itu membuat saya merasakan pengalaman puitis, pengalaman presensionis, pengalaman keserentakan, maka bagi saya deretan angka acak itu juga sebuah puisi yang dibatasi dalam semesta pembicaraan tertentu.

Kenapa puisi avant garde itu mesti dibatasi dalam semesta pembicaraan tertentu? Alasannya agar puisi itu tidak jadi absurd, tidak terjebak oleh “prinsip ledakan” di dalam logika. Saya memang sengaja membatasi penghitungan bilangan Phi hingga 20.000 angka acak saja, padahal komputer sekarang sudah bisa mencapai perhitungan hingga sejuta angka acak atau lebih terhadap bilangan Phi. Kenapa mesti 20.000 angka acak? Alasannya karena saya ingin meletakkan 20.000 angka acak itu dalam kerangka “semesta pembicaraan”: sebuah hipotesis terkait kemampuan berpikir abstrak manusia yang dimulai sejak 20.000 tahun lalu. 20.000 tahun adalah “usai” pecahan keramik tertua yang ditemukan dalam gua di Xianrendong, provinsi Jiangxi, Cina Selatan. Temuan artefak ini telah menghebohkan dunia arkeologi dan mengubah teori antropologi sebelumnya yang menyatakan bahwa keramik hanya ada pada masa manusia purba mulai menetap, dari kehidupan berburu menjadi agraris, sekitar 10.000 tahun lalu. Temuan ini, berdasarkan hasil uji radiokarbon, menyatakan bahwa keramik (gerabah) sudah ada ketika manusia purba masih dalam periode berburu, sekitar 20.000 tahun lalu. Keramik adalah simbol peradaban awal manusia, juga bukti arkeologis terkait kemampuan berpikir abstrak manusia, oleh sebab manusia-manusia purba itu telah mampu membuat aneka bentuk geometris keramik serta mampu menciptakan teknologi awal pembakaran tungku keramik. Keramik tak akan mampu bertahan sampai ribuan tahun bila tidak dibakar pada tungku bersuhu antara 300 – 1250 derajat celcius. Dengan kata lain, kemampuan berpikir abstrak itulah yang membuat manusia bisa berimajinasi, melahirkan bahasa, mencipta mitos, membuat puisi, dan mampu berpikir logis.

Jadi, apa sebenarnya seni avant garde itu? Bagi saya, sama seperti pandangan estetika dari Thomas Aquinas dan James Joyce, seni avant garde itu adalah “seni-konsep” yang harus dibangun dari pengalaman epifani dan kemudian dijelaskan dengan logika tertentu. Seni avant garde bukanlah seni kebebasan berekspresi sekehendak hati, seni tanpa konsep, sebaliknya justru merupakan seni dengan konsep yang “sangat logis” untuk melawan konvensi estetika tertentu. Perlawanan itu harus mampu menyadarkan apresian seni dan atau seniman tentang adanya “jalan lain” dari estetika, bukan sebaliknya. Artinya, seni avant garde membuat seni menjadi ruang yang terbuka, bukan ruang tertutup, di dalam sejarah estetika. Seni avant garde menjadi cara untuk memfalsifikasi konvensi estetika, dan memungkinkan inovasi atau invensi di dalam seni sebagai bagian dari estetika dinamis—sama seperti konsep epistemologi dinamis dari Karl Raimund Popper—dengan catatan bahwa falsifikasi itu dilakukan melalui argumen atau inferensi logis yang valid, bukan sekadar melakukan inversi atau konversi.

Begini lengkapnya saya tuliskan puisi avant garde itu:

—————————————————————
DUA PULUH RIBU CAWAN DALAM BILANGAN PHI
—————————————————————

1,61803398874989484820458683436563811772
0309179805762862135448622705260462818902
(Selanjutnya, untuk membaca puisi ini secara utuh, silakan baca di Facebook milik Ahmad Yulden Erwin, melalui tautan Facebook ini: Seni Avant Garde: Presensi dari Epifani dan Konsep Logis.

Pertanyaannya: Apakah Bob Dylan mempunyai konsepsi estetika yang jelas (seperti contoh argumen saya di atas) sehingga panitia Nobel Sastra 2016 menyatakan bahwa lirik-lirik lagu pop Bob Dylan merupakan “ekspresi puitik yang baru” di dalam sastra dunia? Mana buktinya secara teoritik dan argumentatif bila Bob Dylan memang benar telah menemukan ekspresi puitik yang baru itu? Yang terjadi malah sebaliknya, ekspresi puitik lagu-lagu pop Bob Dylan cenderung basi dan “cengeng” jika dibandingan dengan ekspresi puitik dari puisi para pemenang Nobel lainnya seperti T. S. Eliot, Pablo Neruda, Octavio Paz, Derek Walcott, atau Tomas Transtromer.

