Oleh: Adinda Febriana Putri Pangerang

Kemarin (Rabu, 23 Agustus 2023), saya bertemu Minke (entah bagaimana penulisannya; Minke atau Mingke). Bukan Minke di Bumi Manusia. Saya lupa nama aslinya. Satu hal yang pasti adalah Minke yang ini bukan dari Jawa melainkan Sulawesi totok, Baubau. Acara Pesta Literasi Sultra (Pelita) kemarin mendatangkan banyak orang dari berbagai daerah di Indonesia, termasuk Minke. Ia jauh dari Baubau untuk ikut lomba baca puisi dan ikut dalam sesi diskusi selama Pelita.

Rabu pagi, hari ke-2 Pelita, saya datang cukup awal ketimbang hari sebelumnya. Setidaknya 30 menit sebelum pukul 9 saya sudah ada di KBST. Begitu keluar dari area parkir, saya langsung menuju ke halaman depan. Di sini saya berpapasan dengan Minke. Senyum sebagai tanda keramahan, utamanya kepada tamu, saya sajikan. Ternyata senyum itu justru memantik perkenalan.

“MC kemarin, ya?”
“Iya. Eh.. moderator.”
“Minke,” katanya lalu kami berjabatan setelah saya sebutkan nama terlebih dahulu.
“Oh, Bumi Manusia?”
“Oh, bukan, bukan,” katanya.
“Kenapa, ya. Orang-orang bahas itu (Bumi Manusia)?” ucapnya keberatan.

Saya hanya tertawa canggung, sekalipun dalam hati saya menimpali orang-orang juga selalu menyanyi Dinda jangan marah-marah tiap berkenalan dengan saya. Sambil Minke berbicara, saya sempat menyalahkan diri sendiri. Saya tahu rasanya tidak menyenangkan ketika identitas kita dikait-kaitkan dengan hal lain. Lantas, dalam perkenalan ini saya juga turut mengaitkan identitas Minke dengan karakter buku. Padahal saya mengerti bahwa itu tidak nyaman. Saya pribadi merasa seperti tidak ada orisinalitas diri ketika identitas saya dikaitkan dengan identitas orang lain. Tapi, toh memang nama kita memiliki kesamaan dengan setidaknya satu-dua orang asing, yang sayangnya, auranya lebih dominan atau mungkin sekadar lebih popular ketimbang saya, kan?

Dalam perjumpaan singkat bersama Minke kemarin, kami membicarakan beberapa hal. Minke mengawali dengan pertanyaan “Duta Bahasa itu tugasnya apa, sih?” Saya menjawab sekenanya; pemilihan di daerah dilakukan untuk mengirimkan perwakilan ke nasional sekaligus mitra binaan KBST. Tapi kami, Duta Bahasa, bekerja tidak sekadar formalitas melainkan sebagai bentuk tanggung jawab atas kemajuan literasi di daerah. Sebagai bentuk tanggung jawab itu, kami mengadakan banyak program mandiri salah satunya Literasi RSJ. Minke terkesan dengan program ini.

“Berarti kamu psikolog?”
“Oh, bukan. Tapi kami didampingi psikolog untuk pelaksanaan Literasi RSJ.”
“Tapi kamu paham psikologi?”
“Tidak juga. Saya hanya pernah membaca sedikit terkait psikologi.”
“Kuliahnya jurusan apa?”
“Antropologi.”
“Cukup bersinggungan juga. Berarti sudah biasa dong interaksi sama banyak orang.”

Ah, Minke, andai kamu tahu kalau semakin saya belajar antropologi saya justru semakin sadar bahwa banyak sekali hal yang tidak saya ketahui. Sebagai manusia juga kita memang harus berinteraksi untuk dapat bertahan hidup, kan?

