YANG LANTAS KEMBALI

Serbuk mawar melati Priangan
Tadinya melaut ke debu-debu
Merekrut benih ke timur
Bersama prahara kelam nafas bunting
Dari ibu-ibu bunting berjalang buhul alang-alang
Sampai di sini di qalbu daku
Di pori-pori rusuk lubang bambu
Bambu kerangka diamnya jantung berkelambu
Merayap bersabu bersabung
Dengan keping-keping darah juling
Pulang ketika hembusanku berkantung
Di lebat berkelam bola mata
Berbenih tangis busuk manggis
Bernanah di pelipis
Membukit akut berakar
Ke pipi berjampi dan rahang tak bertulang
Menjenuhi luyuk tubuh meliuk
Turun bertikung tanpa gulung
Kembal ke akar nisan
Di mana liat memukat

Kendari, Juni 2015

DARI KAMALI KE PALAGIMATA

Dari Kamali, dari kepala naga hijau Mia Patamiana
Yang menyimbul di tengah punggung sedatar laut
Aku menelaa tapak naga ini
Menengada ke balik tulang ekorku, di belakang busung dadaku
Ternyata ia telah menyeret ruas tubuh ini, yang kulihat ini
Menuju lubang-lubang Bentena Wolio
Mengerat, menjalar melingkari yang berduabelas
Membuat 12 lawana dari Rakia ke Gundu-gundu
Lalu melilit Badili tiga depa
Ku lihat pula Baluara tua, lansia
Dulunya ialah lambung pelor dan merica terbakar
Hari ini perut kenyang hasrat kenangan perang
Pula naga ini jogging, memanjat ke tiang gantung
Di pelataran serambi terbuka
Dan mimbar pusena tanah
Milik masjid Dinasti Wolio
Kemudian bersafari ke inti, sarang Wolio, Dinasti Murhum
Dan di Palagimata, naga ini membelukar turun
Meninggalkan ekor, kembali ke Kamali
Dengan teguh berdiri

Kendari, 2016

PALAGIMATA

Kidung ingar pesisir
Dan teratak yang tunduk menyelinap
Ke punggung curam daratan kuba bersajadah Murhum
Saling menyerikat dalam bayang-bayang fana:

Pentul kuba dengan tubuh percaan helai perdu
Dan rimba serupa barisan pohon-pohon lebat
Sekalian juga deretan desit bukit menjelma
Pada kesenyapan tumit langit—menyimpuh sunyi
Mencari makna tentang kehidupan orang-orang
Di tikungan birai pantai lewat selaksa pinisi
Dengan layar kelabu terbakar
Ah, terkilas juga banjaran kidung dirimu
Yang tandas membantai lautan di muka fajar
Ketika gema gelombang musim topan
Menyingsat tiba-tiba!

Kini akan pantas kau tahu:
Kepada pendar kirana malam
Kau ditopang seribu insane birai pantai
Ibarat persembahan yang digadaikan!

Mereka yang telah luka tiada berdarah
Oleh sayatan kersik dan koral di lautan
Tatkala rembulan genap terpancarkan
Akan menandumu seperti mayat para bajingan
Menuju pelupuk daratan kuba
Maka dengan begitu pasti
Mereka membangkitkan meditasi setengah abadi
Milik setiap yang menyimpuh sunyi

(Jika saja kau tak berbalik pulang
Sebagai perantau malang musim ini,
Tentu tiada seorang pun yang terluka
Dan terpaksa harus memulangkanmu
Ke mata perbukitan)

Kau mungkin tak sepenuhnya memahami
Bagaimana seorang perantau mengembara
Di lautan ketika fajar baru saja dilahirkan:

Sama halnya laksana dirimu,
Bayi fajar juga lahir
Dalam kesenyapan alam di sini
Tapi justru ia yang bertubuh mungil
Lebih memahami jazirah kelahirannya
Dari pada dirimu yang telah lama dewasa

Kau terlanjur merasa terlalu tangguh
Untuk hanya sekedar turun mengelana
Ke tikungan pesisir—seluruh pribumi
Merasa cacat dilahirkan
Jadikan pantas kau tahu:

Kepulanganmu yang sungguh terhina ini
Telah memikat banyak kebencian
Dari segala yang pernah mengais kata bangkit
Bahkan bayi fajar merasa terbuang dan piatu
Oleh alam, lekas sesudah kelahirannya
Sehingga malam dengan mudah menelannya

Lantaran itu, setiap yang menyimpuh sunyi
Jadi tambah beringas untuk bangkit kembali
Dan mengepungmu segala arah
Maka kau tak mungkin sampai ke rumah hari ini
Kau hanya akan terbuang layaknya bangkai bayi fajar
Lebih lagi, para insan birai pantai
Tak kunjung puas menistamu
Di hadapan pendar kirana malam,
Sampai akhirnya kau terluka
Tanpa darah…

Kendari, April 2017
Catatan: Puisi di atas, Juara I pada Lomba Cipta Puisi KRAKATAU Tingkat Nasional (Kategori SMA/Mahasiswa) yang dilaksanakan oleh FORKOMMI-UGM, 2017

TIGA SISI MATA SAPI IBU

Piring remuk juga air matamu sedikit linang beriak nestapa
O, kau menikam kelopak mata sapi anyir terasi sebab penggorengan semalam
Seperti lenyap bersama minyak lemak peluhmu, rusuk yang kau cabut di tubuhmu
Jadi belanga selanjutnya, kau nyaris mati qalbu sebab aku telah membidik
Tebal qalbumu dari tiga sisi mata sapi yang belum basi di lambungku

Bagiku takan ada basi atau secuil munajah dari liku wajahmu yang kulupa
Dan kini aku belum sembuh, terus dihujam cegukan beringas setiap melahap
Mata sapi yang kubuat tanpa kubelah tiga, kuhabiskan (tiada bagi kau dan ayah)

Ibu, tak mungkin sebab kau terlanjur menancang inti setiap matasapi yang akan kumakan
Maka barangkali tiada bisa kulahap
Kecuali celah mata sapi milikmu
Dan dengannya aku menghimpun kosa kata ibu
Seperti menyatukan tiga belahan mata sapi di hadapanku
Sebab memang aku ingin mengais maafmu

Kendari, 2015

MUAMMAR QADAFI MUHAJIR lahir di Baubau, Sulawasi Tenggara, 10 Oktober 2001. Sekarang duduk di bangku Kelas X, SMAN 04 Kendari. Menulis puisi sejak usia sekolah menengah pertama. Pernah Juara I pada Sayembara Cipta Puisi kategori SMP/Sederajat se-Sulawesi Tenggara yang diadakan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara pada bulan Juni, 2015. Setelah itu tahun 2016, memperoleh Harapan I pada kegiatan yang sama di bulan Agustus, 2016 yang berkategori SMA/Sederajat. Ia juga Juara I Lomba Cipta Puisi Tingkat Nasional (peserta SMA dan Mahasiswa) yang dilaksanakan Laskar Sastra-UHO, Juara I Lomba Cipta Puisi KRAKATAU I Tingkat Nasional (Kategori SMA dan Mahasiswa) yang dilaksanakan FORKOMMI-UGM. Tahun 2017, menjadi peserta ARKI (Akademi Remaja Kreatif Indonesia) Tahun 2017 dan naskahnya dibukukan Mizan Publishing House. Ammar, demikian sapaan akrabnya, Juara II pada Lomba Cipta Puisi KRAKATAU II Tingkat Nasional yang dilaksanakan oleh FORKOMMI-UGM, 2018. Terkini, ia Juara II pada Cipta Puisi, Festival Sastra FIB UGM yang dilaksanakan oleh Fakultas Ilmu Budaya UGM, 2018. Ia berkediaman di Jalan HEA Mokodompit, Lorong Salangga, Kota Kendari bersama kedua orang tua kandung. Ia bergiat sebagai anggota dan relawan di Pustaka Kabanti Kendari. Pada bulan Mei 2018, ia diundang pada Panggung Penyair Kabanti yang dilaksanakan oleh Pustaka Kabanti Kendari. Saat ini, puisi-puisinya sementara dalam proses penerbitan oleh Pustaka Kabanti.

Keterangan:
Foto Muammar Qadafi Muhajir saat membacakan puisinya di Panggung Penyair Kabanti 2018 (Dok. Pustaka Kabanti)20180512_204723