Oleh: Badaruddin Amir

Saat dipertemukan di sebuah pelatihan menulis selaku narasumber pada kegiatan Literasi Santri Pondok Pesantren DDI Ad-Darry, Takkalasi, Kabupaten Barru, penyair Tri Astoto Kodarie minta pada saya untuk membahas sebuah kumpulan puisinya berjudul Kali Mati. Saya terkejut, mungkin lebih terkejut dari Eka Budianta saat diminta untuk memberi kata pengantar pada buku tersebut. Tapi keterkejutan saya berbeda dengan Eka sebagaimana yang ditulis pada pengantar kumpulan puisi tersebut. Eka terkejut karena mendasarkan apresiasinya pada “kali” atau “sungai” atau “bengawan” yang selama ini digaulinya dengan bahagia. Eka Budianta adalah seorang pecinta sungai. Ia telah “menggauli” beberapa sungai besar, baik sungai-sungai di Indonesia maupun sungai-sungai terkenal di manca negara. Semua sungai “digaulinya” dengan rasa bahagia. Karena itu ia terkejut saat diminta untuk mengapresiasi kumpulan puisi Tri Astoto Kodarie berjudul Kali Mati yang memberi suram dan gelisah ini.

Sementara itu saya terkejut bukan karena nuansa puisi-puisi Tri Astoto Kodarie yang terangkum pada buku kumpulan puisi ini. Saya sudah lama mengenal nuansa puisi-puisi Tri Astoto Kodarie dari kumpulan puisi pertamanya berjudul Nyanyian Ibunda (1992). Dan semua buku kumpulan puisi Tri Astoto Kodarie yang hingga Kali Mati (2022) berjumlah kurang lebih sepuluh buah di luar antologi bersama, telah saya dokumentasikan pada perpustakaan pribadi saya “Takanitra”. Bahkan saya dan Tri Astoto Kodarie pernah menerbitkan buku antologi berdua dengan judul Antara Dua Kota (1995) dan lebih dari 20 antologi puisi bersama pernah kami pernah sebuku. Keterkejutan saya karena buku Kali Mati (2022) memang segelnya belum pernah saya buka, sementara saya sudah mendengar informasi melalui media sosial bahwa buku antologi puisi Kali Mati masuk sebagai salah satu nominasi pemenang buku terbaik pada Hari Puisi Indonesia 2023. Saya tentu harus membaca puisi-puisi yang terangkum dalam kumpulan puisi tersebut padahal saya sudah berniat tidak akan membaca apa-apa lagi selain buku petunjuk menjalankan ibadah umroh karena sehari setelah permintaan Tri Astoto untuk membahas buku itu saya sudah berangkat ke Tanah Suci menjalankan Ibadah Umroh. Jadi pokok pikiran pembahasan ini saya tulis sembunyi-sembunyi di atas pesawat dengan aplikasi memo pada gadget bermerk vivo yang kapasitasnya sangat terbatas; dengan catatan tambahan saya harus membaca buku Kali Mati di sepanjang penerbangan”. Itulah sebabnya saya memberi judul ulasan ini Membaca Kali Mati Sepanjang Langit.

Puisi-puisi Tri Astoto Kodarie memang tak asing lagi pada saya. Kesan pertama yang harus dicatat adalah bahwa Tri Astoro Kodarie tak pernah bergeser dalam berpuisi. Kalau pun ia juga menulis esai dan cerpen, namun namanya lebih dikenal sebagai penyair ketimbang esais dan cerpenis. Demikian juga dengan gaya menulis puisinya, ia tidak pernah bergeser dari buku kumpulan puisi pertamanya hingga bukunya berjudul Kali Mati yang terbit teranyar ini. Dia tidak pernah mencoba-coba bereksprimen, membuat atau mengikuti genre baru misalnya puisi yang disebut oleh pengikutnya sebagai “puisi esai”, atau pun puisi pendek ala Haiku yang disebut oleh pengikutnya sebagai “Pusai” (Puisi Bonsai). Kalau ada puisi Tri Astoto yang pendek atau yang panjang menyerupai puisi-puisi naratif seperti balada,tapi gayanya tetap gaya Tri Astoto Kodarie. Demikian juga Tri Astoto Kodarie tak pernah mencoba membuat puisi-puisi dengan tipologi tertentu, selain tipologi konvensional yang terdiri dari bait-bait tersusun ke bawah. Menilik bentuk puisinya maka Tri Astoto Kodarie dapat digolongkan sebagai penulis puisi yang menggandrungi bentuk puisi konvensional. Akan tetapi menilik isi puisi-puisinya, boleh dikatakan bahwa dalam menulis puisi atau sebagai penyair, Tri Astoto Kodarie sudah menemukan gaya penulisan puisinya sendiri.

