Oleh: Syaifuddin Gani*

Timah akan seperti tanah, kalau berada di tempatnya
Kayu cendana pun hanya akan seperti kayu bakar, bila menetap di tanah
~ Imam Syafi’i
*
Pitu Ulunna Salu (PUS) adalah segugusan wilayah yang berada di daerah pegunungan Kabupaten Polewali Mamasa (kini menjadi bagian dari Kabupaten Mamasa). Pitu Ulunna Salu secara harfiah berarti Tujuh Hulu Sungai. Ketujuh wilayah tersebut adalah penanda adanya tujuh kerajaan di wilayah pegunungan, ada juga yang mengatakan sebagai tujuh kesatuan hada’ atau wilayah kekuasaan adat. Tujuh wilayah tersebut tersebar di antara gunung, ngarai, bukit, lembah, sawah, ladang, dan sungai-sungai yang menyediakan iklim dingin di seluruh kawasannya, penopang masyarakatnya menjadi petani.

Adapun ketujuh wilayah adat tersebut adalah Tabulahan, Bambang, Mambi, Aralle, Rantebulahan, Matanga, dan Tabang. Masing-masing wilayah tersebut memiliki gelar yang tersemat sebagai penanda fungsi sosial, kemasyarakatan, spiritual, dan adat. Tabulahan mendapat gelar sebagaai πΌπ‘›π‘‘π‘œ πΏπ‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘›π‘”, Aralle sebagai πΌπ‘›π‘‘π‘œ πΎπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘’π‘›π‘’π‘ž, Tabulahan sebagai π‘ π‘’π‘π‘Žπ‘”π‘Žπ‘– π‘‡π‘Žπ‘™π‘Žπ‘œ π‘…π‘Žπ‘π‘Žπ‘›π‘›π‘Ž πΎπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘’π‘›π‘’π‘ž dan πΌπ‘›π‘‘π‘œ πΏπ‘–π‘‘π‘Žπ‘ž π‘ƒπ‘’π‘‘π‘Žβ„Žπ‘Ž π‘€π‘Žπ‘›π‘Žπ‘ž π‘ƒπ‘Žπ‘π‘–π‘ π‘Žπ‘ž π‘ƒπ‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘›π‘”π‘Žπ‘›π‘”, Mambi sebagai πΏπ‘Žπ‘›π‘‘π‘Žπ‘›π‘” πΎπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘’π‘›π‘’, Matanga sebagai π΄π‘›π‘‘π‘–π‘Ÿπ‘–π‘ž π‘‡π‘Žπ‘›π‘”π‘‘π‘’π‘šπ‘π‘œπ‘žπ‘›π‘Ž πΎπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘’π‘›π‘’, Tabang sebagai π΅π‘’π‘π‘’π‘›π‘”π‘Žπ‘›π‘›π‘Ž πΎπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘’π‘›π‘’π‘ž, dan Bambang sebagai π‘†π‘’π‘žπ‘π‘’π‘Žπ‘›π‘›π‘Ž π΄π‘‘π‘Žπ‘ž atau π‘†π‘’π‘žπ‘π‘’π‘Žπ‘›π‘›π‘Ž πΎπ‘Žπ‘‘π‘Žπ‘›π‘’π‘›π‘’π‘ž. Kampung saya bernama Salubulung, bagian dari Mambi.

Penyebaran masyarakat PUS di berbagai belahan tanah air, sudah terjadi dalam waktu yang sudah lama. Penulis belum menemukan data yang pasti, kapan mulanya penyebaran itu terjadi. Penyebaran itu berlangsung ke berbagai wilayah di Indonesia. Salah satu daerah yang dituju adalah Kendari, Sulawesi Tenggara. Mengapa Kendari, Sulawesi Tenggara, menjadi salah satu wilayah favorit bagi warga PUS untuk datang, menarik untuk ditilik lebih dalam.

Setidaknya, menurut data yang saya peroleh, di bawah tahun 70-an adalah permulaan kedatangan orang PUS di Kendari. Saat itu, Kendari dan Sulawesi Tenggara masih merupakan daerah yang terbuka dan β€œperawan” sehingga terbuka bagi tangan-tangan pekerja untuk menjadi bagian dari upaya membuka dan menciptakan lapangan pekerjaan.

