Ocehan Sunlie Thomas Alexander

PADA hari-hari ini, setelah hampir 72 tahun kematiannya, Chairil Anwar penyair terbesar Indonesia itu, telah difitnah dan dipermalukan dengan puisi-puisian cinta ala alay milenial karya seorang blogger bernama Ali Ridho (catat, bukan Ari Ridho, jangan salah kutip melulu). Dimana puisi-puisian itu, terutama puisi yang berjudul “Cinta dan Benci”, telah dianggap sebagai salah satu puisi karya Chairil!

Tentu saja saya tidak tahu siapa si Ali Ridho ini dan saya kira saya juga tak perlu repot-repot mencari tahu siapa dirinya. Tetapi yang jelas dalam blog pribadinya itu, “puisicinta-permaisuri.blogspot.com”, ia telah mempublikasikan tujuh buah puisi di bawah judul “Kumpulan Puisi Cinta Karya Chairil Anwar”. Selain puisi “Cinta dan Benci”, keenam puisi lain dengan kualitas maupun judul tak kalah menggelikan yang dapat kita temukan di sana adalah “Tentara Mandiri”, “Pelangi Warna-Warni”, “Panggilan Hatiku”, “Terjebak”, “Belum Jodoh”, dan “Perampok Jiwa”.

Saya tidak tahu apa motif Ali Ridho ini mempublikasikan puisi-puisian karyanya sendiri itu di bawah judul “Kumpulan Puisi Cinta Karya Chairil Anwar”. Apakah sekadar ingin menarik perhatian agar puisi-puisiannya itu dibaca orang atau ada maksud lain? Namun demikian, toh dalam postingan bertitimangsa Jumat, 11 Juli 2014 tersebut, di bagian atas puisi-puisinya itu ia juga menyatakan dengan cukup terang bahwa puisi-puisian itu memang bukan karya Chairil, melainkan karyanya sendiri. Tulisnya:

“Betul, Chairil Anwar memiliki beberapa puisi cinta. Dan tentunya kalian semua banyak yang sudah mengetahuinya. Di sini, saya tidak bermaksud mempersembahkan karya Chairil Anwar si penyair terkenal tersebut. Karena, itu melanggar hak cipta. Jadi, saya membuat sendiri puisi cinta ini.

Meskipun demikian, kumpulan puisi cinta karya saya ini terinspirasi dari puisi-puisi Chairil Anwar. Selamat menikmati. Maaf, bagi yang merasa tertipu.”

Saya rasa kita tak perlu sampai berpusing-pusing untuk menganalisa dari sisi mana puisi-puisian itu bisa dikatakan terinspirasi oleh puisi-puisi cinta Chairil. Itu hanya racauan bocah alay yang mencari sensasi saja. Saya yakin seorang mahasiswa sastra semester satu yang kuliahnya sedikit beres saja tidaklah bakal tertipu bahwa itu adalah puisi-puisi Chairil, baik dilihat dari kualitasnya secara utuh, gaya ungkap, pilihan diksi, bahasa jaman, maupun cuma dari judulnya doang!

Apalagi jumlah puisi karya Chairil Anwar si anak Medan itu seyogianya memang tidaklah cukup banyak ketika ia meninggal pada usia 27 tahun. Dalam pengantar cetakan ketiga bukunya Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 terbitan PT Gunung Agung (cetakan keempat 1978), H.B. Jassin menulis: “Dengan demikian maka sebagai ralat dapatlah dicatat, bahwa Chairil telah menulis 72 sajak asli (1 dalam bahasa Belanda), 2 sajak saduran, 11 sajak terjemahan, 7 prosa asli (1 dalam bahasa Belanda) dan 4 prosa terjemahan, sama sekali jadi 96 tulisan.” (Lihat Pada Cetakan Ketiga, 20 Mei 1967)

Tapi kok ya tetap saja banyak yang tertipu? Nah, inilah persoalan yang cenderung membuat kontol karakter-karakter pria dalam cerita stensilan Enny Arrow gagal ngaceng itu!

Okelah, jika Anda yang tertipu itu cuma orang yang sama sekali tidak mengerti puisi, tidak punya ketertarikan pada puisi dan tidak punya kepentingan terhadap puisi, hal ini masih bisa dimaklumi. Namun masalahnya di sini Anda-anda yang tertipu (dan mengaku tertipu) itu adalah seorang sutradara film yang akan membawa karya filmnya ke festival film puisi internasional, seorang magister ilmu sastra Universitas Andalas, seorang wartawan surat kabar nasional sekaliber Kompas, dan pegawai-pegawai Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa—sebuah lembaga negara yang notabene mengurusi bahasa dan sastra!