Kesan berikutnya yang harus saya kemukakan di sini adalah bahwa Tri Astoto Kodarie tidak pernah tertarik untuk menulis puisi dengan tema-tema tertentu yang ditawarkan oleh sejumlah penggagas atau penerbitan antologi puisi bersama — di luar dari tema yang memang sangat diakrabinya seperti laut, sungai, gunung, awan, angin, pepohonan juga keadaan lingkungan dengan segala variasinya. Tema-tema universal alamiah ini adalah tema-tema yang akan muncul berulang-ulang dalam sejumlah besar puisi-puisi Tri Astoto Kodarie. Jadi tema-tema alam dengan berbagai variasinya sangat disukai oleh penyair Tri Astoto Kodarie. Sementara itu tema eksklusif atau tema-tema yang memiliki konteks tertentu seperti antikorupsi tidak menjadi perhatian dari penyair ini. Itulah sebabnya namanya tak pernah tercatan dalam sejumlah antologi puisi PMK (Penyair Menolak Korupsi) yang digagas oleh Sosiawan Leak, bukan karena tak commitet dengan gerakan tersebut. Sebaliknya beberapa antologi yang bertema alam namanya akan muncul di sana sebagai salah seorang kontributor.

Kumpulan puisinya berjudul Kali Mati (Hyang Pustaka, Maret 2022) ini juga kebanyakan berbicara betrbicara tentang alam. Tujuh puluh lima puisi yang terangkum dalam kumpulan puisi ini mengisyaratkan “alam” sebagai tema atau paling tidak sebagai latar belakang puisi. Oleh karena itulah diksi atau pilihan kata yang kebanyakan digunakan juga adalah diksi-diksi alam seperi angin, gelombang, air, laut, langit, sungai/kali, pepohonan, cahaya, bulan, batu, lumut, jalan, malam, musim, dan lain-lain dengan segala variasinya. Diksi-diksi ini kadang menjadi kata majemuk yang membuat pengertian baru, atau kesan baru melampaui pengertian kata majemuk. Misalnya ungkapan dalam baris-baris berikut ini:

– Senja merangkak di bubungan klenteng (Senja di Jalan Pecinaan Makassar, hal. 2)
– Kulihat engkau bermekaran seperti sedap malam (idem)
– Melalui petang yang mulai rebah mengantuk (Sebelum Petang, hal. 3)
– Ingin kubawa cahaya yang masih tertidur (Dongeng Pagi, hal. 4)
– Kota ini sering menghapus jejak yang tertinggal (Di Kotamu, hal. 5)
– Aku mengingatmu sepenuh musim (Mengingatmu, hal.18)
– Lindap bayangan gelisah di ujung senja (Senja di Kledung, hal. 24)
– Ini rumah tak setia serupa buron yang kelelahan (Rumah Tak Setia, hal. 64)
– Menyaksikan bayanganmu menyala bercahaya (Menunggu Laut Surut, hal. 78)

Hampir setiap baris puisi Tri Astoto Kodarie dibangun dengan konstruksi diksi seperti itu. Ia masih sangat dikenal sebagai gaya personifikasi, metafora, eufimisme, hiperbol. Dan hanya satu dua kalimat yang menimbulkan kekacauan pengertian karena ketaktepatan pemilihan katanya, yang tapi kemudian dalam karya puisi tidak menimbulkan persoalan karena kata-kata dalam puisi tidak melulu harus dipahami sebagai kata yang mengandung pengertian, tapi juga kata yang menimbulkan kesan. Kekuatan penggunaan gaya bahasa dengan diksi-diksi alam inilah yang sesungguhnya menjadi kekuatan dari puisi-puisi Tri Astoto Kodarie. Ia sanggup menciptakan pengertian atau kesan baru dari tiap baris puisinya.

Keakraban penyair dengan ungkapan-ungkapan alam yang digunakannya dalam gaya personifikasi, metafora, eufimisme, hiperbol, menyebabkan pula beberapa puisinya berwarna melankolis dan romantis. Kesan ini timbul setelah kita menarik kesimpulan dari keseluruhan kesan yang ditimbulkan oleh baik-bait puisinya dalam puisi yang dibaca. Perhatikanlah misalnya puisi yangberjudul “Sebelum Petang” (Hal. 3) ini:

Bagi yang pergi atau pulang sebelum petang
pintu terdekat akan menjawab dengan deritnya
meski perih berlimpah di dada
pergi dan pulang serupa kedua tangan
saling membutuhkan dalam genggam sederhana

Semua selalu mengatasnamakan kebahagiaan
padahal gambar dan kenyataan selalu berbeda
lalu akan memberi nama pada janji
melalui petang yang mulai rebah mengantuk
yang pergi selurus garis wasilah
yang pulang melepas wangi ruap melati
tafakur sebelum memilih kehilangan.

Parepare, 2023

Atau pada puisi ini.