Apakah penyebaran Orang PUS ke Kendari sudah pernah ditulis pengamat? Salah seorang budayawan Mandar, Muhammad Ridwan, dalam perjalanannya ke Kendari tahun 2014 lalu, menulis dengan judul β€œOrang PUS yang Paling Banyak Merantau ke Sini” tanggal 13 November 2014. Ia menerangkan mengenai kehadiran orang PUS di Kendari berikut ini, β€œDan yang tak asing adalah Anwar Adnan Shaleh, Gubernur Sulawesi Barat. Sebelum menjabat sebagai gubernur, adalah birokrat, pengusaha sukses Sulawesi Tenggara. Selain mengawali karir di sana, juga pernah menjadi anggota DPR RI mewakili provinsi tersebut dan mencalonkan diri sebagai pemimpin di Sulawesi Tenggara.”

Tentunya, tulisan Ridwan tersebut dapat dijadikan bahan untuk melihat bagaimana penyebaran Orang PUS di Kendari. Tulisan Ridwan banyak mengisahkan para nelayan dan pelaut Mandar yang berjualan di Tempat Pelelangan Ikan (TPI) Kendari.

Tulisan saya ini, lebih banyak mengulik orang pegunungan Sulawesi Barat yang disebut Pitu Ulunna Salu (PUS), Kabupaten Polewali Mamasa (kini, Kabupaten Mamasa, Polewali menjadi kabupaten tersendiri menjadi Polewali Mandar). Tulisan sederhana ini, tentu tidak bermaksud menerangkan secara detail mengenai proses penyebaran orang PUS di Kota Lulo secara paripurna, karena untuk melakukan hal itu, butuh penelitian yang serius dan mendalam.

Pada mulanya, motif utama masyarakat PUS ke Kendari adalah mencari dan membuka lapangan kerja sekaligus. Pekerjaan di sini bermuara pada dua hal yaitu sebagai pegawai pemerintah (PNS) dan sebagai pekerja swasta. Sebagai PNS artinya menjadi bagian dari sebuah pemerintahan untuk membangun Kendari sebagai abdi negara. Sebagai pelaku swasta, tantangannya lebih besar karena harus mampu menciptakan dan membuka lapangan pekerjaan sendiri, di tengah keadaan struktur perekonomian Sulawesi Tenggara yang belum mapan.

Menurut Amiruddin Ramly, salah seorang warga PUS dari Mambi yang kini menjadi salah seorang sesepuh PUS di Kendari, ia tiba di Kendari pada tanggal 18 April 1973.

Ia seorang pegawai yang dipekerjakan oleh Setneg ke Kendari, lalu ia pindah ke Palang Merah Indonesia (PMI) Cabang Sulawesi Tenggara.

Saat tiba di Kendari, ia bertemu dengan tiga orang PUS yang lebih dahulu bermukim di siniβ€”sehingga diperkirakan kedatangan mereka sejak tahun 1960-an ke atasβ€”yaitu adiknya Parengnge’ Rantebulahan, yang bekerja sebagai seorang perawat dan bersuamikan seorang pejabat teras Sultra, yaitu Drs. Lantemona, Wakil Bupati Kab. Kendari. Seorang lagi yaitu guru SPG Kendari, Ny. Saronsong dari Tabulahan, dan kemudian Arsyad Tumpang.

Selain ketiga orang tersebut, terdapat pula orang PUS lainnya yaitu Pendeta Makkatonang dari Salutambun.

Amiruddin Ramly merupakan salah satu sosok yang dihormati di kalangan orang PUS perantauan di Kendari. Banyak orang PUS yang ke Kendari karena jasanya untuk bekerja di sini dan kemudian tinggal di rumahnya pada sebuah lokasi yang luas di seputaran Kemaraya, Jalan Bunga Kamboja. Ia juga dikenal dengan usahannya di bidang angkutan dalam kota atau pete-pete.

Tahun 1975 telah tiba pula seorang PUS bernama Salim dari Aralle, yang merupakan sepupu sekali dari Amiruddin Ramly.