Berikut saya coba terjemahkan satu lirik lagu karya Bob Dylan tentang tema cinta ke dalam bahasa Indonesia. Sebisa-bisa saya mencoba mempertahankan rima akhir kata (yang lazim jadi ciri lirik lagu pop), meski ada beberapa baris yang gagal. Namun, ini setidaknya bisa menggambarkan kualitas “puitik” dari lirik lagu itu—jika Anda masih percaya bahwa lirik lagu karya Bob Dylan, peraih Nobel Sastra 2016, adalah puisi.

Sebagai pembanding, saya cantumkan satu puisi bertema cinta karya penyair Chile, Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra tahun 1971. Silakan bandingkan kedua ekspresi puitik teks di bawah ini:

DEMAM CINTA
Karya Bob Dylan

Aku melangkah melewati jalan-jalan sepi itu
Berjalan, berjalan dengan kau bersarang di kepalaku
Betapa lelah sepasang kakiku
Betapa lontai pikiranku
Dan awan-awan pun terisak.

Apakah aku mendengar seseorang mengatakan kebohongan?
Apakah aku mendengar raung di kejauhan?
Aku mengoceh laiknya bocah kesepian
Kau telah menghancurkan aku dengan senyuman
Saat aku tengah tertidur.

Aku demam oleh cinta yang membuatku terhimpit di dalamnya
Kasih seperti ini, betapa aku demam karenanya.

Aku melihat, di padang rumput, aku melihat para pecinta
Aku melihat, aku melihat siluet di jendela
Aku akan menonton mereka hingga mereka pergi
Dan mereka meninggalkan aku menggantung sendiri
pada sebuah bayangan.

Aku mendengar jam berdetak, aku demam cinta
Kasih begini, ah, aku memang demam oleh cinta.

Terkadang keheningan bisa seperti guntur di angkasa
Terkadang aku ingin berbelok arah dan menjarah sepuasnya
Mungkin kau memang benar
Aku memikirkanmu
Dan aku bertanya-tanya.

Aku demam cinta, aku berharap tak lagi bertemu denganmu
Aku demam cinta, aku mencoba untuk melupakanmu.

Tak tahu lagi apa yang mesti dilakukan
Segalanya akan kuberikan
Agar kembali bersamamu.

1997

———–
Catatan:

*) Love Sick = adalah idiom dalam bahasa Inggris di Amerika Serikat untuk perasaan tertekan karena cinta, kerinduan yang sangat, kesedihan oleh cinta. Saya tak menemukan frasa yang tepat dalam bahasa Indonesia untuk hal ini.
——————————————————

Teks asli lirik lagu pop karya Bob Dylan dalam bahasa Inggris:

LOVE SICK
By Bob Dylan

I’m walkin’ through streets that are dead
Walkin’, walkin’ with you in my head
My feet are so tired
My brain is so wired
And the clouds are weepin’.

Did I hear someone tell a lie?
Did I hear someone’s distant cry?
I spoke like a child
You destroyed me with a smile
While I was sleepin’.

I’m sick of love that I’m in the thick of it
This kind of love, I’m so sick of it.

I see, I see lovers in the meadow
I see, I see silhouettes in the window
I’ll watch them ’til they’re gone
And they leave me hanging’ on
To a shadow.

I’m sick of love, I hear the clock tick
This kind of love, ah, I’m love sick.

Sometimes the silence can be like thunder
Sometimes I wanna take to the road and plunder
Could you ever be true
I think of you
And I wonder.

I’m sick of love, I wish I’d never met you
I’m sick of love, I’m tryin’ to forget you.

Just don’t know what to do
I’d give anything to
Be with you.

1997
————————————————————–
————————————————————–

Satu puisi cinta karya Pablo Neruda, peraih Nobel Sastra 1971:

YANG TAK TERBATAS
Karya Pablo Neruda

Kaulihat sepasang tangan ini?
Sepasang tangan yang telah mengukur
bumi, sepasang tangan yang telah memisahkan
mineral dan biji-bijian,
telah membikin perang dan damai,
telah meleburkan jarak
seluruh lautan dan sungai,
namun,
saat sepasang tangan ini merabamu,
duhai mungilku,
duhai biji gandum, duhai burung camar,
sepasang tangan ini tetap tak mampu melingkupimu,
sepasang tangan ini terlalu letih mengejar
merpati kembar
yang istirah atau terbang dalam payudaramu,
tapi sepasang tangan ini terus menjelajah antara kakimu,
tak henti mencoba melingkari pinggang pualammu.
Bagiku kaulah harta karun yang berlimpah
melebihi seluruh laut dan cabang-cabangnya
dan kau putih dan biru dan luas umpama
bumi saat musim panen.
Di wilayah itu,
dari kaki hingga alismu,
aku berjalan, berjalan, berjalan,
menghabiskan sisa hidupku.
———————————————————-

Teks asli puisi Pablo Neruda dalam bahasa Spanyol:

LA INFINITA
Por Pablo Neruda

Ves estas manos? Han medido
la tierra, han separado
los minerales y los cereales,
han hecho la paz y la guerra,
han derribado las distancias
de todos los mares y ríos,
y sin embargo
cuando te recorren
a ti, pequeña,
grano de trigo, alondra,
no alcanzan a abarcarte,
se cansan alcanzando
las palomas gemelas
que reposan o vuelan en tu pecho,
recorren las distancias de tus piernas,
se enrollan en la luz de tu cintura.
Para mí eres tesoro más cargado
de inmensidad que el mar y sus racimos
y eres blanca y azul y extensa como
la tierra en la vendimia.
En ese territorio,
de tus pies a tu frente,
andando, andando, andando,
me pasaré la vida.
——————————————————Ahmad Yulden Erwin_Pustaka Kabanti Kendari

Menurut pendapat saya, bila tanpa aransemen musik, maka lirik lagu pop “Love Sick” karya Bob Dylan di atas hanya akan jadi “puisi” yang buruk. Cobalah tanya kepada para penyair peraih Nobel Sastra yang masih hidup apakah mereka mau menulis puisi dengan gaya lirik lagu pop ala Bob Dylan di atas? Saya yakin, mereka akan menjawab tidak. Kenapa? Karena lirik-lirik lagu pop karya Bob Dylan menjadi punya nilai estetika oleh sebab adanya faktor aransemen musik, bukan karena kekuatan medium bahasanya—seperti konvensi puisi sejak 4000 tahun lalu, sejak Epik Gilgamesh dituliskan pada tabula di Babilonia, hingga kini.

Banyak orang—terutama para fans Bob Dylan—yang mencoba membela bahwa lirik-lirik lagu pop karya Bob Dylan adalah puisi. Mereka mencari-cari alasan yang tak relevan, misalnya soal definisi lirik yang berasal dari kata Yunani kuno tentang alat musik lyra, hanya untuk menunjukkan bahwa pada masa Yunani kuno puisi lirik itu dinyanyikan. Padahal pada masa itu, masa pra-Sokrates (700 SM), pengertian lagu sebagai puisi itu belum ada, bahkan istilah lirik juga belum ada, apa lagi puisi lirik. Sehingga mencoba memaksakan puisi sebagai derivasi lirik lagu yang merupakan bagian dari musik menjadi tidak relevan dan mengada-ada. Pada abad pertengahan di Eropa, puisi (jika Anda percaya bahwa lirik lagu merupakan induk dari puisi) tak lagi dinyanyikan atau diiringi alat musik seperti pada masa Yunani kuno pra-Sokrates. Dan lagi, lirik lagu jelas bukanlah puisi lirik. Itu dua kategori pengertian yang berbeda dalam terminologi sastra klasik, romantik, dan modern.

Lalu, ada pula yang menyatakan bahwa lirik-lirik lagu pop karya Bob Dylan sangat ketat menggunakan metrum seperti puisi-puisi Yunani kuno. Bahkan puisi-puisi Homer disamakan dengan lirik-lirik lagu pop Bob Dylan karena penggunaan metrum yang, menurut mereka, amat ketat. Pertanyaannya: Apakah mereka tahu perbedaan antara metrum dengan rima akhir larik di dalam puisi? Apakah benar Bob Dylan menuliskan lirik lagunya mengikuti aturan metrum dalam puisi Yunani kuno, seperti iambic pentameter misalnya? Jelas tidak. Sebab bila Bob Dylan mengikuti aturan metrum puisi Yunani kuno itu, mana mungkin dia bisa membuat lagu dengan aransemen campuran musik pop, country, rock, atau blues. Pada masa Yunani kuno, menurut Freidrich Nietzsche di dalam buku “The Birth of Tragedy”, muasal puisi lirik Yunani adalah lagu rakyat, jadi merupakan bagian dari musik. Namun, bagi filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles (yang ditolak oleh Nietzsche), lirik lagu rakyat bukan puisi, yang dimaksud puisi oleh mereka adalah epik dan himne (dithyrambic poetry atau puisi pujian kepada dewa Olimpia). Aristoteles bicara soal puisi lirik, di buku “Poetica”, tidak dalam konteks musik atau jenis puisi, tetapi dalam konteks pembagian soal bentuk drama komedi dan tragedi. Menurut Aristoteles, drama tragedi tersusun dari enam unsur komposisi, yaitu: plot, karakter, gaya, pemikiran (tema atau amanat), pertunjukan, serta puisi liris (bentuk dialognya). Dan Aristoteles bicara soal itu dalam konteks menjelaskan teori estetika mimetik. Sementara lirik-lirik lagu pop Bob Dylon, jelas sekali, merupakan bagian dari industri musik pop AS dan bukan bagian dari sejarah ars poetica dunia.

Pertanyaan berikutnya: Apakah musik itu sebenarnya? Apakah bunyi yang dikomposisikan dapat disebut musik? Lalu, apakah bunyi itu sebenarnya? Apakah musik dan bunyi bisa disebut bahasa?

