Oleh: Muh. Khalik

Kurebahkan kakiku di atas lantai. Perlahan punggungku menyentuh dinding luar kamar mandi. Dinding yang sudah turun-temurun menjadi sandaran favorit mahasiswa tahap akhir saat hendak menunggu dosen pembimbing.

Sesekali ada tetesan air mengalir dari celah sudut kanan bagian bawah. Tak lain, sumber air dari dalam kamar mandi. Sudah banyak orang yang terjebak akibat duduk di dekat celah tersebut. Meski demikian, banyak yang masih juga duduk bersandar di dinding itu. Tak terkecuali aku. Mungkin dikarenakan tempatnya amatlah dekat dengan ruangan dosen. Jadi, tak heran jika dosen pembimbing masuk atau keluar ruangan, kami bisa langsung melihatnya dan segera bangkit untuk meminta bimbingan. Dinding penantian.

Pagi ini, aku hanya bersimpuh sendiri. Menyaksikan kesibukan yang mondar-mandir tak jelas di hadapanku. Hanya kardus Aqua di kantin jujur yang setia menemaniku. Kardus yang tak pernah tampak pemiliknya. Padahal, hampir setiap pagi dan sore aku selalu berada di tempat ini menunggu dosen pembimbing. Aku tak pernah melihat pemiliknya datang sekadar membereskan barang dagangannya. Mungkin saja itu dagangan makhluk halus. Pikirku. Entahlah.

Hayalan tentang kardus misterius itu menemaniku beberapa saat. Kulirik jam tanganku yang sudah menunjukkan pukul sepuluh pagi. Belum ada tanda-tanda kedatangan dosen pembimbing. Sosok yang dari tangannya, akan membimbing kami ke jalan yang lurus.

Kutarik skripsi dari dalam tas dan kubaca halaman demi halaman. Saya ingin memastikan lembur semalam sudah mengerjakan kesalahan yang kemarin. Semoga hari ini tak ada kesalahan lagi, sehingga lembar izin ujian yang sudah aku siapkan bisa segera ditandatangani. Maklum, kesalahan sedikit, dapat berbuah coretan dan berakibat kesalahan. Artinya, saya akan melakukan perbaikan lagi. Pembaca yang sudah sarjana pasti tahu maksud dan perasaanku, kan?

Dari arah depan, kulihat seseorang bertubuh ramping perlahan menaiki anak tangga. Senyuman lebar wanita berbaju kotak-kotak itu memaksaku umtuk membalasnya. Mataku mengikuti langkahnya hingga ia duduk di sebelahku. Dia bukanlah orang asing, melainkan sahabatku, Geno. Sosok yang cerdas dan anti-telat. Bagiku dia tak pernah merasakan terlambat selama kuliah. Tak ada yang bisa menandinginya. Tapi sayang, tak sedikit pun rendah hati saat ia sedang dipuji.

“Sudah dari tadi?” pertanyaan khas untuk sang penanti kembali ia lontarkan.

“Belum lama,” jawabku dengan ragu-ragu. Padahal sebenarnya aku sudah hampir tua di sini.

Kebetulan pembimbing dua kami sama. Sejak penyusunan proposal, kami selalu mengurusnya bersama. Hari ini kami kembali berjuang untuk tahap akhir. Mengejar datangnya hari jadi wisuda dengan tepat waktu. Seperti biasa, Geno tidak mempunyai keberanian dalam menghubungi dosen. Selalunya ia menyuruhku. Menanyakan kepastian akan kedatangan dosen pembimbing. Aku merangkai berbagai kata sopan sedemikian rupa. Kuulangi membacanya berkali-kali hingga terdengar pas di telinga. Beberapa kata kuhapus dan kuganti dengan nan indah. Kata yang mampu membuta bibir dosen, tersenyum. Setelah itu aku meminta Geno untuk menilainya. Jika pesan tersebut sudah terdengar santun, barulah aku menekan tombol kirim. Beberapa detik saat pesan terkirim, kami kembali khawatir dengan ketikan tersebut. Rasanya seperti sedang mengirim pesan untuk presiden. Cukup membuat jari tangan berkeringat.

Beberapa saat kemudian, gawaiku berdering. Tanda pesan masuk. Sontak kuraih gawaiku dan rasanya ingin kulempar dari lantai dua kampus. Pesan dari telkomsel yang ingin memberikan hadiah mobil.

“Hahahaha,” Geno tertawa puas.

Sebuah pesan yang sangat konyol. Kami berdua masih setia menanti. Tak sedikit pun beranjak. Takut jika dosen pembimbing datang dan seenaknya saja pergi. Yah, biasanya seperti itu. Kami sudah menghafalnya.

Dongeng tentang sahabat kami yang mendadak ditelan bumi kembali mengisi suasana. Sebut saja Oppa. Sosok yang fasih berbahasa Korea. Kini tak satu pun yang mendapatkan kabarnya. Ia keluar dari grup media sosial kelas. Tak tahu apa alasanya. Bahkan kami pernah menengoknya di asrama, namun ia tak mau membiarkan kami masuk dan sekadar menanyakan keadaannya. Bingung apa yang sedang ada di pikirannya sekarang yang dulu diisi dengan jutaan drama Korea.