Tidak lama kemudian, dua bersaudara, Abdul Rauf Latief dan Abdul Wahab Latief, sekitar tahun 1976. Keduanya dari Salubulung. Di Kendari, dalam beberapa lama, keduanya tinggal di rumah Papa Aciβ€”panggilan buat Amiruddin Ramlyβ€”lalu kemudian memilih tinggal di daerah Lepolepo. Di kemudian hari, Rauf memilih pulang kampung lalu beristri dan menetap di sana. Kampung bernama Maerang, salah satu kampung di Kecamatan Mambi, Kelurahan Talippuki. Adapun Wahab memperistrikan orang Jawa di Kendari, setelah sempat pulang kampung, tinggal, dan bekerja di Mamuju dan Mamasa, kini ia kembali ke Kendari di Konawe Selatan.

Abdul Rauf meninggal di kampung halamannya pada 2022. Adapun Abdul Wahab berpulang di Aepodu, Kabupaten Konawe Selatan pada Rabu, 4 November 2020. Dua anak Abdul Wahab kini tinggal di Kendari, telah berkeluarga, melahirkan anak-anak baru lagi.

Masih di akhir tahun 70-an, menambah daftar panjang kehadiran orang PUS, telah tiba dua bersaudara, Oppo dan Agus. Keduanya dari Aralle. Belum ada informasi jelas mengenai pekerjaan yang dilakoninya di Kendari.

Pada tahun 1979, sebuah rombongan dalam jumlah besar tiba di Kendari. Tiga di antaranya adalah Nurman, Masri, dan Ali Munir dari Mambi. Pada mulanya, semuanya tinggal di rumah Amiruddin Ramly.
Di kemudian hari, ketiga orang tersebut lalu berkeluarga dan masing-masing memiliki rumah dan pekerjaan sendiri. Masri bekerja sebagai pengusaha, Ali Munir menjadi pegawai negeri, dikaruniai banyak anak, dan Nurman berladang di Ranomeeto, Konawe Selatan, juga telah dikaruniai anak dan cucu.
Pada perjalanan hidupnya kemudian, Masri dan keluarga pindah kembali ke Mambi tahun 1989. Satu-satunya yang tinggal di Kendari adalah anak sulungnya, Ferry Masri, yang mendapatkan jodoh perempuan Tolaki, seorang pegawai yang bekerja di Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Sulawesi Tenggara.

Tahun 2011 silam, Masri berpulang di Mambi, menyusul kemudian Ali Munir berpulang pada tahun 2013 di Kendari. Nurman masih menetap di Kendari sampai saat ini bersama keluarga, tepatnya di sekitar wilayah bandar udara Halu Oleo.

Di tengah upaya survive untuk hidup, beranak-pinak, dan siasat menjadi bagian dari orang Kendari, satu-satu orang PUS berpulang, terutama para orang tua. Akan tetapi, mereka telah meninggalkan anak cucu sebagai pelanjutnya, juga semangat untuk hidup dan mencintai Kendari sepenuh hati.

Rombongan berikutnya yang tiba adalah Arman serta beberapa orang dari Aralle dan Salurindu. Lalu tiba juga Nursalam dari Salubulung, yang menempuh pendidikan di Kendari. Arman menjadi pegawai di Kantor P&K Sultra. Kelak kemudian, ia termasuk yang pulang kampung dan menjadi pejabat di Pemprov. Sulbar.
Jika seorang pergi lalu menuturkan kesuksesan, maka ia akan menarik yang lain untuk datang. Begitu juga dengan kisah orang PUS di Kendari. Maka, datang jugalah Ana Sumaila sekolah perawat bidan dan Husna di SPG. Pada gelombang yang lain, hadir Syamsul Marif dari Loka dan menjadi pegawai di Dinas Perkebunan Prov. Sultra. Bebera tahun di Kendari, Syamsul Marif lalu pindah ke Sulawesi Barat. Belakangan ia menjadi Kepala Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Peternakan (DTPHP) Sulawesi Barat.

Teluk Bone menjadi saksi kedatangan itu. Kapal feri yang ditumpanginya sandar di dermaga Kolaka.
Salah satu putra PUS yang berasal dari Aralle yang kemudian menjadi tokoh, baik di Sultra maupun di Sulbar adalah Anwar Adnan Saleh. Beliau pertama kali ditugaskan di Kabupaten Buton yang saat itu dipimpin oleh Arifin Sugianto, Bupati Buton. Di Buton, Anwar jadi ajudan Bupati, lalu jadi camat, dan tahun 1978 masuk program S1 pada Ilmu Pemerintahan di Jakarta.