–Ahmad Yulden Erwin

Friedrich Nietzsche mengatakan bahwa musik sebagai ekspresi Dionysian adalah bentuk seni yang melampaui bahasa. Ia berargumen bahwa keindahan musik tak mampu dijelaskan dengan kata-kata, tetapi hanya mampu dirasakan secara ekstatif. Ia juga mengecam keras opera sebagai bentuk kemerosotan dari musik dan lebih menyukai musik-musik instrumental klasik.

Saya sepakat dengan pendapat Nietszche di atas. Sebab, dalam konteks fonologi, bunyi vokal atau konsonan atau jenis bunyi lainnya di dalam linguistik sama sekali tak menyampaikan “makna” emosi apa pun. Jadi, menurut saya, musik yang mengandalkan lirik lagu itu sebenarnya masih belum sejatinya musik. Dan, lirik lagu, jelas bukan puisi lirik. Puisi sebagai karya sastra adalah seni yang menggunakan medium bahasa. Sementara musik adalah seni yang melampaui bahasa.

Bila dalam konteks teori sastra dan musik, lirik-lirik lagu pop Bob Dylan tak bisa dibuktikan telah “menghadirkan ekspresi puitik yang baru” dalam sastra dunia (khususnya puisi), lalu apa alasannya Akademi Swedia memberikan penghargaan Nobel Sastra 2016 kepada Bob Dylan?

Nobel Sastra telah diberikan sejak 1901 oleh Akademi Swedia. Penerima pertama penghargaan Nobel Sastra adalah seorang penyair Perancis, Sully-Prudhomme. Namun, dari sejak itu, Akedemi Swedia kerap memberikan penghargaan secara kontroversial dan nyaris tanpa pertanggungjawaban yang mendalam secara ilmu sastra kecuali satu komentar singkat pada saat pengumuman pemenang Nobel Sastra. Pemberian penghargaan Nobel Sastra cenderung tanpa ukuran yang jelas bagi kemajuan ilmu sastra itu sendiri (misalnya aspek inovasi atau invensi dalam sastra), dan kerap bias politik. Hal ini berbeda dengan pemberian penghargaan Nobel dalam bidang sains, fisika misalnya, di mana ukuran pemberian penghargaan itu berdasarkan inovasi atau invensi dari bidang fisika.

Di bawah ini saya lampirkan nama-nama para sastrawan kelas dunia yang telah memberikan kontribusi besar dalam bidang sastra, baik secara artsitik maupun keilmuan, tetapi telah sengaja diabaikan oleh Akademi Swedia meski karya-karya para sastrawan kelas dunia itu telah terbukti memengaruhi dunia sastra modern hingga saat ini. Mereka adalah para konseptor dan pendiri aliran atau penemu teknik inovatif sastra dunia, seperti James Joyce (penemu teknik arus kesadaran), Ezra Pound (konseptor dan pendiri aliran puisi imajisme), Andre Breton (konseptor dan pendiri aliran sastra surealisme), Jorge Luis Borges (inspirator sastra realisme magis dan sastra fantasi), Virginia Woolf (konseptor sastra feminisme), Vladimir Nabokov (penemu teknik stilistika prosa sastra modern), dll. Bahkan sebagian besar sastrawan yang mendapat Nobel Sastra mengakui bahwa mereka amat dipengaruhi oleh para inovator dalam sastra dunia itu.

Namun, anehnya, hingga kini tak ada alasan terbuka yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan mengapa para inovator sastra dunia itu tidak diberikan penghargaan Nobel Sastra oleh Akademi Swedia. Sama seperti Akademi Swedia juga tak memberikan argumen yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan kenapa mereka memberi penghargaan Nobel Sastra kepada sastrawan tertentu. Terbukti karya-karya para pemenang Nobel Sastra sebagian besar justru tak lagi dibaca oleh sastrawan dan apresian sastra terkini (lihat saja daftar nama penerima nobel sastra di situs Yayasan Nobel). Malah, sastrawan yang diabaikan oleh panitia Nobel Sastra itu sampai kini buku-bukunya masih teras dibaca, terus dipelajari, terus menginspirasi para sastrawan di berbagai penjuru dunia—bahkan oleh mereka yang menerima Nobel Sastra.

