Oleh: Adinda Febriana Putri Pangerang

Internet Movie Database (IMDb) menuliskan rating untuk film Imperfect: Karier, Cinta & Timbangan sebesar 8.1/10. Sementara itu, aplikasi android cinepoint memberikan rating 8/10 untuk film ini.

Jika kita berselancar di YouTube dan mencari ulasan film ini, score yang diberikan para pengulas juga tidak jauh berbeda dengan data di atas. Para pengguna sosial media, khususnya Instagram, juga dipastikan telah kenyang dengan segala ulasan yang mengatakan “pokoknya wajib banget nonton film ini” atau “filmnya bagus banget, sampe mewek” dan hal-hal serupa lainnya.

Apresiasi besar diberikan penonton kepada sutradaranya, Ernest Prakasa juga istrinya Meira Anastasia yang menulis cerita dalam film ini. Hal ini dibuktikan dengan penjualan karcis per tanggal 15 Januari 2020 telah mencapai angka 2.500.000 karcis. Dan memasuki minggu ke-empat penayangannya sejak 19 Desember 2019 kemarin, film ini masih anteng-anteng saja di beberapa bioskop di Indonesia.

Kelarisan film ini tidak terlepas dari kesesuaian cerita dengan keadaan di masyarakat sekarang ini. Belum lagi bumbu tambahannya berupa quotes kekinian yang bukan saja sekedar memiliki relasi dengan penonton, tapi juga dapat menjadi konten untuk story-story Instagram, Facebook, juga WhatsApp.

Dikutip dari Wikipedia Bahasa Indonesia, film bergenre drama roman komedi ini berkisah mengenai Rara (Jessica Mila) yang terlahir dengan gen gemuk dan kulit sawo matang, warisan sang ayah. Sementara, adiknya Lulu (Yasmin Napper) mengikuti gen ibu mereka Debby (Karina Suwandi) yang merupakan mantan peragawati tahun 1990-an.

Rara sendiri bekerja sebagai manajer riset di sebuah perusahaan kosmetik. Meski mendapat perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sekitar, namun Rara mencintai pekerjaannya. Untung ada Dika (Reza Rahardian), kekasih yang mencintai Rara apa adanya. Suatu hari, muncul peluang bagi Rara untuk naik jabatan di kantor, tapi bosnya, Kelvin (Dion Wiyoko) mengharuskan Rara mengubah total penampilannya jika ia mau mengemban tanggung jawab baru itu.

Setelah menonton film ini tiga minggu yang lalu, jujur saja tidak ada niatan untuk saya membuat sebuah tulisan yang mengulas dan mengupas film ini meskipun saya dibuat menangis di dalam studio bioskop. Hingga ketika saya mendapat sebuah akun Instagram yang mengunggah keresahan perempuan yang juga menjadi pembahasan utama dalam film Imperfect bernama @dicarabicara yang menarik perhatian saya.

Di salah satu postingannya, akun itu menyebutkan:

“Di pengalaman perempuan rapih dan sopan saja tak cukup, beban untuk harus selalu cantik dan enak dilihat dijadikan beban tambahan ke perempuan.”

Yang menarik perhatian saya dari kalimat tersebut bukan hanya kesalahan penulisan kata “rapi”, melainkan juga hubungan makna kalimat itu dengan cerita dalam film Imperfect juga dengan kehidupan nyata yang benar-benar kita—sebagai manusia—alami.

Sehari-hari kita lebih sering mendengar ungkapan santai mengoreksi atau menegur penampilan perempuan agar lebih “enak dilihat”.

Kalimat tersebut seketika mengingatkan saya beberapa adegan di dalam film Imperfect. Seperti halnya ketika Debby, ibu dari tokoh utama yang kerap kali menegur agar Rara berhenti ngemil coklat, atau ketika “Inget paha, kak” terlontar.

Nah, ketika membaca beberapa postingan di akun instagram tersebut, saya makin tergelitik untuk mengangkat topik ini ke dalam sebuah tulisan. Pasalnya postingan-postingan akun tersebut membahas tentang beban seorang perempuan di masyarakat. Bahwa di masyarakat perempuan tidak boleh seperti ini dan seperti itu, perempuan harus begini dan begitu, serta beberapa ucapan seksis yang menyerang kaum perempuan, atau dengan kata lain ada stereotip yang melekat erat di dalam diri seorang perempuan.

Sementara itu, film Imperfect ini mengklaim bahwa isu di dalamnya membahas insecurity. Ernest Prakasa, selaku sutradara film yang termaktub dalam judul tulisan ini, menyampaikan sebuah pernyataan dalam sebuah video yang diunggah oleh channel YouTube Menjadi Manusia yang bunyinya:

“Film Imperfect itu isunya tentang possitive body image, tentang self acceptance.
Dulu jaman saya remaja beauty standard itu dipaksakan kepada perempuan melalui media massa (televisi, majalah) yang ditonton every once in a while (sesekali). Kalau sekarang beauty standard itu adanya di handphone, kita gak pernah lepas dari handphone. Jadi, bayangin pressure¬-nya jadi perempuan.”

Dari pernyataan di atas, secara tidak langsung Ernest mengatakan bahwa insecurity lebih sering dialami oleh perempuan.