Dua tahun di Jakarta kembali ke Kendari tahun 1981, lalu menikah dengan anak Arifin Sugianto, Anggraeni Arifin Sugianto. Pada perjalanannya kemudian, ketika Alala menjadi Gubernur Sultra, Anwar dijadikan Kepala Perwakilan Pemda Sultra di Jakarta.

Selain bekerja di jalur birokrasi, Anwar juga jadi pengusaha dan sukses di Jakata dan lalu menjadi anggota DPR RI mewakili Sultra. Karir politiknya semakin menanjak yang membawa Anwar Adnan Saleh menjadi Gubernur Provinsi Sulawesi Barat untuk dua periode, yakni 2006-2016, sebuah posisi yang ia tak sempat kenyam di Bumi Anoa.

Putra PUS lainnya yang datang adalah Wempy Banga. Ia datang sekitar tahun 1977 atau 1978. Ia berasal dari Leko yang datang bersama empat atau lima orang. Kelak, Wempy Banya menjadi Guru Besar di Universitas Halu Oleo, Kendari. Profesor yang beristrikan dokter sesama orang PUS tersebut, wafat pada 17 April 2021.

Saya ingat, saat pernikahan anaknya pada sebuah kompleks perumahan di Lepolepo, para tamu undangan disuguhi musik bambu, musik khas Pitu Ulunna Salu yang menggiring lagi para tamu PUS-nya ke memori kampung halaman.

Tokoh PUS lain yang memiliki banyak jasa dan peran bagi kedatangan dan kesuksesan orang PUS di Kendari adalah Drs. Abdul Jabbar. Beliau tiba di Kendri, 10 tahun setelah Amiruddin Ramly tiba atau tahun 1983. Beliau pindah dari Makassar ke Kanwil Pendidikan dan Kebudayaan Sultra menjadi Kepala Bidang Dikmas, P & K Sultra.

Dalam perjalanan karirnya, ketika hampir berusia 56 tahun, ia diangkat jadi Kormin di Kanwil P & K Sultra. Pada tahun 1993, Pak Jabbar kembali pindah ke Sulsel dan diangkat menjadi Kakanwil P & K Sulawesi Selatan. Salah satu sumbangsih beliau kepada Pitu Ulunna Salu sebagai kampung halamannya yang masih berdiri megah sampai saat ini adalah dibangunnya SMA Negeri 1 Mambi tahun 1993, tepat di sekitar 150 meter setelah jembatan Salu Uma.

Saat peresmian sekolah itu, ia sendiri hadir untuk meresmikan yang disambut dengan ritual khas PUS, yakni persembahan tedong bonga alias kerbau belang yang dipotong di depan Gedung Lantang Kada Nene.
Kini, sekolah tersebut menjadi kebanggaan masyarakat Mambi dan sekitarnya dan telah melahirkan banyak alumni yang terserak di berbagai kota di Indonesia.

Selanjutnya, ponakan Abdul Jabbar mulai berdatangan di Kendari. Nurbiah ke Kendari tahun 1994, setelah tamat PGA Mambi, masuk di Sekolah Perawat Kesehatan Kendari dan taman tahun 1977. Tahun 1981 datang saudara Om Jabbar yaitu Haji Pallabuang (orang tua Amiruddin Ramly) bersama empat anaknya yang lain yaitu Nurbadri, M. Tasbi, Nurhayati, dan Nurhasbiah. Semua anaknya menuntut pendidikan di Kendari mulai dari SD, SMA, dan sebagian perguruan tinggi. Haji Pallabuang berada di Kendari selama tujuh tahun lamanya. Pada tahun 1988 ia kembali ke Makassar.

Kedatangan berikutnya adalah ketika Burhanuddian Gani tiba di Kendari tanggal 5 Januari 1990, lalu tinggal di rumah Amiruddin Ramly. Di Kendari, ia sempat mengajar di Fakultas Hukum, Universitas Sulawesi Tenggara selama beberapa waktu.