Di Kotamu

Mungkin dapat kuingat kembali kotamu
hilang tujuan dalam petang tanpa cahaya
ada bertuliskan: jangan kembali
padahal aku mulai hafal jalan-jalan
arah timur menuju langit sayu matamu
ke barat rumah sunyi ke pintu kenangan

Kota ini sering menghapus jejak yang tertinggal
terseret langkah di jalan setapak yang penat
hanya berlalu menjauh serupa tangis berkabung
serasa jauh menemukan jalan ke arah hatimu
mungkin hingga senja padam membanting gelap

Parepare, 2022

Di samping warna melankolis seperti di atas, puisi-puisi Tri Astoto juga kebanyakan berwarna romantis, meski dengan catatan bahwa melonkolis dan romantis adalah dua nuansa yang sangat berdekatan seperti dinihari dan pagi. Perhatikanlah warna romantis pada puisi-puisi berikut ini:

Malam

Bila kata-kata terlelap sekarang
maukah kau tidur tanpa pimpi di sampingku?
Malam sudah renta tak terlihat dari dekat
Tanganmu kubiarkan terbang menyulam mawar
Mengurai kecemasan-kecemasan di jemariku
Membawa kita lebih dekat ke pusat malam

Teruslah merangkai hembusan nafas
jangan tertinggal dan terabaikan seperti sekarang
dari sisa batas malam yang hilang
memasukkan sunyi ke dalam senar gitar
tidur kita menjelma jadi keheningan
mengembara di angin yang samar.

Parepare, 2022

Atau pada puisi ini.

Hujan Malam

Tanganmu membawaku menuju malam
petir masih beriringan melambaikan tangan
kelopak-kelopak hujam mulai bermekaran

Aku merasa setiap tetes air yang jatuh
dari bubungan atap serupa jalan takdir
asing tanpa bayang-bayang tercerabut waktu
menjulur di dinding nafas berongga-rongga
sepakat memaksa giliran bermain cuaca
sebelum kelopak-kelopak hujan menjadi layu

Di malam paling dalam, hujan menggigil
Embun beterbangan menabrak kaca jendela
Suaranya seperti pekikmu menimang rindu
Dinginnya rebah di dadamu melempapkan kisah
Di sini, cinta terus belajar membaca waktu
Memberi isyarat di mimpi tiada cahaya.

Parepare, 2021-2022

Sebagai pelukis alam yang romantis dan melankolis Tri Astoto Kodarie memang sangat universal dalam artian bahwa puisi-puisi alam Tri Astoto dapat diterima sebagai gambaran semua situasi, kendati yang diungkapkannya adalah situasi “khusus” atau situasi yang memiliki konteks khusus seperti  “Ombak Losarsi” (dalam “Kitab Laut”, 2018), “Membaca Teluk Parepare” (dalam “Kitab Laut”, 2018), “Kepada Kota Kelahiran Jakarta”(dalam “Hujan Meminang Badai”, 2007), “Catatan Pantai Losari” (dalam “Hujan Meminang Badai”, 2007), “Teluk Parepare” (dalam “Merangkai Kata Menjadi Api”, 2017), “Senja Di Jalan Pecinaan Makassar” (dalam “Kali Mati”), “Bertanya Kepada Cornelis Speelman” (dalam Kali Mati, 2022). Keuniversalan itu terkesan karena penggunaan ungkapan-ungkapan umum yang jika pun harus menggunakan ungkapan khusus maka akan ditulisnya dalam bahasa asli atau bahasa sumber seperti bahasa daerah yang disertai dengan catatan kaki, seperti kata “Ambo” dalam puisi yang berjudul “Dijodohkan dengan Laut” (Kali Mati, hal 36). Tapi ungkapan-ungkapan daerah seperti itu pun sangat terbatas dan jarang ditemukan dalam puisi Tri Astoto Kodarie. Penggunaan ungkapan dalam bahasa Jawa pun, yang merupakan bahasa Ibu penyair akan selalu dihindarinya, kecuali bahasa Jawa yang sudah umum digunakan.

Satu hal teknis yang berbeda dari buku kumpulan puisi Tri Astoto Kodarie sebelumnya adalah kumpulan puisi Kali Mati ini tampaknya sudah konsisten dengan penulisan hurup kapital di semua awal bait puisinya. Padahal semua puisi Tri Astoto Kodarie yang ada pada kumpulan puisi sebelumnya seperti pada “Hujan Meminang Badai” (2007), “Merangkai Kata Menjadi Api” (2017), “Kitab Laut” (2018), maupun kumpulan-kumpulan puisi sebelumnya konsisten tidak menggunakan satu huruf besar pun pada semua kata yang digunakannya,  baik posisinya di awal, di tengah, maupun di akhir kalimat, sehingga semua kata-katadalam puisi-puisi sebelum Kali Mati ditulis dalam huruf kecil. Alasannya tentu hanya penyairnya yang tahu.

Badaruddin Amir, adalah seorang penyair dan cerpenis Kabupaten Barru.

CATATAN: Esai ini dibentangkan pada diskusi buku di acara Pesta Literasi Sulawesi Tenggara (Pelita), Rabu, 23 Agustus 2023 di Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Pelita terselenggara berkat kerja sama antara Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, Ika Dubas Sulawesi Tenggara, dan Ziarah Kesenian Sulawesi Tenggara.