Oleh: Rahmat Adianto

Tumirah: “Aku bukanlah ahli sejarah, tapi aku setuju sekama manusia lahir dengan alat kelaminm pelacur akan tetap ada” satu dialog yang menggemparkan Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo, dari pamflet yang tersebar di media sosial.

Seminggu sebelum pentas, status-status Whatsapp sudah ramai dengan postingan pamflet yang dibuat oleh Indah Permatasari.

Selain itu, Facebook dan Instagram diwarnai pula dengan berbagai like dan komentar sebagai bentuk antusiasme dan semangat menyaksikan pertunjukan.

Padahal berbagai masalah yang menghambat selama proses persiapan pertunjukan drama “Tumirah Sang Mucikari” ini. Mulai dari proses latihan, silih bergantinya aktor-aktris yang bergantian hadir, sehingga setiap latihan penerangan yang tidak pernah lengkap. Penentuan waktu pertunjukan awalnya direncanakan minggu kedua bulan Desember, ternyata tidak sesuai dengan perencanaan.

Selain itu, pemilihan lokasi pentas, yang seharusnya bertempat di Gedung Kesenian Taman Buyada Sulawesi Tenggara, berganti mulai dari Taman Walikota, hingga Auditorium Mokodomit, Universitas Halu Oleo yang ternyata telah dipadati kegiatan saat itu.

Kemudian pihak panitia coba melobi gedung teater yang baru saja jadi menjelang akhir Desember lalu, ternyata belum mendapat izin pula.

Hari-hari selanjutnya diwarnai oleh masalah yang terus berdatangan; susana semakin menegangkan, patah samangat, perdebatan antarapanitia, hingga pertentangan antarpanitia, dan dosen pengampu.

Saat itu, kru dan para pemeran benar-benar kehilangan arah, ibarat nakhoda tanpa bintang di langit karena mendung, ditambah kompas tidak berfungsi sama sekali. Semua pasrah pada kegagalan tanpa menyentuh panggung.

Tiga hari sebelum pentas, kru dan pemeran diarahkan untuk menata panggung, menyiapkan properti, membuat surat undangan, serta latihan secara total.

Rasa-rasanya persiapan sesempit itu tidak memungkinkan untuk sampai pada ketotalan pemain dan kepuasan penonton. Hanya karena sudah tidak ada alternatif, sehingga mau atau tidak harus dilakukan kerena pertunjukan itu adalah ujian akhir mata kuliah.

Kru mulai bekerja, mulai dari menata panggung, pemasangan kain latar hitam, pembuatan pondok properti, alang-alang, pagar, kostum pemeran, dan berbagai kebuatuhan lainnya.

Tiga hari menjadi hari yang panjang dengan berbagai persiapan.

Selain itu, para pemeran dihujiani juga dengan komentar yang pedas dari dosen pengampu ketika ada adengan-adengan yang mengganjal. Tetapi waktu semakin sempit, mereka harus bisa bertahan karena tinggal selangkah lagi akan tiba di puncak perjuangan.

Hari terakhir geladi masih juga sama seperti hari-hari sebelumnya, komentar masih pedas.

Tiba di hari H, tepat 3 Januari 2020. Sudah tidak ada latihan. Pembuatan properti juga telah final.

Para pemeran sedang persiapan akhir. Mulai pamakain make up sampai memakai kostum sesuai karakter yang dilakoni. Sementara bebepara kru yang bertugas menangani latar, memilih tidur, hingga saat bangun setidaknya mereka sedikit kekurangan beban.

Malam menjelang waktu pentas, banyak orang yang berdatangan. Mobil dan motor terparkir mengelilingi gedung Fakultas Ilmu Budaya. Orang-orang yang hadir dari berbagai fakultas, komunitas, bahkan kemungkinan ada pula penonton dari luar universitas yang melihat pamlet yang tersebar di beberapa portal berita Sulawesi Tenggara.

Ketika penoton dipersilakan masuk dalam gedung, tangga dipenuhi kerumuan orang-orang yang bertengger masuk ke dalam gedung.

Satu menit setelah orang-orang masuk, ternyata di dalam gedung telah dipenuhi penonton.

Sementara di luar masih banyak yang mengantri untuk masuk ke dalam. Akan tetapi, kapasitas gedung tidak memungkinkan memuat semua penonton.

Pentas pun dimulai, penonton yang tidak mendapat tempat, naik ke bukit samping gedung menyaksikan pertunjukan dari arah bukit itu.

Lakon “Tumirah Sang Mucikari” yang disutradarai Agunansar Wahid, dipelotiti ratusan pasang mata, malam itu. Karya sastrawan Seno Gumira Ajidarma tersebut mendapat pemaknaan dari para penikmat teater dari awal sampai akhir pentas.

Selama pertunjukan berlangsung, adegan per adegan diwarnai dengan gelak tawa dan diakhiri dengan meriahnya tepuk tangan.

Usai pentas drama “Tumirah Sang Mucikari”, penonton belum ingin beranjak dari tempat duduknya. Mungkin mereka masih berharap ada pertunjukan selanjutnya.

Karena penonton belum beranjak, maka diundanglah Raim La Ode untuk tampil stand up di panggung. Ada satu kalimat Raim yang menarik “Selama ini saya mencari sponsor rokok, rokok membunuhmu, tapi sampai sekarang saya belum mati. Maka ke depan saya ingin mengadangan pertunjukan stand up besar-besaran.

Setelah Raim, pertunjukan ditutup dengan penampilan Wa Ode Nur Iman dengan sebuah puisi. “Nabalamo, namandemom” sepenggal kata puisi yang bertema tentang ajaran leluhur beberapa tahun yang lalu, ketika orang tua masih khusyuk mendongeng dan mengantar tidur dengan lagu daerah dan anak larut dalam imajinasi hingga tertidur pulas.

Kendari, 6 Januari 2020Rahmat Adianto Foto Baru

RAHMAT ADIANTO lahir di Desa Lawela, Batauga, Buton Selatan. Ia kini sebagai mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo. Tahun 2014 dua judul puisinya termuat dalam antologi bersama “Merindu Mentari di Bumi Anoa” terbitan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Ia juga aktif sebagai anggota Sanggar Seni Fantastik Butuni sejak 2014 sampai sekarang. Mahasiswa berkulit sawo cukup matang ini, menjelang semester akhir dan sedang mengembangkan Channel YouTobe (Rahmat Adianto) yang berisi tentang kebudayaan, sastra, dan seni. Saat ini ia juga menjadi relawan-anggota Pustaka Kabanti Kendari.