Di universitas inilah kemudian dipertemuakan dengan dosen yang lain, yang merupakan aktivis dan pengacara yaitu Arbab Paproekka. Di kemudian hari, keduanya sepakat untuk mendirikan sebuah asosiasi di bidang hukum. Lalu, berdirilah A & B Assosiated. A&B adalah pejenamaan dari Arbab & Burhanuddin.
Pada perjalanannya, banyak kasus hukum yang ditangani dan asosiasi yang mereka dirikan cukup dikenal di Kota Kendari. Di kemudian hari, keduanya masing-masing menempuh jalan sendiri. Arbab memilih jalur politik dan sempat menjadi anggota DPR RI, sedangkan Burhanuddin Gani memilih jalur birokrasi. Pada mulanya ia bekerja di Kandep Dikbud Kabupaten Kolaka tahun 1992 lalu pada tahun 1994 pindah ke Kancam Mandonga. Pada tahun 1996 ia kemudian pindah ke Kanwil D & K Sulawesi Tenggara, sampai pensiun tahun 1 April 2020.

Salah seorang putra PUS yang cukup lama di Kendari adalah Madras Bantoe. Setelah tamat SMA di Polmas, ia ke Kendari dan bekerja di telkom sampai pensiun. Beliau dapat bekerja di telkom berkat bakat dan perannya sebagai atlet dan pemain tenis lapangan. Di kemudian hari, beliau setelah tidak menjadi atlet lagi, menjadi instruktur tenis. Madras tinggal di Jalan Bunga Kamboja, tak jauh dari rumah Amiruddin Ramly.

Putra PUS lainnya yang ikut memperpanjang jejak diaspora PUS di Kendari adalah Rahmading Enang. Beliau pindah dari Makassar lalu masuk di Kantor Balai Nikah Kendari, lalu di Pengadilan Tinggi Agama Kendari. Sempat ia dipindahkan lagi ke kantor pengadilan di Bone, Sulsel, sebelum pindah berikutnya ke kantor pengadilan Mamuju, Sulbar, saat ini. Akan tetapi, istri dan ketiga anaknya masih di Kendari.

Warga PUS lainnya yang kini bermukim di Kendari adalah Arman Pasli. Tamat SMA 1 Palu, ia kemudian menyelesaikan D3 Arsitek Unhas tahun 1993. Pada tahun 1996, ia menyelesaikan program S1 di Arsitek Universitas Brawijaya, Malang. Pertama kali tiba di Kendari tahun 1997 dan mulai bekerja sebagai konsultan di CV Teknik Tiga Dimensi sampai tahun 1999. Pada tahun 1999 itulah ia kemudian diangkat menjadi dosen di Universitas Haluoleo. Tahun 2001 mengakhiri masa lajangnya dan kemudian melanjutkan pendidikannya di studi S2 pada Jurusan Arsitek ITS mulai tahun 2002 sampai 2004. Beliau sempat menduduki posisi yang cukup strategis di Universitas Haluoleo sebagai Direktur Pendidikan Vokasi sampai tahun 2018.
*
Saya pertama kali ke Kendari tahun 1994 usai tamat di SMPN 1 Mambi. Ke Kendari dengan niat mendaftar di SPK (Sekolah Perawat Kesehatan) yang ada di Anduonohu–kini menjadi Poltekes Kendari. Apa daya, tinggi saya tak sampai 150 cm sebagai syarat dasar peneriman siswa baru. Saat itu, saya tinggal di rumah kakak yang memanggil ke Kendari, Burhanuddin Gani dan istri. Sempat pula dibawa kepada beberapa keluarga yang disebut sebelumnya. Tersebab tidak lulus di tahap awal saya balik ke Majene, Sulsel, dengan niat yang sama, mendaftar di SPK. Tetapi karena syarat yang sama, saya pun tak layak lulus. Dengan mata murung, saya akhirnya balik ke Polewali lalu mendaftar di SMAN 1 Polewali.

Mungkin lambaian tangan Kendari selalu memanggilku ke sini lagi. Bisa jadi juga karena saya telanjur minum air Kendari atau sempat mencicipi ikan bakar tahun 1994 silam di Kendari Beach, sehingga setamat di SMAN 1 Polewali tahun 1997, saya ke Kota Lulo lagi. Pertimbangan lain adalah karena saya anak bungsu dari delapan bersaudara, bapak dan ibu sudah tua. Secara ekonomi tak lagi sanggup membiayai saya untuk kuliah di Sulsel. Semua faktor itu menarik saya ke Bumi Anoa, meniti sang takdir.