Hei, kami kan sudah meminta maaf kepada publik sastra Indonesia dan menyadari kekeliruan bin keteledoran kami? Barangkali dua dari Anda-anda akan menjawab demikian.

Baik, meminta maaf dan menyadari kesalahan itu hal yang bagus. Namun toh bukan berarti persoalan selesai begitu saja kendati scene film puisi Binatang Jalang (Under Banner Production & Federasi Pekerja Seni Indonesia) yang menampilkan puisi-puisian “Cinta dan Benci” itu konon akan dipotong dan tulisan Listi Mora Rangkuti berjudul “Analisis Filsafat Sastra Terhadap Puisi “Cinta dan Benci” Karya Chairil Anwar” yang sebelumnya diterbitkan oleh Riausastra.com (26 Desember 2019) telah diralat dan dihapus. Sebab kesalahan yang sudah terjadi itu tetaplah merupakan suatu perkara gawat apabila dikaitkan dengan kapasitas Anda-anda sebagai seorang sutradara dan magister ilmu sastra. Dalam hal ini kita belum bicara soal pengaruh buruknya terhadap kesastraan Indonesia ataupun efeknya terhadap dunia pendidikan ya?

Kalau seorang sutradara dari sebuah film puisi yang akan dibawa ke festival internasional dan seorang magister ilmu sastra saja bisa tertipu (atau merasa tertipu) mentah-mentah, lantas bagaimana halnya dengan nasib para pelajar dan mereka yang mulai tertarik untuk belajar sastra kalau begini kondisinya?
***

DALAM komentar tanggapannya yang ditujukan kepada Eka Kurniawan di salah satu unggahan status Facebook saya, Listi Mora Rangkuti si Magister Ilmu Sastra dari Universitas Andalas itu menjawab begini (saya kutip tanpa mengubah apapun):

“Salam kenal mas Eka.. Puisi ini saya ambil di internet untuk tugas kuliah. Satu kesilafan ketika tidak mencantumkan sumber aslinya dimana puisi ini saya peroleh. Terima kasih atas koreksinya Mas. Saat itu masih penulis amatiran dan tahap belajar ☺ Ke depan akan lebih teliti dan berhati2 lagi dengan tidak mudah percaya mengambil apapun yang ada di internet..

Eh iya, itu karya siapa Mas? Agar judul tulisan saya itu saya ganti nama khairil anwar dengan nama pengarang aslinya. Trims..”

Enteng sekali bukan jawaban yang diberikan oleh Listi Mora Rangkuti ini? Seolah-olah kesalahan yang telah ia lakukan (baca: tertipu) tersebut merupakan suatu perkara remeh-temeh yang lumrah dan wajar, yang bisa dilakukan oleh siapapun “penulis amatiran [dalam] tahap belajar”. Padahal dalam biodatanya yang tercantum di bawah tulisannya di Riausastra.com jelas-jelas tertulis bahwa ia “Menyelesaikan pendidikan di Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara/Magister Ilmu Sastra Universitas Andalas”. Apalagi—mengutip komentar Hary B. Koriun—Listi ini syahdan juga seorang guru (Bahasa dan Sastra Indonesia?) di Riau.

Pertanyaan kita: Bagaimana bisa seorang magister ilmu sastra sampai melakukan “kekhilafan” demikian? Bagaimana bisa seorang yang telah mempelajari sastra sejak strata satu hingga memperoleh gelar magister ilmu sastra tidak mengetahui tentang puisi-puisi Chairil Anwar dan tidak mampu membedakan kualitas serta stilistika puisi-puisi Chairil dengan puisi-puisian ala alay milenial sehingga memutuskan untuk menganalisa puisi “Cinta dan Benci” itu sebagai tugas kuliah lalu menerbitkan analisanya tersebut di web? Memangnya apa yang telah ia pelajari di kampus sejak S1??? Lagi pula siapa yang menanyakan apakah sebagai magister ilmu sastra, ia juga tergolong penulis amatiran atau profesional?