Saya bertemu banyak orang dengan latar belakang pengetahuan yang berbeda-beda. Sebagai calon sarjana antropologi, saya terlatih untuk tidak menghakimi pemahaman yang dipercaya oleh orang lain sekalipun itu bertentangan dengan apa yang saya percayai. Saya juga terlatih untuk terus penasaran, karena informasi yang disampaikan oleh orang-orang—apa pun latar belakangnya—bisa jadi pengetahuan akademis bagi saya sehingga harus saya gali lebih dalam (metode etnografi menyebutnya wawancara mendalam). Sebagian orang mengatakan saya seorang pendengar yang baik karena mampu memancing orang berbicara lebih banyak. Karenanya, saya lebih baik menjadi moderator diskusi yang terus bertanya dan memantik orang berbicara untuk akhirnya menarik kesimpulan ketimbang menjadi MC yang harus banyak bicara untuk membangun suasana. Ada batasan yang tipis tapi cukup tegas antara keduanya.

Minke tertarik dengan program Literasi RSJ dan latar belakang saya karena rupanya ia membutuhkan konselor, psikolog, atau siapa pun tenaga profesional yang dapat membantu terapi kakak beradik korban kekerasan seksual di Baubau. Kasus ini terungkap akhir tahun lalu. Dari Minke saya tahu bahwa kedua korban sulit sembuh dari traumanya dan membutuhkan tenaga ahli untuk pemulihan. Minke mengaku skeptis terhadap teman-teman di duta atau mitra binaan instansi-instansi pemerintahan karena punya pengalaman tidak enak oleh awardee beasiswa binaan salah satu instansi ketika menawarkan kerja sama menyelesaikan kasus ini.

“Itu bukan tugas kami,” begitu Minke mengulang pernyataan temannya. Ia keberatan. Menurutnya, anak muda yang dekat bahkan dibiayai instansi harusnya melakukan aksi yang lebih masif untuk turun memberikan solusi bagi masalah di masyarakat. Saya tersentil. Benar juga apa yang dikatakannya. Kadang kita mengadakan kegiatan amal buat apa, sih? Apakah benar-benar untuk mengatasi masalah? Atau hanya sekadar makanan untuk ego diri sendiri; bahwa kita telah meluangkan waktu, menumpahkan keringat, dan mengeluarkan uang untuk berbuat baik hari ini? Tapi, Minke, sulit untuk membantu menangani kasus ini karena kami berada di Kendari. Tenaga-tenaga profesional yang bisa kami capai juga ada di Kendari. Menjangkau Baubau butuh banyak persiapan. Rehabilitasi untuk korban juga tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Berat hati saya juga ucapkan bahwa urusan kami tidak berkenaan dengan kasus ini, bahwa ada instansi lain yang lebih berwenang bahkan mungkin memang memiliki anggaran dan fasilitas khusus untuk pemulihan korban pelecehan seksual. Begitulah cara kerjanya, Minke. Namun, kalau tulisan ini akan saya usahakan untuk dipublikasikan. Semoga para pembaca yag budiman tergerak untuk membantu, setidaknya menyampaikan hal ini kepada instansi yang memang bertanggung jawab. Tautan kronologi kasus ini saya sertakan berikut ini:
https://projectmultatuli.org/dua-putri-saya-dicabuli-saya-lapor-ke-polres-baubau-polisi-malah-tangkap-anak-sulung-saya/

Kepada Minke, saya belum sempat mengatakan, bahwa ceritamu ini saya sampaikan kepada beberapa teman yang saya harap dapat membuka jalan bagi penyelesaian kasus ini.

Selanjutnya, Minke menanyakan beberapa hal terkait tuntutan menjadi seorang perempuan. Saya mengeluh. Kok seberapa pun prestasi kami, cantik adalah poin utama yang dinilai.
Kalau nyatanya ada perempuan yang cerdas, penilaiannya menjadi “Sudah cantik, pintar lagi”. Kalau ada yang galak, maka “Cantik-cantik kok galak?” Komentar Minke di luar dugaan saya. Ia nyeletuk “Duh, jahat sekali, ya, kami laki-laki.”