Alhamdulillah, saya diterima sebagai mahasiswa di Universitas Halu Oleo, FKIP, Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia. Tahun 1998 saya bergabung dengan Teater Sendiri sebuah komunitas sastra-teater asuhan Achmad Zain yang menggembleng kami siang dan malam dalam sebuah kerja penciptaan seni.
Tahun 2005, kakak saya Bayanuddin Gani pada akhirnya mengikuti jejak saya juga, berkat panggilan kakak yang di Kendari. Dikenal sebagai aktivis mahasiswa di Sulbar, ikut serta dalam tarik-menarik dan dinamika dunia politik dalam pemekaran kabupaten Mamasa, membuatnya tidak meminati dunia abdi negara. Akan tetapi, pada akhirnya, ia menjadi bagian kedatangan orang PUS di Kendari, menikah dan menetap di Kota Lulo. Ia pun meniti jembatan takdirnya ke kota yang cantik dengan teluknya ini.
*
Dua generasi PUS terkini yang mengikuti jejak pendahulunya ke Kendari adalah Muh. Iqbal Mushaddaq dari Mambi yang ke Kendari tahun 2017 sebagai mahasiswa Fakultas Teknik. Ia wisuda tahun lalu. Iqbal tidak memilih pulkam, tetapi bertahan di Kota Lulo bekerja pada sebuah instansi pemerintah. Nama lain adalah Linda Puspita Sari, masuk di Fakultas Farmasi, Universitas Halu Oleo tahun 2019. Tahun 2023 lalu Linda menamatkan pendidikannya yang ia rayakan bersama orang tuanya yang ikut datang ke Kendari, menempuh perjalanan darat melingkar dari Sulbar ke Sultra. Berbeda dengan Iqbal yang bertahan di Kota Lulo, Linda melanjutkan pendidikannya di UMI, Makassar.
*
Kehadiran dan keberadaan Amiruddin Ramly di Kendari sejak awal kemudian melahirkan ide untuk mendirikan Ikatan Keluarga Mandar (IKM), lalu di kemudian hari membuat Kerukunan Keluarga (KK) Kondo Sapata. Amiruddin Ramly sempat menjadi Ketua KK Kondo Sapata dan Ketua Koperasi Kondi Sapata, Kendari. Seiring dengan dialektika kebudayaan dan perubahan politik di Indonesia sejak tahun 1998 usai lengsernya Soeharto dari kekuasaan selama 32 tahun, Mamasa menjadi daerah otonom sendiri, berpisah dari Kabupaten Polmas. Begitu juga dengan Sulawesi Barat yang memisahkan diri dari Sulawesi Selatan. Inilah kenyataan baru dalam tatanan politik di Indonesia sebagai perayaan berdemokrasi setelah runtuhnya kekuasaan otoriter Orde Baru. Mamasa menjadi kabupaten dan Sulbar menjadi provinsi diraih tidak dengan mudah. Hiruk-pikuk politik, tarik-menarik kepentingan, perkumpulan massa, bahkan sampai pada perjuangan titik darah penghabisan mewarnai lahirnya dua daerah otonom baru itu.

Ketika Mamasa menjadi kabupaten dan Sulawesi Barat menjadi provinsi, getarannya sampai jua di Kota Kendari. Orang PUS yang mulai mapan di Kendari sebagai tanah air keduanya, mulai menatap cakrawala harapan nun jauh di kampung halaman, sana.

Banyak warga PUS kemudian yang pulang kampung, pindah ke Pemkab Mamasa dan Pemprov Sulbar. Setidaknya, ada tiga alasan mendasar yang menjadi penyebab kepindahan tersebut yang mengubah lagi wajah diaspora orang PUS di Kendari. Pertama, ingin lebih dekat ke kampung halaman, sehingga dapat lebih mudah bertemu dan bersilaturrahmi dengan keluarga besar di sana. Kedua, ingin mendapatkan posisi lebih baik di birokrasi, baik itu di Pemkab Mamasa, maupun di Pemprov. Sulbar. Kini, Orang PUS di Kendari mulai berkurang jumlahnya dibanding beberapa tahun silam. Ketiga, ingin membangun kampung halaman. Perpindahan kembali ke kampung halaman dengan tiga faktor di atas (Mamasa dan Sulbar) menjadi penyebab utamanya. Tentu, mungkin ada sebab lain. Periode ini menjadi sebuah arus baru perpindahan orang PUS dari Kendari ke Mamuju (ibukota Sulbar) dan ke Mamasa.