Saat sedang membahas sahabat kami yang hilang, tiba-tiba tanda pesan masuk gawaiku berdering. Kali ini balasan dari dosen pembimbing yang mengatakan kalau ia akan berada di kampus pada pukul dua sore. Yah, akhirnya kepastian itu datang. Kami tidak akan menunggu bodo’ di tempat ini yang sudah kami anggap seperti rumah sendiri.

Sekarang jarum jam menujukkan pukul dua siang. Artinya, enam jam sudah aku duduk di sini. Saya rasakan dingin pagi dan terik siang. Sebentar lagi pembimbing kami akan datang. Puluhan dongeng sudah kami tuntaskan. Ratusan lagu sudah aku alunkan hingga hari mulai menampakan senjanya. Akan tetapi, dosen pembimbing kami belum juga menampakkan wajahnya, padahal kampus sudah menampakan punggung sunyinya. Para mahasiswa sudah lenyap dari pandangan kami. Hanya si petugas kebersihan yang mulai merapihkan bangku-bangku di setiap ruang kelas. Kami begitu optimis menunggu dengan kepastian yang tak pasti. Saya melihat warna senja bergerak tinggalkan pepohonan di kampus yang beraura muram.

Sekarang kerongkongan mulai mengemis air. Mataku mulai merasakan suntuk. Aku segera bangkit dari lantai dam mencoba meraih uang kertas dalam saku celanaku. Kudekati kardus kantin jujur yang tak jauh dari tempat dudukku. Seketika napas kuhebuskan dari mulut, menatap kardus tersebut kini hanya berisi toples uang. Untungnya kardus kantin jujur di lantai bawah masih menyisakan beberapa aqua. Pemilik kedua kardus itu mungkin sama. Sama-sama tak bisa terlihat. Benar-benar aneh. Oh kantin jujur, oh kejujuran…

Aku dan Geno masih saja betah menunggu. Tapi, kebanyakan dosen datang mengabsen di sore hari. Mungkin saja pembimbing kami datang. Hmm sayangnya hari sudah memaksa kami untuk pulang. Jarak pandangan kami terhalang gelap. Lampu kini menggantikan matahari. Suasana benar-benar kosong sekarang. Kami pun memutuskan untuk meninggalkan kampus.

Daun-daun gugur menyapa di halaman, burung-burung mengejar matahari, dan awan kini mulai menghapus langit. Bintang terbit. Siapa sangka yang kami nanti itu kini akhirnya datang. Tepat di halaman Fakultas Ilmu Budaya, sebuah motor dengan melaju berhenti di hadapan kami. Senyum melebar lega. Merasakan tak satu pun sia-sia. Usai menempelkan jempol di kotak hitam yang tertempel di dinding, sang pembimbing pun mulai melayani kami untuk konsultasi skripsi. Cahaya lampu menyaksikan perjuangan kami. Beruntungnya, kami langsung mendapatkan tanda tangan untuk melaksanakam ujian minggu depan.

Setiap waktu adalah hikmah. Tak sedetik pun sia-sia. Oranglah yang tega menyia-nyiakannya. Sepahit-pahitnya penantian, pasti menyimpan kebahagiaan. Tapi banyak orang yang gugur karena penantian dan lebih memilih kembali pada zona kenyamanan. Janganlah menunda waktu, sebab waktu akan menundamu. Kerjakan tugasmu, garap skripsimu, dan kejar pembimbingngmu. Biarkan keringat menyuarakan semangatmu hingga sampai di gerbang wisuda. Melihat senyuman penantian sang ayah bunda. Saya berjuang menyelesaikan tugas berat ini, hanya agar meraih sesungging senyum ayah dan bunda. Dari keduanya saya berangkat, kepada keduanya saya pulang.

Selanjutnya, yang bernama masa depan, saya kembalikan ke tangan Nasib.

Kendari, 2019

50692601_2209170226018220_740289449425895424_n

Muh. Khalik dalam sebuah perjalanan di Monas, Jakarta. (Dok. Pustaka Kabanti).

MUHAMMAD KHALIK lahir Wantulasi, Buton Utara, 30 September 1997. Khalik yang kini berusia 21 tahun, bekerja sebagai pemandu wisata, sebuah pekerjaan yang terkait dengan kemampuannya menguasai beberapa bahasa asing. Ia berasal dari Kulisusu dan kini tinggal di Ranomeeto. Anggota Ika Duta Bahasa Sulawesi Tenggara tersebut memiliki hobi menulis puisi. Mau menghubunginya? Silakan tekan nomor 082311665286. Tulisan ini dibuat sebagai bagian dari Pelatihan Menulis Relawan Pustaka Kabanti Kendari.

#PustakaKabantiKendari
#PelatihanMenulisBagiRelawanBaru
#JurnalismeKomunitas
#MariMembacaAyoMenulis
#HidupSingkatSeniAbadi