Saya menimpali “Tidak juga. Ada, loh, perempuan yang mengamini hal-hal itu. Standarnya juga dibangun oleh sesama perempuan, kok.”

“Kamu diuntungkan, tidak, sama penampilanmu?”
“Iya, beberapa kali,” saya mencoba mengingat-ingat.
“Artinya kamu juga mengamini hal itu?” Pukulan telak lagi-lagi dari Minke.

Ya, bisa dibilang saya mengamini atau memberi makan pada beauty privilege di masyarakat karena saya berdandan. Lantas, apakah saya benar-benar menggunakan penampilan saya untuk mendapatkan banyak keuntungan? Apakah saya juga harus menyalahkan diri karena terlahir cantik? He-he-he. Saya lupa pasti apa yang saya ucapkan ketika berdalih dari tudingan tersebut. Tapi, dengan berada di dunia per-duta-an, saya memang mulai memperhatikan penampilan. Intensitas tampil di depan khalayak yang lebih sering merupakan alasan yang selama ini saya katakan kepada orang-orang ketika ditanya “kenapa berdandan?” Bukankah penampilan yang proper, rapi, bersih, merupakan bagian dari kesopanan atau respect kepada orang yang akan kita temui? Atau ini juga dianggap sebagai sebuah konstruksi toksik yang dibuat masyarakat? Bukankah kesan pertama yang paling membekas justru adalah penampilan? Penampilan yang baik juga bisa mem-booster kepercayaan diri, hal ini harus saya akui.

Teruntuk Minke—jika kamu membaca tulisan ini—dan para pembaca yang budiman, saya pernah mengalami situasi disepelekan (baca: direndahkan) bahkan ketika sudah bersolek. Atau mungkin justru karena saya bersolek maka saya diperlakukan demikian? Biar kalian yang menilai. Saya pernah menjabat sebagai ketua lembaga di kampus. Suatu waktu kami mengadakan kegiatan di salah satu warkop. Saya sangat yakin akan banyak senior dan alumni yang hadir, untuk itu saya sengaja bersolek. Gincu, bedak, maskara saya gunakan. Tunik dengan hiasan ikat pinggang yang manis saya pakai ditambah dengan sepatu teplek untuk melengkapi. Jarang ada ketua lembaga kampus yang akan seniat itu untuk bersolek. Seperti biasa, saya duduk bersama senior dan alumni hingga larut. Pembahasannya beragam. Seorang alumni menegur halus, “Ada pale mahasiswa antro yang cantik begini, Dinda”. Ungkapan ini sampai sekarang saya anggap pujian. Berselang beberapa waktu, seorang senior lain nyeletuk kepada ketua sebelum saya, “Kamu harus basis ulang kadermu ini.” Rupanya ia terganggu dengan penampilan “cantik” saya. Perempuan pesolek kerjanya hanya berdandan, tidak cocok memimpin. Kurang lebih itu yang saya tangkap dari kalimat berikutnya yang ia lontarkan. Minke, apakah memang harga diri lelaki terluka jika dipimpin oleh seorang perempuan bergincu? Salahkah juga saya belajar dengan giat di bidang akademik sekaligus belajar merias wajah? Katakan kalau ini hanya terjadi di kampus saya. Lebih baik mengetahui bahwa hal ini tidak terjadi juga di tempat lain.

Lantas, kembali ke topiknya, apakah saya mengamini beauty privilege? Bahkan ketika saya sudah berpenampilan cantik pun, kredibilitas saya untuk memimpin diragukan. Kemampuan menalar saya diragukan. Bukan hanya oleh laki-laki, melainkan juga perempuan. Toh, saya juga tidak dipermudah urusannya di kampus karena saya merupakan anak cantik dari seorang dosen senior. Saya tetap ikut mengantre jika ada keperluan di pelayanan publik juga pelayanan kampus. Saya mengikuti beberapa lomba, utamanya kepenulisan, yang dewan jurinya melihat huruf bukan penampilan. Bentuk keuntungan yang saya dapatkan hanyalah pujian dari orang-orang bahwa penampilan saya hari itu sangat cantik.

