Oleh: Muh. Rifky Fauzan

Jadi kampung nenek saya itu berada di Desa Kondono,Kecamatan Laonti di Kabupaten Konawe Selatan. Kampung nenek saya ini berada di sebuah pulau. Kalau mau ke kampung tersebut, kita harus menaiki kapal kayu selama 3 sampai 4 jam. Sewa kapal tersebut sebesar 60 ribu rupiah untuk satu kali perjalanan. Setelah sampai di pelabuhan, kita harus menyewa mobil lagi sebesar 5 ribu rupiah agar sampai ke desa nenek. Yah, begitulah, sebab jarak dari pelabuhan ke desa nenek lumayan jauh. Kurang lebih 4 atau 5 kilometer.

Desa nenek saya ini tidak memiliki jaringan. Listriknya pun terbatas, hanya ada pada saat malam dari pukul 06.00 sampai 23.00 malam. Mengapa bisa demikian? Di kampung nenek saya ini, PLN belum bisa tembus dikarenakan jalan daratnya yang barusan selesai. Jadi, kalau mau ke kampung nenek saya ini, harus menaiki kapal ber jam-jam dikarenakan jalan daratnya yang barusan tembus tetapi belum diaspal. Maaf, yah.

Di kampung nenek ini, saya pernah sekolah SMP dari kelas 2 sampai tamat. Ketika tamat, saya lanjut sekolah di Kendari. Jarak dari rumah ke sekolah itu, sejauh 2 kilometer. Kalau mau ke sekolah, saya kadang berjalan kaki atau berboncengan dengan teman. Kampung nenek saya ini jalannya masih kurang bagus, karena jalannya sebagian sudah jadi, sebagiannya belum jadi. Jalan di kampung nenek saya ini tidak menggunakan aspal tapi menggunakan beton. Kadang saya suka bosan kalau sedang berada di kampung nenek ini. Soalnya, di sana tidak ada jaringan dan tempat yang memiliki jaringan itu jauh dari rumah nenek, yakni kurang lebih 4 sampai 5 kilometer dari rumah nenek saya. Walaupun saya merasa bosan dan agak stres. Nah, untuk menghilangkan rasa bosan itu, saya suka pergi mandi di sungai, memancing di sungai, dan pergi ke kebun untuk memanen buah atau tanaman yang berada di kebung saya seperti pala, cengkih, jambu mente, dan kelapa.

Di kampung nenek saya ini, juga mempunyai tempat permandian yang sangat indah, tetapi lumayan jauh. Jika ke sana, harus menyewa kapal kecil lagi agar sampai ke permandian tersebut. Nama permandiannya adalah Namu, Pasir Panjang, dan masih banyak lagi.

Walaupun saya sering merasa bosan dan sebagainya, tetapi ada hal yang saya suka dari kampung itu, yakni kesunyian dan ketenangan. Beda dengan di perkotaan yang sangat ramai dan berisik. Kalau di kampung nenek saya, susananya sangat tenang dan tidak berisik yang bisa membuat pikiran kita rileks. Udara di kampung nenek sangat sejuk, karena belum tercemar. Beda halnya di perkotaan, udara kurang sejuk karena adanya polusi dari asap kendaraan maupun dari pabrik.

Di kampung nenek, suasananya yang sunyi dengan kicauan burung yang berada di pepohonan, suara dedaunan yang berjatuhan, dan kurangnya suara kendaraan membuat hati kita senang dan pikiran juga tenang. Beda halnya dengan perkotaan yang penuh dengan suara berisik, dikarenakan suara motor, mesin pabrik, atau pun suara mesin pembangunan yang membuat kita kurang enak mendengarnya.

Menceritakan hali ini, rasa-rasanya ingin ke kampung nenek lagi.

Kendari, 7 Mei 2023

MUHAMMAD RIFKY FAUZAN, lahir di Bangkali, Kabupaten Muna, 17 Juli 2008bersekolah di SMK Life Skill, kelas 2. Aktif berorganisasi di Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) sebagai Ketua Bidang PIP di PC IPM Poasia.

CATATAN:

Esai ini hasil kegiatan Kelas Intensif Kepenulisan Esai bagi Pelajar, dilaksanakan Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Sulawesi Tenggara pada Ahad, 7 Mei 2023, di Aula Universitas Muhammadiyah Kendari. Narasumber kelas kepenulisan tersebut adalah Syaifuddin Gani, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) dan pendiri Pustaka Kabanti Kendari.