Absurditas atau “kegaiban” ukuran panitia Nobel Sastra dalam memberikan atau tidak memberikan penghargaan kepada para sastrawan, bisa jadi menunjukkan “ketidakmampuan mereka” dalam memahami sastra dan atau disebabkan oleh tendensi politik tertentu. Pada Oktober 2008, Horace Engdahl, sekretaris tetap Akademi Swedia, menyatakan kepada the Associated Press bahwa “Eropa adalah pusat dunia sastra”. Benarkah begitu, Meneer Angdahl? Lalu, kenapa Anda dan kolega Anda di Akademi Swedia memberikan penghargaan Nobel Sastra 2016 kepada Bob Dylan, seorang penyanyi dan penulis lirik lagu pop di AS? Apakah Anda tidak bisa membedakan antara “puisi lirik” dengan “lirik lagu” menurut teori sastra Eropa, ya, Eropa yang Anda klaim menjadi pusat dunia sastra itu? Kenapa Anda dan kolega Anda di Akademi Swedia mencoba membodohi publik sastra dunia dengan menganggap lirik lagu pop sebagai karya sastra, hanya dengan sepotong “argumen” yang lucu terkait pemberian Nobel Sastra 2016 kepada Bob Dylan? Bisakah Anda menjelaskan kepada publik sastra dunia mengapa sekian nama para sastrawan yang paling inovatif di dunia telah diabaikan oleh Akademi Swedia? Anda tak bisa mengklaim bahwa Eropa sebagai pusat sastra dunia hanya dengan memberikan penghargaan Nobel Sastra tanpa argumen yang jelas dan atau cenderung bodoh kepada individu tertentu, seperti kasus Bob Dylan misalnya. Terpikirkah oleh Anda bahwa panitia Nobel Fisika akan memberikan penghargaan Nobel Fisika kepada Gery Zukav, seorang penganut pseudoscience yang menulis buku “The Tao of Physic”? Apakah itu satu permisalan konyol? Ya, mungkin konyol, tetapi tidakkah Anda berpikir bahwa kekonyolan yang sama juga terjadi ketika Anda memberikan penghargaan Nobel Sastra kepada Bob Dylan?

Berikut nama-nama sastrawan kelas dunia, yang karya-karya sastranya terus dibaca dan menginspirasi dunia sastra hingga saat ini (meksi tak mendapatkan Nobel Sastra), ketimbang sebagian besar karya para penerima “penghargaan” Nobel Sastra:

Nama-nama sastrawan dunia paling inovatif dalam bidang prosa: Leo Tolstoy (1828 – 1910), Anton Chekov (1860 – 1904), Marcel Proust (1871 – 1922), Franz Kafka (1883 – 1924), Virginia Woolf (1882 – 1941), James Joyce (1882 – 1941), Aldous Leonard Huxley (1894 – 1963), Vladimir Nabokov (1899 – 1977), Jorge Luis Borges (1899 – 1986), George Orwell (1903 – 1950), Umberto Eco (1932 – 2016), Cormac McCarthy (1933 – ).

Nama-nama sastrawan dunia paling inovatif dalam bidang puisi: Amy Lowell (1874 – 1925), Wallace Stevens (1879 – 1955), Raymond Roussel (1877 – 1933), Guillaume Apollinaire (1880 – 1918), Wiliiams Carlos Williams (1883 – 1963), Ezra Pound (1885 – 1972), Marianne Moore (1887 – 1972), Andre Breton (1896 – 1966), Federico García Lorca (1898 – 1936), Louis Zukofsky (1904 – 1978), W. H. Auden (1907 – 1973), Allen Ginsberg (1926 – 1907), John Ashbery (1927 – ).

Sekali lagi saya tanyakan: Apa alasan sebenarnya Akademi Swedia memberikan penghargaan Nobel Sastra 2016 kepada Bob Dylan?

————
CATATAN
————

1. PRINSIP LEDAKAN (ABSURDITAS) DAN LOGIKA PARAKONSISTENSI

Prinsip ledakan (Latin: ex falso quodlibet: “dari kesalahan dapat muncul kesimpulan apa pun”; atau ex contradictione quodlibet: “dari kontradiksi dapat muncul kesimpulan apa pun”), atau prinsip “Pseudo-Scotus”, adalah salah satu prinsip inferensi di dalam logika klasik, logika intuisionalistik, dan sistem logika yang sejenis. Di dalam prinsip ledakan pernyataan apa pun dapat dibuktikan dari kontradiksi atau kesalahan infrensi logis. Artinya, sekali inferensi logis memunculkan kontradiksi, maka setiap konklusi apa pun dapat tercipta darinya. Bila hendak dituliskan dalam bahasa logika intuisionalistik, maka prinsip ledakan itu dapat diformulasikan menjadi sebuah inferensi logis seperti ini: (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ. Contoh, bila saya menyatakan bahwa “saya ada di sini” dan (sekaligus) “saya tak ada di sini”, maka konklusinya adalah “sebuah meteor sedang melintasi langit”. Itu jelas merupakan inferensi logis yang absurd karena konklusi itu tidak ada sebagai terma di dalam premis-premisnya, seperti tiba-tiba saja muncul dari kehampaan.