Saya berdandan bukan hanya untuk tampil di depan khalayak, Minke. Ada obsesi dalam diri saya untuk melukai perasaan para lelaki yang terganggu dengan perempuan bergincu yang memimpin, juga untuk menyindir perempuan yang terus menanam kebencian pada perempuan lain yang dianggapnya serakah karena pamer kepintaran padahal sudah terlahir cantik. Dunia tidak seadil itu untuk orang-orang cantik, Minke. Tapi ketika seorang perempuan cantik yang pintar mengeluh lelah, ia akan dikutuk manja dan tidak tahu bersyukur karena hidupnya dianggap lebih mudah. “Kamu enak, sudah cantik, pintar juga, wajar kalau menang lomba ini-itu. Kita kasihan, tidak cantik, pintar juga tidak seberapa, mana berani ikut lomba”. Ungkapan ini sering saya dengar, Minke. Apakah saya juga harus disalahkan atas kemalasan dan keputusasaan orang lain? Apakah kebodohan orang lain juga merupakan kesalahan saya?

Terkait yang kamu katakan, bahwa beberapa penyair menolak moderator cantik ini diganti, tak perlu kamu ikut tersindir. Saya justru tersanjung. Saya haus pujian, Minke. Ungkapan itu saya anggap validasi atas kecantikan dan kecakapan saya. Bukan, begitu? Saya sungguh tidak tersinggung. Jika kamu melihat saya mencatat selama diskusi, itu adalah poin-poin yang harus saya evaluasi kembali untuk menjadi moderator di kesempatan selanjutnya. Mereka enggan mengganti moderator, artinya saya berhasil membawa diskusi dengan baik, kan? Catatan-catatan kecil saya sebagai moderator yang lalu-lalu sudah menunjukkan hasilnya. Cukup kamu anggap seperti itu. Saya tidak keberatan.

Minke kemarin juga bercerita tentang seorang temannya yang mengubah cara pandangnya terhadap feminisme. Sebelumnya saya kelepasan mengatakan bahwa saya cukup skeptis terhadap gerakan feminisme. Saya tentu ikut senang jika banyak perempuan yang berdaya. Tapi bagaimana sebenarnya perempuan berdaya yang dimaksud? Apakah perempuan berdaya harus perempuan yang berkarier, terjun ke dunia politik, atau semacamnya? Bukankah perempuan yang berdaya adalah perempuan yang memiliki kebebasan untuk memilih? Banyak perempuan yang juga sukarela menjadi ibu rumah tangga. Kompromi terkait pembagian tugas yang adillah yang seharusnya digaungkan.

“Kalau saya memasak dan pasangan saya bekerja, itu tidak masalah. Itu namanya pembagian tugas. Begitu pun sebaliknya, kalau saya bekerja dan pasangan saya memasak, itu juga pembagian tugas,” begitu kata Minke menirukan temannya. Saya setuju selama pembagian tugas itu adalah kesepakatan bersama. Adil dan tidak ada yang keberatan dengan tugas masing-masing.

Saya teringat seorang teman, laki-laki, pernah berucap.

“Menurutku, memasak itu skill yang wajib dimiliki semua orang tanpa pandang gender. Makan itu kan kebutuhan dasar, setidaknya semua orang harus bisa masak untuk bisa bertahan hidup”. Ya, yang satu ini juga sangat masuk akal. Sekarang teknologi memang sudah mendukung untuk pesan antar makanan siap saji. Tapi jika berada dalam kondisi-kondisi yang mendesak, setidaknya masing-masing kita harus bisa memasak sekalipun sesederhana menggoreng telur, kan”?

