Lerehoma

Tidak ada rakit yang mengarung
kecuali keruh sungai yang mengapung
dari seberang,
bukit Lerehoma, menghening

Tidak ada ketan merah yang ditumbuk
bulir padi telah ke seberang.
dari seberang, berdatangan kelapa sawit
lalu, buah bijinya luruh membusuk

Tidak ada kutilang di dahan pinus
hinggap berkepak, menyanyi.
bising traktor memecah hutan
batang-batang pinus berguguran,
gergaji bersahutan, murka bernyanyi.

Lerehoma
menjelma hutan bencah
menjelma sajak duka lara
lalu kami berharap entah.

Konawe, 2016

DSC_0306

Pemandangan darat dan laut di Konawe Utara. (Foto: Iwan Konawe)

Pasar Wawotobi

Di hari pasar, minggu ini
pagi berkabut seusai dingin
lapak dan kios-kios berbuka diri
bagai membuka segala pakaiannya
pakaian kerezekiannya

Orang-orang yang kemari, di pasar kabupaten
memilah dan memilih keinginan
saling memberi dan menerima kebutuhan

Padahal mereka tak saling kenal
tak pernah bikin janji untuk ketemu
bagai matahari pagi ini
tak pernah bikin janji untuk teduh,
namun cinta dan keikhlasan, tetap teguh

Lorong dan lods-lods pasar selalu riuh
sayur, ikan, dan pakaian selalu diincar
dialeg suku-suku memenuhi penjuru.
pasar bagai gerombol lebah di sudut gelagar
menguing-nguing hendak tawar menawar
dengan janji madu

Wawotobi, 2017

DSC_0376

Warna-warni kain tabere khas suku Tolaki. (Foto: Iwan Konawe)

Umoara

Di tanah Konawe.
perang tidak lagi menggaduh
tidak jua meminta tumbal.
tapi yang tiba akan disambut
dengan lapang dada dan ritus umoara,
upacara sederhana yang sekiranya kekal

Inilah tarian parang dan tameng
yang bersandar mantra para leluhur
tajam taawu tak hentinya berdencang
diacung acungkan ke hulu, ke hillir
ke langit , ke tanah moyang

Sekiranya puisi, maka umoara
lahir sebagai puisi yang lain.
lincah gerak, menuai beragam tafsir kata
pakaian, adalah bait dan larik keperkasaan,
bunyi, adalah rima yang memecah langit
membuncahkan suka cita.

Inilah kami, kekar berkukuh
lahir dari kerajaan masa lalu
dari keramahan, kesantunan leluhur.

Konawe, 2017

Membaca Sejarah Leluhur

Membaca sejarah leluhur
pada taenango yang dituturkan
adalah menerka-nerka lentur garis
garis silsilah kehidupan, kematian

Orang-orang yang dibicarakan
seperti beterbangan di udara
berkepak ke Sampara, pintu matahari terbit
lalu menukik ke Latoma, dimana matahari tenggelam
dari lingkar hulu siwole mbatohu
kemudian bermuara di pitudulano konawe

Istri yang diagungkan, juga ada ibu yang diselirkan.
anak turun temurun didera kemiskinan
kerajaan purba, kabur pada kenyataan

Membuka tabir kasta dan rumpun marga
apakah juga membuka luka yang tak terobat
dari manakah sesungguhnya kami datang?
apakah Konawe adalah sejarah dasar laut
dimana palung begitu gelap dan tenang

Konawe, 2017

Garis Silsilah

Ratu semut yang jatuh dari sarangnya
lalu mendarat di salah satu daun mangga
bukan berarti jatuh pula ia dari tahtanya
bukan berarti istana kosong kepemimpinan

Kerajaan itu telah di bangun sejak adam
diturunkan ke bumi lalu beranak pinak.
seperti dikisahkan oleh para penutur
garis keturunan telah ditetapkan oleh waktu

Pohon mangga di belakang rumah
tempat semut berbagi cinta dan kasih sayang
juga adalah kerajaan dari buah mangga yang jatuh ke bumi
raja dan ratunya adalah mereka yang pertama berasa manis
penerusnya, mereka yang bakal buah
kelak memimpin dengan sepenuh hati
menawarkan manis, sesudah memberi rasa kecut.

Garis yang dibangun dalam silsilah
adalah sekumpulan titik, diciptakan dari rasa keadilan
ditempa dengan tinta cinta secara bersungguh-sungguh
bagi kemakmuran, kesejahteraan.

Konawe, 2017

13255915_10207667964870312_7968917101474500741_n

Iwan Konawe (topi) dalam sebuah agenda seni di Rumah Pengetahuan. (Dok. Pustaka Kabanti)

Iwan Konawe lahir di Kendari, oktober 1980. Awalnya belajar kesenian sejak bergiat di Teater Sendiri Kendari tahun 1999 sampai sekarang. Pernah melakukan pameran tunggal Instalasi yang bertajuk “Topeng Indonesia” di Taman Budaya Sulawesi Tenggara tahun 2000. Bersama Teater Sendiri telah melakukan pertunjukan teater di Kendari, Banjarmasin, Bali, Mataram, Surabaya, Solo, Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Menjadi piñata cahaya dan artistik di berbagai sanggar dan kegiatan kesenian di Sulawesi Tenggara. Mengikuti kegiatan Temu Sastra Kepulauan dan Kampung Budaya IV di Takalar tahun 2004 dan Temu Teater Kawasan Timur Indonesia (Katimuri) di Banjarmasin, Surabaya, dan Mataram. Puisinya diantologikan pada beberapa antologi bersama yaitu Sendiri, Sendiri 2, Malam Bulan Puisi, dan Tanah Merah Tanah Sorume Tanah Mekongga, dan Teluk Bahasa. Puisinya juga dimuat di berbagai media yaitu Kendari Pos, majalah Gong Yogyakarta, dan Ruang Puisi – Rumah Lebah Yogyakarta. Tahun 2005 mengikuti program Magang Nusantara Yayasan Kelola di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ), khusus bidang tata artistik dan tata cahaya. Ia juga aktif mendorong kegiatan sastra terutama di pelosok Uepai, Kabupaten Konawe dan Kolaka. membentuk Komunitas Rumput Kendari, Studio Dokumentasi Pertunjukan, Teater Kolaka, Rumah Puncak Puisi Kolaka, dan Kelompok Teras Budaya (KLOTER-B), Kendari. Ia juga bergiat di Rumah Pengetahuan, Pustaka Kabanti Kendari, dan Pekamata Indonesia.