Dengan menggunakan bahasa logika intuisionalistik, berikut bukti (proof) dari prinsip ledakan: (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ

Bila:
ϕ (phi), ψ (psi), ω (omega) = proposisi atomik
∧ = konjugasi (operator logika untuk “dan”)
¬ = negasi
∨ = disjungsi (operator logika untuk “atau”)
⊢ = “terbukti (dalam satu sistem tertentu)” atau “implikasi” (operator logika untuk “maka”)

Maka:
1. ϕ ∧ ¬ ϕ (asumsi)
2. ϕ (dari 1 dengan menggunakan eliminasi konjungsi)
3. ¬ ϕ (dari 1 dengan menggunakan eliminasi konjungsi)
4. ϕ ∨ ψ (dari 2 dengan menggunakan penambahan disjungsi)
5. ψ (dari 3 dan 4 dengan menggunakan silogisme disjungtif)
6. (ϕ ∧ ¬ϕ) ⊢ ψ (dari 5 dengan menggunakan pembuktian implikasi pada asumsi 1)

Logika parakonsistensi berusaha membantah argumen dari logika klasik tentang “prinsip ledakan”. Menurut para logikawan parakonsistensi, seperti Jean-Yves Beziau dan Graham Priest, bila hendak meninggalkan “prinsip ledakan”, maka seseorang harus meninggalkan setidaknya satu dari tiga prinsip logika proposisional berikut ini:

1. Penambahan disjungsi: ϕ ⊢ ϕ ∨ ψ
2. Silogisme disjungsi: ϕ ∨ ψ, ¬ ϕ ⊢ ψ
3. Transitivitas dari infrensi: Jika ϕ ⊢ ψ dan ψ ⊢ ω, maka ϕ ⊢ ω

Jika dan hanya jika para logikawan telah meninggalkan satu dari tiga prinsip logika di atas di dalam inferensinya, maka kontradiksi akan terbukti koheren secara parakonsistensi, tanpa menjadi absurd:

4. Bukti kontradiksi adalah logis: Jika ϕ ⊢ ψ ∧ ¬ ψ, maka ⊢ ¬ ϕ

Namun, sayangnya, jika prinsip “negasi eliminasi” (¬ ¬ ϕ ⊢ ϕ) digunakan dalam bukti kontradiksi itu, maka setiap proposisi masih dapat dibuktikan dari kontradiksi. Negasi eliminasi ini masih merupakan kelemahan bukti kontradiksi dari logika parakonsistensi, meski logika intuisionalistik tidak mengenal prinsip negasi eliminasi.

Intinya logika parakonsistensi mencoba membuktikan bahwa kontradiksi bisa tetap koheren secara logika dan tidak terjebak pada absurditas. Logika parakonsistensi membuktikan bahwa dua hal yang bertentangan tidaklah menghasilkan kesimpulan yang absurd, melainkan kesimpulan yang logis. Bila prinsip ledakan menyatakan bahwa dua premis yang berkontradiksi akan menghasilkan konklusi apa pun (tidak peduli apa pun premisnya), maka logika parakonsisten membuktikan bahwa dua premis yang bertentangan tidak bisa menghasilkan konklusi apa pun.

———————————————–
———————————————–

2. TEORI GAMBAR DALAM BAHASA DARI WITTGENSTEIN

2,1. Kita menggambarkan fakta-fakta untuk diri kita sendiri.

2,11. Sebuah gambar menyajikan satu situasi dalam ruang logis, eksistensi maupun non-eksistensi, dari situasi konkrit tertentu.

2.12. Sebuah gambar adalah sebuah model dari realitas.

2,13. Dalam sebuah gambar, objek-objek memiliki elemen-elemen gambar yang berkorespondensi dengan objek-objek itu.

2,131. Dalam sebuah gambar, elemen-elemen dari gambar adalah representasi dari objek-objek.

2,14. Hal yang merupakan sebuah gambar adalah elemen-elemen yang terkait satu sama lain dengan satu cara determinan.

2,141. Sebuah gambar adalah sebuah fakta.

2,15. Fakta bahwa elemen-elemen dari gambar yang terhubung satu sama lain dengan satu cara determinan merepresentasikan bahwa hal-hal tersebut terhubung satu sama lain dengan cara yang sama. Mari kita sebut perihal tersebut sebagai relasi elemen-elemen dari struktur gambar, dan mari kita sebut kemungkinan dari struktur tersebut sebagai bentuk piktorial*) dari gambar.

2,151. Bentuk piktorial adalah kemungkinan bahwa hal-hal yang terhubung satu sama lain dengan cara yang sama sebagai elemen-elemen dari gambar.

2,1511. Begitu adalah cara sebuah gambar terpasang pada realitas; gambar itu menjangkau langsung keluar dengan cara itu.

2,1512. Gambar itu diletakkan terhadap realitas sebagai ukuran.

2,1513. Jadi sebuah gambar, disusun dengan cara ini, juga termasuk relasi piktorialnya, yang membuatnya menjadi sebuah gambar.

2,1514. Korelasi ini, karenanya, seperti antena dari elemen-eleman gambar, yang dengannya sebuah gambar menyentuh realitas.