Feminisme adalah lawan dari patriarki. Hal yang membuat saya skeptis atas gerakan ini adalah bahwa perempuan dituntut harus menjadi serba bisa, tidak bergantung sepenuhnya pada laki-laki. Sekilas tidak ada yang salah. Tapi, mengapa saat ini seolah sedang ada peperangan antara laki-laki dan perempuan? Padahal, manusia adalah makhluk sosial yang saling membutuhkan satu sama lain. Tidak masalah tidak bisa semua hal. Tidak apa-apa meminta bantuan, baik kepada laki-laki maupun perempuan. Saya mengambil kelas Antropologi Gender dan Seksualitas sebanyak dua kali selama berkuliah. Tiga dosen yang berbeda. Ketiga dosen sama, sepakat bahwa feminisme mengajarkan kesetaraan dan tidak hanya membela perempuan. Ya, harusnya seperti itu. Setiap manusia punya hak asasinya sendiri. Saya muak dengan perbandingan antara laki-laki dan perempuan seolah kita sedang berperang. Tidak bisakah kita menerima kenyataan kalau kita memang saling membutuhkan satu sama lain, Minke? Setidaknya bagi sesama makhluk sosial. Kita tidak lemah dengan meminta bantuan.

Saya perempuan. Saya pernah disepelekan, oleh laki-laki dan perempuan. Tapi saya juga sanggup bangkit karena masih ada yang mendukung, laki-laki dan perempuan. Setelah tulisan ini saya publikasikan, akan ada beberapa reaksi yang menuding saya kurang baca, mainnya kurang jauh, kudet info feminisme sekarang. Ya, bisa jadi. Bisa jadi saya memang kurang baca, kurang bergaul, dan kudet informasi. Saya harap, semoga feminisme tidak menjadi tameng bagi oknum-oknum tertentu untuk membenarkan tidakan buruknya kepada orang lain, seperti mengolok-olok kelompok tertentu. Kita semua, perempuan dan laki-laki harus mampu berdaya dan berdiri di kaki sendiri, tapi juga harus sadar bahwa kita saling membutuhkan. Berdamailah.

Kepada kawan baru saya, Minke, tulisan ini saya buat untuk menyelesaikan percakapan kemarin yang sempat terputus. Saya menulis ini di buku harian saya bahkan lebih panjang daripada saat saya mengeluhkan pacar saya, ha-ha-ha. Saya sangat terganggu dengan percakapan yang belum usai kemarin. Bisa dibilang saya juga beruntung karena punya pacar yang bisa berkompromi dengan hal-hal yang saya tuliskan di atas. Saya pernah secara eksplisit dikatai manja karena “sudah cantik, pintar, punya keluarga harmonis, dan pacar yang pengertian” tapi masih mengeluh. Semoga kamu dan pembaca cukup bijak menyikapi tulisan ini. Percakapan kita kemarin yang mungkin tidak genap setengah jam membawa banyak sekali pelajaran untuk saja dan semoga juga untukmu.

Senang berkenalan denganmu. Salam untuk kakakmu, Kak Zul. Saya salfok ke pakaiannya selama dua hari kemarin, cantik sekali. Salam pula untuk kedua adik yang kalian bina, semoga saya bisa mendapatkan koneksi ke orang-orang yang dapat membantu.

Salam hangat,
Kawan barumu,
Dinda, si moderator yang katanya cantik.

Adinda Febriana Putri Pangerang lahir di Kendari, 8 Februari 2002. Ketika masa sekolah, aktif di Fraksi Sastra (Frasa), sebuah organisasi di bawah OSIS (ordibasis) di SMAN 4 Kendari. Adinda tamat tahun 2019 di SMAN 4 Kendari dan sedang menempuh perkuliahan di Jurusan Antropologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo, Kendari. Pada tahun 2021 menjadi salah satu finalis Duta Bahasa Sultra. Adinda juga menjadi delegasi BPSMI Sultra dalam ajang PEKSIMINAS XVI tahun 2022 dalam tangkai lomba penulisan cerpen. Sejak 2018 ia menjadi relawan di Pustaka Kabanti Kendari. IG:adnfp08 dan E-mail: adnfp08@gmail.com.