Saya rasa kita tidak perlu tahu berapa nilai yang diperoleh si Listi dari tugas kuliahnya yang mengambil bahan kajian secara asal-asalan dari internet tanpa mencantumkan sumber rujukan tersebut. Namun yang sedikit menganggu pikiran saya di sini adalah “Apakah dosennya yang memberi tugas juga ikut-ikutan tertipu dan menganggap puisi yang ia analisa itu memang karya Chairil Anwar—seperti halnya wartawan Kompas bernama Nawa Tunggal yang ikut tertipu ketika menulis ulasannya (“Memfilmkan Puisi Chairil Anwar”) atas film Binatang Jalang karya Exan Zen di rubrik Hiburan/Seni Kompas Minggu (24 Januari 2021)?

Ini tugas akademik lho? Atau, dunia pendidikan di Indonesia memang sudah sedemikian parah kerusakannya seperti yang dikeluhkan oleh Saut Situmorang?

Siapa yang bisa menjamin jika “kesalahan tertipu” ini tidak terus berlanjut pada hari-hari ke depan, bahkan dalam kasus yang lebih parah meski si Ali Ridho telah dengan terang mengatakan itu adalah puisinya sendiri bukan puisi Chairil?
***

NAMUN Listi rupanya memang tidak sendirian dalam hal melakukan “klarifikasi membela diri” begini. Exan Zen, sang sutradara film puisi Binatang Jalang, nyatanya juga memberikan “klarifikasi mengandung permintaan maaf” yang seakan-akan hendak menyatakan bahwa kesalahan fatal yang ia lakukan dengan mengangkat puisi “Cinta dan Benci” karya Ali Ridho sebagai karya Chairil bukanlah sepenuhnya merupakan kesalahan dirinya.

Mari kita perhatikan kutipan bunyi klarifikasi Exan yang ia sampaikan dalam bentuk lima poin di akun Facebook-nya (27 Januari 2021) berikut ini:

“Dari mana saya mendapatkan puisi Cinta dan Benci sebagai karya Chairil Anwar…? Seperti saat saya menjawab salah seorang penanya di medsos dengan memberikan link internet, sudah pasti sumbernya dari Google. Beberapa sumber tersebut antara lain: Gasbanter Journal, yang memberitakan soal “penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh putrinya, Evawani Elissa Chairil Anwar” menuliskan kumpulan puisi karya Chairil Anwar paling populer dan menginspirasi, pada daftar urutan nomer 12 berjudul Cinta dan Benci, diapit oleh puisi Cintaku Jauh di Pulau di nomer 11 dan Sajak Putih di nomer 13. Terkait ramainya kiriman link ke medsos dan GWA dengan blog Puisi Cinta Romantis Karya Khalil Gibran berjudul “Kumpulan Puisi Cinta Karya Chairil Anwar” dimana penulis blog tersebut menuliskan […]”

“[…] Melihat tulisan di blog tersebut ditulis pada hari Jumat 11 Juli 2014, dan mengingat DKB Award untuk Chairil Anwar itu tahun 2007, selisih waktunya cukup jauh, yaitu 7 tahun lebih dulu DKB Award, saya menangkap kesan bahwa puisi Cinta dan Benci itulah yang mengilhami si penulis blog untuk menulis puisi cinta dari judul Tentara Jiwa sampai Perampok Jiwa. Tapi bisa saja kesan yang saya tangkap ini adalah keliru karena puisi tersebut kini menjadi masalah yang cukup besar.”

Lalu pada poin Kelima sebagai penutup, ia menulis yang antara lain berbunyi: “Apapun isi, maksud dan tujuan dari semua polemik yang terjadi, saya menganggap sebagai perhatian, sebagai masukan yang baik dan apresiatif.”

Pertanyaan-pertanyaan saya di sini adalah:

Pertama, bagaimana Exan Zen bisa menarik kesimpulan bahwa Gasbanter Journal (gasbanter.com) lewat tulisan berjudul “27 Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar yang Menginspirasi” memang telah terlebih dulu menerbitkan puisi “Cinta dan Benci” daripada penerbitan puisi itu oleh Ali Ridho di “puisicinta-permaisuri.blogspot.com” (Jumat 11 Juli 2014), padahal tulisan di Gasbanter Journal itu tidak mencantumkan tanggal pengunggahannya sama sekali (meskipun di bagian bawah tulisan tersebut tercantum jelas: “©2019 / Gasbanter Journal”?