Naiknya salah satu sosok penting orang PUS yang dulu malang-melintang di Kendari, yakni Anwar Adnan Saleh sebagai Gubernur Sulbar, menjadi faktor paling utama kepindahan orang PUS ke kampung halaman.
Perpindahan itu dimulai di atas tahun 2002, yakni ketika Mamasa terbentuk menjadi kabupaten, yang terus berlanjut pada sampai pada tahun 2006 sampai 2016 ketika Anwar Adnan Saleh menjadi Gubernur Sulbar dua periode.

Ketika sebuah komunitas telah hidup bersama dalam kurun waktu panjang menjadi sebuah organisme hidup, lalu tiba-tiba ada yang beranjak pergi, maka kerinduan atau rasa kehilangan akan menyesak di dada. Begitu juga dengan orang PUS di Kendari yang ditinggal saudara kembali ke kampung halaman. Akan tetapi, hidup terus dijalani.

Kata Iman Syafii selanjutnya, kalau tidak keluar dari sarangnya, singa tak akan mendapatkan mangsa. Kalau tidak meleset dari busurnya, anak panah tak akan mengenai sasaran.
*
Seiring dengan dinamika dan realitas yang dituturkan itu, lahir Kerukunan Keluarga (KK) PUS yang dimaksudkan untuk mewadahi orang PUS yang masih tetap setia tinggal di Kendari sebagai daerah rantauan. Kepengurusan KKPUS tersebut disepakati dalam masa empat tahun. Periode pertama dipimpin oleh Burhanuddin Gani (sampai saat ini belum ada pergantian).

Yah, kedatangan dan kepergian orang PUS di Kendari menjadi sebuah realitas yang tidak terelakkan. Tampaknya, arus kepergian/kepindahan lebih banyak–walau pada masa tertentu, yakni 2002 sampai 2016–dibanding arus balik kedatangan yang hanya dapat dihitung jari.

Dengan maksud kembali menjalin dan memperkuat jalinan tali silaturrahmi, KKPUS setiap bulannya mengadakan pertemuan yang digilir di setiap rumah warga kerukunan. Tujuan utamanya adalah berkumpulnya orang PUS untuk berbagi kisah, pengalaman, informasi, baik berkenaan dengan pekerjaan maupun yang berkaitan dengan Pitu Ulunna Salu sebagai kampung halaman.

Pada pertemuan tersebut digelar arisan bersama yang sifatnya tidak wajib bagi setiap warga kerukunan. Saat ini, sejak Desember 2013, pertemuan sudah terselenggara puluhan kali. Tentunya bukan persoalan kuantitas belaka sebagai muatan pertemuan itu, tetapi kualitas silaturrahmi menjadi roh utamanya.
Ada harapan bersama orang PUS di Kendari untuk tetap membina komunikasi dan tali persaudaraan antarsesama perantau, berupaya menjadi orang Kendari. Sebab bagaimana pun, di tanah inilah orang-orang PUS hidup, beranak-pinak, bersosialisasi, membaur bersama masyarakat Kendari yang heterogen,bernegosiasi, dan tentunya mengamalkan laku toleransi.
*
Tulisan ini belum mancakup banyak Orang PUS lainnya. Padahal masih banyak Orang PUS yang bermukim lama di Kendari, misalnya H. Abdul Hamid yang pernah menjadi Koramil Tinanggea, Kab. Konawe Selatan, dalam waktu yang cukup lama. Begitu pula dengan Pak Alimuddin Daud yang belum diterangkan di sini. Informasi yang didapatkan masih minim sehingga ulasan mengenai sosok-sosok tersebut saya akan lanjutkan pada kisah selanjutnya. H. Abdul Hamid adalah mertua Alimuddin Daud. Keduanya juga telah berpulang ke rahmatullah beberapa tahun lalu.