2,16. Jika satu fakta menjadi sebuah gambar, maka fakta itu harus memiliki sesuatu yang sama dengan apa yang menggambarkannya.

2,161. Pasti ada sesuatu yang identik dalam gambar dan apa yang menggambarkannya, untuk memungkinkan satu fakta menjadi sebuah gambar yang berbeda dari setiap gambar lainnya.

2,17. Hal yang membuat sebuah gambar harus memiliki kesamaan umum dengan kenyataan, agar dapat menggambarkannya—benar atau salah—dalam cara tertentu, adalah bentuk piktorialnya.

2,171. Sebuah gambar dapat menggambarkan realitas apa pun yang berbentuk. Sebuah gambar spasial dapat menggambarkan hal yang spasial, sebuah gambar yang berwarna menggambarkan hal yang berwarna, dll.

2,172. Sebuah gambar tidak bisa, bagaimana pun, menggambarkan bentuk piktorialnya: gambar menampilkan sendiri bentuk piktorialnya.

2,173. Sebuah gambar merupakan subjek dari posisi di luar bentuk piktorialnya. (Sudut pandang terhadap sebuah gambar adalah bentuk representasionalnya). Itu sebabnya sebuah gambar mewakili subjek yang benar atau tidak benar.

2,174. Sebuah gambar tidak bisa, bagaimanapun, menempatkan dirinya di luar bentuk representasionalnya.
……………..
7. Perihal yang tak dapat kita bicarakan, harus kita lampaui dengan diam.
Sumber: Traktat Filsafat-Logika karya Ludwig Wittgenstein, 1920 -1921
——————————–

*) Bentuk piktorial adalah satu cara menampilkan gambar benda yang mendekati bentuk dan ukuran sebenarnya secara tiga dimensi dari perspektif tertentu. Gambar piktorial disebut juga gambar ilustrasi, tetapi tidak semua gambar ilustrasi termasuk gambar piktorial. (AYE, 2013)
—————————————————
—————————————————

3. EPIFANI DALAM SENI AVANT GARDE
James Joyce, sastrawan avant garde dari Irlandia pencipta teknik arus kesadaran di dalam sastra modern, pernah mengungkapkan di dalam novel otobiografinya “Stephen Hero” (1940), bahwa pilihan estetikanya terkait sastra avant garde dimulai setelah ia membaca teori estetika Thomas Aquinas. Ia menyadari bahwa epifani—seperti pendapat Aquinas—merupakan syarat bagi keindahan (integritas, proporsi, dan kejelasan), bahwa dengan itu objek-objek “dicerahkan”. Pandangan estetika Thomas Aquinas itu sejajar, menurut Umberto Eco, dengan pandangan estetika strukturalisme modern. Hal ini membuktkan bahwa teknik sastra “arus kesadaran” James Joyce itu berakar dalam pandangan estetika klasik Thomas Aquinas (seorang filsuf Italia yang berhasil memadukan pikiran Aristoteles dengan Iman Kristen), dan bukan berdasar pada konsep alam bawah sadar dalam konsep psikoanalisa Sigmund Freud. Dengan kata lain, teknik arus kesadaran tidaklah sama dengan teknik penulisan semau-maunya, sengawur-ngawurnya, tetapi justru bertolak dari prinsip epifani klasik.

“Now for the third quality. For a long time I couldn’t make out what Aquinas meant. He uses a figurative word (a very unusual thing for him) but I have solved it. Claritas is quidditas. After the analysis which discovers the second quality the mind makes the only logically possible synthesis and discovers the third quality. This is the moment which I call epiphany. First we recognise that the object is one integral thing, then we recognise that it is an organised composite structure, a thing in fact: finally, when the relation of the parts is exquisite, when the parts are adjusted to the special point, we recognise that it is that thing which it is. Its soul, its whatness, leaps to us from the vestment of its appearance. The soul of the commonest object, the structure of which is so adjusted, seems to us radiant. The object achieves its epiphany.” (Stepen Hero, James Joyce, 1940).

