Tentang Kunang-kunang

Ada kunang-kunang terbang di atas unggunan api
Di sela helai-helai azan
dan pekat warna serumpun daun.
Serimbun ide dan tawa, cerita lampau
para perantau.

Kita ada di pijar kunang-kunang itu.

Markas Pisang, 21 September 2008

Sekantong Luka dari Seorang Ibu

: kepada ibu ainun kasim

supaya dapat kau ceritakan pada mereka perihal dada
yang terhimpit ini:

dada seorang ibu yang tak sempat melihatmu menangis
atau sekedar tersedu. sebab baginya kaki-kaki kursi yang
diinjakkan pada kuku-kuku kaki suaminya tak pernah
benar-benar mengenal rasa sakit: oleh luka maupun oleh
kepergian yang dipaksakan. ia ingin mengutuki dirinya jadi
batu atau serumpun pohonan bambu tempat putri tanah
ini terlahir. ia ingin menjadi jembatan, tempat anak-anaknya
menyeberangi cita-cita tanpa tangan kekar sang ayah,
namun suara tertahan dari leher tercekik tak sempat
memandunya berdoa.

di sebelah sana: di ujung pantai jauh, ia melihat kapal-
kapal mengibarkan layar dan memasang lampu-lampu. ia
ingat putrinya yang minta kapal-kapalan. ia rabai riak selat
yang tak sempat jadi gelombang: ia urungkan senyumnya.
dadanya sesak. dada seorang ibu yang tak sanggup
memberi: dada seorang ibu yang menyuruh anak-anaknya
mengatup bibir mereka sebelum tersenyum. dada yang
menampung sunyi nyanyian mantra pada tetua adat.

di punggungnya, ribuan tanda tanya dipikulkan anak-
anaknya. tanya yang melarangnya berbaring. tanya yang
dijawab dengan tatapan mata berkilat-kilat. semacam
perisai para tentara yagn disarungkan pada tangan
sebelah kiri, ia menutup mukanya. ia sembunyi dari desakan
yang menghimpit. nafasnya tersengal, isaknya sesegukan.
lalu dibasuhnya muka merahnya dengan darah suaminya.
darah yang dicecerkan dua belas kendi jampi-jampi. darah
dari lipatan perih dan airmata yang sekarang menyerah.
darah yang di kemudian hari akan ia larung ke laut banda.
laut yang akan menenggelamkan suaranya.

bahkan mungkin, bila kau betah menyimak perih:
mendefinisikan penistaan. ia seorang ibu yang tak
dibolehkan mengucap tahlil saat pemakaman suaminya.
yang meronta dan menangis, sambil mengintip dari
kangkangan kaki kekar penggali kubur tanpa rasa iba di
wajah mereka. ia bicara pada tanah yang tak bisa
mendengar suaranya sendiri. ia inginkan pelukan seorang
suami. pelukan terakhir yang ingin ia bingkai dengan
pelepah pisang atau patahan ranting pohon jarak dari
kuburan itu. ia, seorang ibu yang hanya memiliki sebatang
pinsil untuk sketsa keluarga, dengan wajah sang suami
yang sengaja akan disamarkan. satu hari nanti, bila
mungkin kau bisa bercerita pada seorang lain, jangan
bilang ia tak sempat meneteskan embun untuk bunga-
bunga di halaman rumahnya. sebab seusai sholat subuh,
saat para nelayan telah kembali ke dada istri-istri mereka,
ia masih khusyu menciumi sobekan kafan yang tak sempat
ia balut pada tubuh suaminya.

Kendari, 2009

Buton 1969

begitu tahun-tahun menjadi sepi
dan malam bergegas menyibak riak waktu
kau tak usah mendesak laut menyurut
atau pohon-pohon mengemis angin
karena darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

mungkin kau butuh semacam nestapa
atau ruang khusus penampung berkarung sesal
sambil bersiul menanti pisau waktu
yang berjubah hitam, persis nenek sihir

bukan tawar-menawar yang kau tunggu
karena gagak tak pernah lupa alamat malam
dari matanya yang menikam kelam
meski berkali-kali kau menyebut ingin
ia tak hinggap di sana
tidak di deretan kata yang memuat namamu

pulanglah, kembali ke bilik langit
sambil bersiul sepanjang luka
sepanjang kenangan yang menghanguskan
tahun-tahun cerita
seperti ketika kau melewati tanah perbatasan
tanah yang dijaga para tentara yang selalu marah

adalah peta yang sama kau jejaki
dari ujung nadi terjauh
tempat anjing-anjing kurus
dengan liur yang tak pernah kering
mendesakmu dengan seribu tuduhan
semacam gua yang ditolak para pertapa
kau khusyuk menulis nestapa
darah lebih kental dari luka
lebih sakit dari kenangan