Masih banyak warga PUS yang kami belum ulas di sini. Terutama yang bermukim di kabupaten lain di Sulawesi Tenggara, misalnya di Muna dan Kolaka.
*
Saat ini orang PUS di Kota Kendari masih rutin berkumpul setiap bulan, demi merawat persaudaraan, memori, dan menghadirkan gagasan dalam percakapan intim, menggunakan bahasa Indonesia, juga bahasa yang ada di Pitu Ulunna Salu seperti bahasa Aralle dan Mambi. Perjumpaan ini, ikut pula mengawetkan budaya yang lain untuk tidak cepat punah, yakni bahasa. Walau tentunya, butuh strategi budaya orang PUS di Kendari untuk juga dikenal di sini, sebagaimana paguyuban lain yang lebih dulu dikenal melalui beragam aktivitasnya.

Saat ini, sumber data utama tulisan ini, H. Amiruddin Ramly tengah sakit di masa tuanya. Beliau adalah jembatan yang menyediakan dirinya sebagai titian bagi banyak orang PUS hadir di sini. Semoga kata-kata pada tulisan ini menjadi doa baginya.
*
Tulisan ini hadir dengan tujuan membuhul suara-suara dari pertemuan, juga riwayat kecil yang terpatri di sini. Mengawetkan jejak kehadiran orang PUS di Kota Lulo, tidak sebatas berjuang untuk hidup, tetapi berjuang untuk menjadi bagian orang Kendari dalam waktu yang teramat panjang.
*
Sebagai perantau, orang PUS menghikmati filosofi nenek moyangnya yakni π‘ π‘–π‘™π‘Žπ‘šπ‘π‘–π‘˜ π‘ π‘–π‘˜π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘ π‘’π‘–, π‘ π‘–π‘ π‘Žπ‘Ÿπ‘Žπ‘˜ π‘ π‘–π‘˜π‘Žπ‘‘π‘œπ‘Ÿπ‘Ÿπ‘Žπ‘– yang bermakna berjumpa saling mengasihi, berpisah saling merindukan. Keinginan pulang kampung demi berjumpa dengan sanak saudara dalam koridor saling mengasihi saat bersua, tetapi jika berpisah saat balik ke rantau mereka akan saling merindukan kembali. Di tanah rantau, mereka kembali saling mengasihi, π‘ π‘–π‘˜π‘Žπ‘šπ‘Žπ‘ π‘’π‘–.

Filosofi lain perantau PUS untuk selalu ingat kampung halamannya adalah π‘‘π‘Žπ‘˜π‘œπ‘Žπ‘˜ π‘™π‘’π‘˜π‘π‘Žπ‘˜ π‘šπ‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘‘π‘’ π‘ π‘Žπ‘π‘–π‘›π‘”π‘”π‘Žπ‘˜ yang bermakna bahwa kalian jangan pergi bagai biji peluru. Peluru ketika dilesakkan, maka ia akan pergi tak akan kembali. Perantau PUS yang seperti ini diberi label sebagai π‘™π‘’π‘˜π‘π‘Žπ‘˜ π‘šπ‘’π‘šπ‘π‘Žπ‘‘π‘’ π‘ π‘Žπ‘π‘–π‘›π‘”π‘”π‘Žπ‘˜. Dengan demikian, orang PUS memiliki nilai anutan untuk selalu mengingat kampung halaman. Jika ia tidak datang pulang dalam kehadiran secara fisik, maka ia dapat berkabar ke kampung atau menyumbangkan gagasan perubahan, pembangunan, bahkan yang sifatnya materi.

Selanjutnya, orang PUS di Kendari akan menjadikan kota ini sebagai tempat bermastautin, dalam kurun waktu yang teramat panjang.

Kendari, Februariβ€”Maret 2015, disunting kembali pada 19 Mei 2024

Catatan Data:

Terima kasih yang sebesarnya kepada sesepuh PUS di Kendari, bapak Amiruddin Ramly yang berkenan saya wawancarai di rumahnya terkait kedatangan orang PUS di Kendari. Terima kasih pula pada kanda Burhanudin Gani atas wawancara mengenai orang PUS di Kendari. Kepada semua keluarga yang saya sebut di dalam tulisan ini, terima kasih atas data yang disampaikan kepada saya.

___

*Penulis bekerja sebagai peneliti BRIN