Lantas, apa yang dimaksud epifani dalam pandang Thomas Aquinas? Epifani (dari kata “epiphaneia” dalam bahasa Latin, yang berarti manifestasi atau penampakan jelas) atau teofani (dari kata “theophaneia” dalam bahasa Latin, yang berarti “penampakan Tuhan”), pada teologi Kristen konsep ini diwujudkan dengan adanya Hari Raya Penampakan Tuhan yang diperingati sejumlah denominasi gereja Kristen setiap tanggal 6 Januari. Hari raya tersebut adalah hari untuk merayakan wahyu Tuhan yang menjelma sebagai manusia, yaitu Yesus Kristus atau manifestasi Yesus Kristus ke dalam dunia dalam bentuk kelahiran-Nya. Dalam konsep estetika Thomas Aquinas, epifani menjadi syarat bagi keindahan. Maksudnya, sang seniman terlebih dahulu harus melihat objek-objek sebagai presensi dari Tuhan, dan dengan demikian “mencerahkan” objek-objek, sebagai syarat bagi presensi keindahan karya seni.
Sedangkan menurut James Joyce, momen epifani atau pencerahan sekilas terhadap objek sehari-hari, bisa dihadirkan kembali oleh karya seni. Namun, sebelum sampai ke epifani, objek perlu dianalis, perlu dilihat relasi antara setiap unsur-unsurnya, barulah setelah itu secara sintesis objek itu akan menampakkan dirinya sebagai sebuah epifani, sebagai objek yang tercerahkan. Perhatikan bahwa sastrawan yang merupakan pelopor teknik sastra arus kesadaran ini, teknik avant garde dalam sastra modern dunia, sama sekali tak bicara bahwa sastra arus kesadaran muncul dari alam bawah sadar, tapi justru muncul dari momen epifani, momen presensionis yang kemudian dianalis dengan logika, dan terakhir melompat ke dalam sintesis yang memungkinkan kejelasan dari kehadiran: “objek yang tercerahkan” di dalam ruang estetika seni.

Pandangan Thomas Aquinas dan James Joyce soal epifani itu sebenarnya sama dengan pandangan Buddha Siddhartha ketika ia bicara perihal momen pencerahan: “Ketika aku tercerahkan, seluruh dunia ikut tercerahkan.” Apa artinya itu? Artinya dunia dan subjek yang tercerahkan ada dalam integrasi, ada dalam kesatuan, ada dalam momen presensionis. Yang menarik dari pandangan Thomas Aquinas dan James Joyce bahwa seni juga dapat menjadi medium dari pencerahan, dari epifani. Namun, pandangan ini juga sebenarnya sama dengan pandangan para master Zen di Jepang terkait estetika sejak abad ke-12, yang menyatakan bahwa para penyair haiku, pemain drama noh, seniman keramik, pelukis sumi-e (tinta Cina) atau lukisan cukil kayu tidak mencipta karya seni semata sebagai ekpresi pribadi, tetapi juga untuk menghadirkan kembali satori (pencerahan).

Lantas, bagaimana menghadirkan epifani di dalam karya seni? Thomas Aquinas telah secara gamblang menjelaskannya, yaitu melalui tiga tahapan: integrasi (kesatuan benda-benda dan kesadaran, kesatuan dari objek dan subjek), proporsi (analisis logis relasi unsur-unsur dalam objek oleh subjek untuk mencapai simetri), dan kejelasan (sintesis, objek dan subjek tercerahkan, epifani). Thomas Aquinas dan James Joyce telah membuktikan bahwa kesatuan dari seni, sains, dan spiritualias adalah sebuah fakta estetika.
———————————————–
———————————————–

4. EPISTEMOLOGI DINAMIS KARL RAIMUND POPPER

Begini skema epistemologi pemecahan masalah berdasarkan prinsip falsifikasi dari Karl Raimund Popper:

Bila:
P1 = Problem Awal
TT = Teori Tentatif
EE = Eliminasi Error (pembuangan kesalahan)
P2 = Problem Akhir

Maka skema Epistemologi Pemecahan Masalah adalah:
P1 —–> TT ——> EE ——–> P2

Yang menarik dalam epsitemologi Popper bahwa pengetahuan itu bertumbuh lewat masalah. Masalah awal (P1) yang coba dipecahkan lewat TT (teori tentatif) dan dikritisi lewat tahap EE (eliminasi error) ternyata pada akhirnya menghasilkan masalah baru (P2). Demikian seterusnya sehingga pengetahuan pun terus bertumbuh secara evolusioner, makin dalam dan makin luas, untuk mengantisipasi perubahahan alam dan kondisi sosial kemasyarakatan.

Mungkin, epistemologi Popper bukanlah epistemologi yang memuaskan bagi mereka yang ingin menemukan satu “teori segalanya” bagi semua masalah, sebuah “narasi besar” yang dianggap mampu menjawab semua problem dalam narasi-narasi kecil, sebuah ideologi atau keyakinan yang diasumsikan secara revolusioner mampu memecahkan semua masalah manusia. Namun, setidaknya kita sekarang tahu, seperti pengertian kesadaran menurut teori khaos, bahwa pengetahuan manusia memang terbatas tetapi berpeluang untuk menjadi tak terbatas di dalam waktu—sama seperti kesadaran manusia sebagai titik atraktor yang berkembang menjadi tak terhingga di dalam ruang fase.

———————————————————————————-
CATATAN:
1. Esai, Puisi, dan Terjemahan: @ Ahmad Yulden Erwin, 2013–2016
2. Esai ini pertama kali dipublikasikan oleh Ahmad Yulden Erwin di Faceboo, 19 Oktober 2016 yang ditulis untuk merespons pemberian Hadian Nobel Sastra 2016 untuk penyanyi Bob Dylan.
3. Pemuatan di Blog Pustaka Kabanti ini atas seizin dan persetujuan penulisnya