Buton, 2007

Reportase Kematian

: Muh. Kasim

Sejak jauh darimu, saya tak bisa lagi berhitung dengan baik
berapa ratus malam sudah saya menggigil kedinginan
atau berapa kali sebenarnya saya sungguh-sungguh
mengigaukan namamu

kadang, pada malam-malam tertentu saya mendengarkan kaki mereka mendekat.
hentakan sepatu laras itu, setiap kali menyentuh lantai,
terasa seperti godam dalam dadaku
saya merindukanmu, sayangku, saya merindukanmu.

pada malam yang lain, saya mendengar mereka terkekeh-kekeh
di ruang jaga
apakah mereka menertawakan kita? apakah mereka mengejek jarak kita?
Entahlah. tapi di sini, di ruang tengah ini, saya tiba-tiba
merindukan tanganmu menjulur dari sela jeruji,
menyodorkan secangkir anggur
untuk merayakan cinta kita yang tak mau digertak

sejak itu, sayangku, mereka tak memberiku makan
listrik dipadamkan, dan surat-suratmu saya tak pernah tahu ke mana
saya hanya mendekap lutut di pojok penjara,
melihat wajahmu dalam pikiranku
dan mendengarkan tajam pisau komando yang diseretkan di dinding
mungkin mereka marah, atau kecewa karena cintanya ditolak
kemudian dengan nafas memburu,
mereka menendang pintu sel menyeretku dalam gelap,
menarik rambutku dengan kasar
lalu melemparku ke ruang jaga persis karung beras

saya berteriak memanggil namamu

malam itu, dunia tiba-tiba berhenti
ketika pelatuk ditarik, ada yang berbisik: di harus dihabisi
saya merasa seolah tanganmu sedang membelai rambutku
dalam kelam, angin menggigil di sekitar kita
sambil menutup mata
saya mendengar lagu kematian bernyanyi sepanjang malam

Kendari, 16 November 2010

Di Kendari Teater Kota Lama

mereka hanya menyisakan potongan tiket dan bekas
jari-jarinya di lenganku
sepasang kursi dan daun pintu kembar yang dulu pernah
mencatat mimpi-mimpi kami
tak kutahu lagi ke mana pergi. yang ada tinggal
penggal-penggal cerita dari tiang-tiang jembatan
yang lebih kokoh dari tatapan.

dekat kendari teater kota lama, ada sebuah toko cina
yang menjual pentil sepeda,
di sana kami pernah membicarakan rencana
bulan madu sederhana
: menyewa perahu sampan dan berkeliling
teluk kendari sehari penuh
lalu mampir sejenak di gerobak kacang rebus
sambil mengupas-kupas harapan dari butir-butir asmara
yang disemai cuaca bulan purnama

biasanya, kami berpapasan dengan beberapa kuli
pelabuhan yang baru selesai mandi,
aroma minyak wangi yang menyengat dan darahku
yang kian mendesak. aku mengingat semuanya.
terbayang merah muda pada pipimu dan lengkung senyum
yang tak pernah bisa membuatku terlelap selepas jalan
menuju pulang.

tapi, lembar-lembar rambutmu belum selesai kuhitung
dengan nafasku. sebab tiket yang ada di tanganku kini,
tak dapat lagi kupakai untuk menonton film kesukaanmu.
kendari teater tak ada di sini, kecuali sebuah gardu
penyedia tiket penyeberangan.
jembatan yang menghubungkan adalah juga
yang memutuskan kenangan.

Kendari, 2009

IRIANTO IBRAHIM lahir di Gu, Buton, 21 Oktober 1978. Saat ini bergiat di The La Malonda Institute. Buku puisi pertamanya terbit tahun 2010 berjudul Buton, Ibu, dan Sekantong Luka. Pada April 2020 ini terbit buku kedua berjudul Yang Berakhir dengan Pertanyaan. Puisi-puisinya tersiar antara lain di Bali Post, Kendari Pos, Horison, Rumah Lebah, Radar Tasikmalaya, Jurnal Sajak, Basabasi.co, dan Rakyat Sultra. Puisinya masuk ke dalam beberapa antologi antara lain Sendiri 3, Ragam Nyenak Tsunami, Percakapan Lingua Franca, Beternak Penyair, Wajah Deportan, Pedas Lada Pasir Kuarsa, Tua Tara No Ate, dan Sepuluh Penyair Terpilih Basabasi.co tahun 2019.  Tahun 2011 ia mengikuti Majelis Sastra Asia Tenggara (Mastera) Bidang Puisi, Temu Sastrawan Indonesia (TSI) II di Tanjungpinang 2010, Ubud Writers & Readers Festival di Ubud 2011, dan Jakarta International Literary Festival 2011.

CATATAN: Puisi yang berjudul “Tentang Kunang-kunang”, “Sekantong Luka dari Seorang Ibu”, “Buton 1969”, dan “Di Kendari Teater Kota Lama” bersumber dari buku puisi Buton, Ibu, dan Sekantung Luka (2010). Puisi “Reportase Kematian” dari buku Yang Berakhir dengan Pertanyaan (2020).