Lagipula, apakah tulisan di Gasbanter Journal berjudul “27 Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar yang Menginspirasi” itu memang merupakan sebuah tulisan yang memberitakan soal “penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh putrinya, Evawani Elissa Chairil Anwar” (serta diterbitkan pada tahun itu juga [2007]) seperti dibilang si Exan? Atau, tulisan tersebut adalah tulisan di kemudian hari (2019?) yang HANYA menyebutkan bahwa Chairil Anwar pernah menerima Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award pada tahun 2007 sebagai salah satu dari sekian banyak contoh upaya untuk menghormati dirinya dan karya-karyanya?

Coba perhatikan kutipanku dari Gasbanter Journal (https://gasbanter.com/kumpulan-puisi-karya-chairil-anwar/) yang dimaksud oleh si sutradara di bawah ini:

“Pukul setengah tiga sore, 28 April 1949, Chairil Anwar meninggal di usia muda akibat mengidap sejumlah penyakit. Untuk mengenang karya-karyanya, hari kematiannya diperingati sebagai Hari Chairil Anwar.

Meski telah lama berpulang, pada Juni 2007 ia masih dianugerahi penghargaan Dewan Kesenian Bogor (DKB) Award 2007 untuk kategori seniman sastra yang diterima oleh puterinya, Evawani Elissa Chairil Anwar.”

Lah, kok bisa-bisanya Exan Zen menulis “Melihat tulisan di blog tersebut (puisicinta-permaisuri.blogspot.com milik Ali Ridho) ditulis pada hari Jumat 11 Juli 2014, dan mengingat DKB Award untuk Chairil Anwar itu tahun 2007, selisih waktunya cukup jauh, yaitu 7 tahun lebih dulu DKB Award, saya menangkap kesan bahwa puisi Cinta dan Benci itulah yang mengilhami si penulis blog untuk menulis puisi cinta dari judul Tentara Jiwa sampai Perampok Jiwa”??? Memangnya bagian mana dari tulisan di Gasbanter Journal yang menyebutkan bahwa tulisan mereka itu diterbitkan pada tahun 2007? Kemudian apakah pada tulisan itu ada dikatakan bahwa “dalam acara/berita penghargaan DKB Award 2007 untuk Chairil yang diterima oleh puterinya, puisi “Cinta dan Benci” disebut-sebut sebagai salah satu karya Chairil Anwar”???

Jika tidak, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana Exan Zen bisa sampai “menangkap kesan” dari tulisan di atas “bahwa puisi Cinta dan Benci (dalam Gasbanter Journal) itulah yang mengilhami si penulis blog (maksudnya Ali Ridho) untuk menulis puisi cinta dari judul Tentara Jiwa sampai Perampok Jiwa”? Yang mana dalam hal ini secara tidak langsung berarti ia juga mencurigai bahwa puisi “Cinta dan Benci” yang dinyatakan oleh Ali Ridho sebagai karyanya sendiri (bukan karya Chairil) itu bukanlah karya Ali tetapi diambil Ali dari Gasbanter Journal dan kemudian diakui oleh Ali sebagai karyanya sendiri. Atau, setidaknya Exan cuma “menangkap kesan” bahwa keberadaan puisi Cinta dan Benci dalam daftar 27 puisi Chairil di Gasbanter Journal telah mengilhami Ali Ridho untuk menulis puisi “Cinta dan Benci” versi Ali sendiri dengan teks yang sama persis? Artinya (lagi) di sini, Ali Ridho itu—kesan si Exan dalam klarifikasinya—telah memplagiat salah satu dari 27 puisi Chairil Anwar yang didaftarkan oleh Gasbanter Journal, yakni puisi “Cinta dan Benci”!

Masya Allah, cara berkelit (dan menulis) si sutradara ini nampaknya sudah benar-benar macam benang kusut yang kontra logika berpikir dan berbahasa!

Lagian, seperti yang dipertanyakan oleh Denai Sangdenai, apakah Gasbanter Journal itu memang sebuah jurnal yang serius sehingga bisa dijadikan sebagai rujukan (referensi) untuk membuat sebuah film puisi yang akan dibawa ke festival film puisi internasional? Atau, itu hanyalah jurnal abal-abal alias web yang menamakan diri sebagai jurnal (silakan kawan-kawan mengecek isinya sendiri ya?)?

“Kok kesannya dengan menyebut-nyebut journal gitu, dia seolah-olah telah melakukan riset?” demikian tanya Denai dalam percakapan WA dengan saya semalam.