Mengutip dari Kompasiana.com, insecurity adalah perasaan tidak aman yang biasa dirasakan tanpa disadari oleh individu yang bersangkutan. Hal ini wajar dirasakan oleh manusia karena manusia cenderung kurang bisa menyadari kelebihannya sendiri dibanding orang lain. Perasaan ini dipicu oleh rasa tidak puas dan tidak yakin oleh kapasitas diri. Perasaan ini awamnya dikenal sebagai perasaan tidak percaya diri yang berlebihan.

Salah satu artikel IDN Times juga menyebutkan ciri orang yang memiliki rasa insecure; kerap kali membanding-bandingkan dirinya dengan diri orang lain dan memandang diri sendiri lebih rendah, sehingga cenderung untuk menghindari interaksi dengan orang lain juga enggan untuk keluar dari zona nyaman. Secara tidak langsung, orang yang insecure haus akan pujian serta sulit untuk mengapresiasi kerja orang lain.

Kembali ke fakta bahwa perempuan lebih sering merasa insecure, yang kemungkinan hal ini terjadi sebab perempuan memiliki beban yang cukup berat. Bahwa masyarakat menuntut perempuan untuk selalu “enak dilihat” dan mengikuti norma yang sudah lama berjalan di masyarakat. Belum lagi ungkapan basa-basi yang kerap terlontar ketika bertemu teman lama seperti; “Gendutan yah sekarang” “Kok agak chubby-an sih?” “Kok kurusan, sakit ya?” dan sebagainya. Atau mungkin stereotip yang mengatakan “Ih berantakan banget, kayak bukan perempuan aja deh” “perempuan kok gak tau dandan” “Perempuan tuh gak perlu sekolah tinggi-tinggi, nanti laki-laki pada lari loh” dan lain-lain.

Hal-hal semacam ini yang pada akhirnya membentuk rasa tidak percaya diri bagi kaum hawa di era digital ini. Bahwa jika mereka melakukan sebuah pergerakan, sekecil apapun itu, akan selalu ada komentar yang menyoroti dan menyudutkan dirinya.

Untuk itu perempuan akan terus melihat sesosok yang dipuja oleh masyarakat dan mengusahakan dirinya agar bisa menjadi sama seperti sosok tersebut, karena jika tidak maka ia akan terus-terusan untuk dicemooh, dikucilkan, atau dihantui dengan ucapa-ucapan seksis yang tentu menyakiti perasaannya. Karena dalam kehidupan kita, seringkali penampilan lebih diutamakan daripada kemampuan.

Jika kita mengingat kembali adegan-adegan di film Imperfect, hal serupa juga dialami oleh tokoh utama, Rara, yang harus menelan ucapan atasannya “Di industri kita, otak aja gak cukup, penampilan juga penting” yang tentu itu sangat melukai hatinya, juga hati penonton film tersebut yang kebanyakan perempuan.

Dalam film Imperfect, kita disajikan bagaimana transformasi Rara yang dainggap jelek di lingkungannya menjadi Rara yang cantik. Lalu dengan kecantikannya itu pula ia harus kehilangan beberapa hal yang kemudian menyadarkannya bahwa tak perlu bersusah payah untuk diterima oleh banyak orang jika dia sendiri belum bisa menerima dirinya sendiri.

Di babak-babak terakhir film tersebut, Rara mengutarakan sebuah quote—yang bisa saja anda pajang sebagai status Facebook—berbunyi “Timbangan itu cuma nunjukin angka, bukan nilai”. Film ini kemudian mengajarkan penontonnya untuk menerima kelebihan dan kekurangan diri sendiri dan tidak perlu mengemis cinta dari masyarakat jika belum bisa mencintai diri sendiri.

Sementara itu, peran dari akun-akun semacam @dicarabicara adalah untuk mengontrol masyarakat agar setidaknya berhenti untuk melontarkan ucapan-ucapan seksis dan terus-menerus memberikan beban yang berat untuk kaum perempuan. Karena menjadi asing bagi diri sendiri itu tidak nyaman, dan diterima oleh banyak orang karena tidak menjadi diri sendiri itu menyesakkan.

Semoga bermanfaat.

Kendari, 14–15 Januari 2020Adinda Febriana Putri Pangerang_Kabanti

ADINDA FEBRIANA PUTRI PANGERANG adalah seseorang yang baru saja selesaikan statusnya sebagai siswa, aktif di Fraksi Sastra (Frasa), sebuah organisasi di bawah OSIS (ordibasis) di SMAN 4 Kendari. Bersama Muammar Qadafi Muhajir, gadis berjilbab tersebut mengikuti Akademi Remaja Kreatif Indonesia (ARKI) yang dilaksanakan Kemendikbud tahun 2018 di Jakarta, bidang penulisan syair. Adinda baru saja tamat tahun ini di SMAN 4 Kendari dan telah menempuh perkuliahan semester pertama di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo, Kendari. Adinda, sejak 2018 menjadi relawan di Pustaka Kabanti Kendari. Tulisannya sudah tersiar di berbagai kanal media sosial yang dikelola Pustaka Kabanti.

#PustakaKabantiKendari
#MariMenulisAyoMembaca
#JurnalismeKomunitas
#GerakanLiterasi
#MenulisPuisi
#KomunitasPenulis
#LiterasiYaMenulis
#LiterasiFilm