Gasbanter Journal itu siapa ya pengelolanya? Ketika aku kunjungi web journal itu, gak disebutkan satu pun nama pengelolanya. Setahuku, sebuah journal yang kredibel pasti mencantumkan pengelolanya,” tulis Denai lagi dalam komentarnya di sebuah postingan Facebook Rukmi Wisnu Wardani.

“Polemik”??? Ngerti nggak si Exan ini apa itu “polemik”? Orang marah atas kesalahan fatalnya kok dianggap sebagai “polemik”?

Ya, betullah kata Saut dalam komentarnya dalam postingan Rukmi yang sama, bahwa: “Kek kata Nuruddin Asyhadie di atas, sangat nampak cuci tangannya dari tanggung jawab publik terutama publik Sastra Indonesia soal klaim idiotnya atas sampah sebagai puisi Chairil Anwar itu dengan menyebut-nyebut nama anak Chairil, penghargaan Dewan Kesenian Bogor dll. Padahal semuanya itu justru cumak menunjukkan betapa awamnya dia tentang Chairil Anwar tapi belagak udah tau walo cumak dengan modal googling!”

Mengerikan? Bagi saya jelas mengerikan dan menggelikan. Ternyata sebuah tugas akademik dan kerja kesenian seperti pembuatan film di Indonesia hanya cukup membutuhkan dan mengandalkan referensi (dan riset) dari postingan-postingan tidak jelas di internet, padahal buku-buku puisi Chairil Anwar begitu banyak tersedia di toko buku, lapak online, dan perpustakaan!

Lalu, kapankah Kompas.com dengan wartawannya yang bernama Jawahir Gustav Rizal itu, yang telah dua kali menurunkan berita tentang kasus ini mau mengulas tulisan rekannya Nawa Tunggal di Kompas Minggu lalu yang ikut “tertipu mentah-mentah”? Atau, Kompas tidak merasa bahwa wartawannya juga turut melakukan kesalahan dengan keawamannya akan keaslian puisi Chairil? Marilah kita perhatikan sedikit tulisan di Kompas Minggu (24 Januari 2021) yang berjudul “Memfilmkan Puisi Chairil Anwar” itu:

“Tokoh laki-laki itu diperankan Lucky L. Moniaga. Tokoh ini kemudian memulai babak dengan ungkapan bait-bait pembuka puisi Chairil yang berjudul “Cinta dan Benci”.

Aku tidak pernah mengerti//banyak orang menghembuskan cinta dan benci//dalam satu napas.
Tapi sekarang aku tahu//bahwa cinta dan benci adalah saudara//yang membodohi kita, memisahkan kita.

Ia berhenti sejenak. Kemudian dilanjutkan kata-kata puisi berikutnya oleh seorang tokoh perempuan. Tokoh ini diperankan Tengku Marina.

Sekarang aku tahu bahwa//cinta harus siap merasakan sakit//cinta harus siap untuk kehilangan//cinta harus siap untuk terluka…. Dan, seterusnya.

Kedua tokoh berdialog dengan kata-kata puisi Chairil diikuti ekspresi gerak tubuh. Mereka tak ubahnya kedua penari sebelumnya. Mereka menari di satu ruang yang dibatasi dinding-dinding penuh mural.”

Lalu, bagaimana pula halnya dengan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang juga sempat ikut mempublikasikan puisi “Cinta dan Benci” ini sebagai karya Chairil Anwar di akun Facebook resminya? Apakah cukup hanya dengan menghapus postingan tersebut?

Hm, sebagai penutup dari ocehan ini, saya ingin mengutip Saut sekali lagi: “Betapa parahnya pelecehan Sastra di Indon!!!”[]

SEDIKIT RALAT:
Puisi palsu Chairil Anwar yang sempat diposting oleh Facebook resmi Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa tetapi kemudian dihapus bukan puisi “Cinta dan Benci” tetapi sebuah puisi yang berjudul “Ibu”.

“Terima kasih untuk RALAT-nya di kolom komentar, Ahda Imran. Aku lupa puisi palsu CA yang mana di Badan Bahasa itu karena tidak bisa ngecek lagi saat nulis ini sebab sudah mereka hilangkan. Tapi kukira intinya sama: Ngawur tak bertanggungjawab.”

Catatan:
Esai tersebut pertama kali dimuat di Facebook Sunlie Thomas Alexander pada Sabtu, 30 Januari 2021. Pemuatan di Blog Pustaka Kabanti atas seizin penulisnya.