Oleh: Rahmat Adianto

Saya terkesima saat menghabiskan durasi dari film The Freedom Writers. Banyak inspirasi dan nilai sosial yang disajikan dalam film itu. Inspirasi dan nilai yang setidaknya dapat diterapkan dalam kehidupan kita sebagai makhluk majemuk atau plural. Secara psikologis, kehadiran tokoh utama memberikan banyak perubahan terhadap kejiwaan para siswa dengan mengajarkan arti keberagaman yang harusnya bersatu. Selain itu, film ini dapat ditinjau mengunakan pemikiran feminisme.
“Setidaknya saat kau mati membela diri, kau mati terhormat sebagai seorang pejuang.”

“Jadi jika kau mati, kau akan mendapat hormat? Begitu menurutmu? Apa kau tahu apa yang terjadi saat kau mati? Kau akan membusuk di dalam tanah. Orang-orang akan melanjutkan hidupnya, dan melupakanmu.”

Percakapan di atas, bagian perdebatan antara Jason Finn (Marcus) dan Hilary Swank (Erin Gruwell). Kalimat yang meluap dari lisan Erin Gruwell membuat siswa-siswa hening, berpikir, dan ada yang mengalirkan air mata. Siswa-siswa yang menghadapi berbagai bias sosial, mengantarkan mereka pada sebuah pemikiran singkat, seolah-olah hidup hanya berkisar pada cara hidup dengan bertahan pada ideologi rasisme.

Tragedi holocaust telah mendoktrin siswa-siswa itu untuk hidup dalam perpecahan dan mempertahankan egoisme perbedaan. Tragedi holocaust memberikan padangan tentang klaim bahwa bangsa Jerman adalah “ras unggul”, sementara “ras rendah” dilabelkan pada bangsa Yahudi. Klaim tersebut memberikan kekuatan pada siswa-siswa itu untuk komitmen dengan keyakinan bahwa kaum kulit putih dan kulit hitam tidak akan dapat berdamai. Pembantaian dalam tragedi holocaust terlalu kejam untuk dimaafkan oleh orang-orang kulit hitam. Bagi kaum kulit hitam, mereka yang berkulit putih adalah musuh yang selamanya akan dibenci. Demikianlah komitmen yang dipengang teguh oleh kaum kulit hitam.

Erin Gruwell atau yang disapa dengan panggilan Ms. G., hadir untuk berbagai perubahan integritas sekolah sekaligus perubahan ideologi siswa-siswanya. Setelah beberapa pertemuan di kelas bahasa Inggris, Erin masih dengan kebingungannya mencari cara mengubah perilaku hidup siswa-siswa yang telah menjadi bagian dari tanggung jawabnya itu. Dengan kegigihan dan semangat, Erin perlahan menemukan solusi demi solusi untuk mengubah karakter mereka. Erin mencoba untuk melakukan berbagai tahap untuk menarik simpati mereka. Sebagai tahap pertama ia menerapkan pendekatan emosional. Dari pedekatan tersebut, Erin membuat mereka perlahan jatuh cinta dan menerima kehadirannya sebagai guru mereka. Erin mengajari mereka cara meluapkan perasaan dengan menuliskan segala keresaan mereka, membelikan mereka buku yang yang berkaitan dengan kondisi kehidupan mereka, mempertemukan mereka dengan damainya kehidupan di sebuah tempat hingga membuat mereka takjub, hingga mepertemukan mereka dengan seorang saksi yang selamat dari pembantaian yang diceritakan dalam sebuah buku (Anne Frank).

Seiring waktu, siswa-siswa tersebut sadar bahwa ideologi dan egoisme yang mereka pertahankan selama ini adalah kesalahan besar. Mereka menyadari, bahwa mereka telah terpenjara dendam yang membutakan hati mereka. Setelah salah seorang siswa bercerita tentang kehidupanya, semua siswa tersentuh keharuan, lalu satu per satu menghampiri dan memeluk siswa yang baru usai bercerita. Momen inilah yang semakin mempererat ikatan emosional di antara mereka. Hingga dalam sebuah persidangan, April Lee Hernandes (Eva Benitez) menjadi saksi yang berpihak pada teman sekelasnya yang berkulit hitam, Armand Jones (Grant Rice) atas tudingan penembakan di sebuah toko. Eva mengambil keputusan yang bijaksana, ia menyuarakan kebenaran untuk membebaskan Grant, meskipun ia harus diasingkan oleh keluarganya yang terlanjur membenci kaum kulit hitam.

Di sisi lain, The Freedom Writers mengangkat persoalan feminisme. Misalnya dalam bebarapa adegan, perempuan digambarkan dengan kedudukan yang setara dengan laki-laki, bahkan lebih tinggi dari kedudukan laki-laki. Kebebasan dan esksistensi perempuan dalam sebuah adegan yang digambarkan secara implisit, bahwa perempuan dapat menjadi pemimpin di di sektor publik, misalnya dalam sebuah institusi yang dihadirkan dalam film ini. Selah seorang tokoh perempuan, Lisa Banes sebagai Karin Polachek dihadirkan menjadi pimpinan di Woordrow Wilson High School sebagai dewan pendidik. Erin juga menunjukkan eksistensinya sebagai perempuan yang dapat menjadi tauladan bagi guru dan siswa-siswa di sekolah tersebut. Ia telah mencintai kelas dan sisiwa-siswanya, walaupun kecintaannya itu membuatnya harus bercerai dengan suaminya, Patrck Dempsey (Scott Casey). Menurut saya, satu hal yang unik dari film ini adalah aktivitas perempuan lebih daminan dibanding aktivitas laki-laki. Misalnya Scott Casey sebagai seorang arsitek hanya sebatas disebutkan arsitekur, tetapi aktivitasnya tidak diperlihatkan dalam hingga film berakhir. Ia dominan dihadirkan terus berada dalam rumah, seolah kehadirannya hanya untuk melengkapi alur cerita, sebagai pemberi warna dalam hidup Erin.

Sebagai penonton, terasa ada pesan sublim tentang “revolusi mental” yang hadir di dalam film tersebut, saya rasakan perlahan-lahan mengaliri tubuh saya.
Selain Scott Casey, Scoot Glenn (Steve Gruwell) tokoh laki-laki yang dihadirkan sebagai ayah Erin. Peran dan aktivitas Steve juga tidak dominan dihadirkan dalam film ini. Sebagai seorang ayah, Steve dihadirakan hanya sebagai tokoh yang memberikan dukungan dan motivasi kepada Erin agar memanfaat berbagai potensi yang ada pada dirinya, untuk menemukan dan mencari jati dirinya sebagai perempuan yang hebat. Sekian.

Kendari, Maret 2020Rahmat Adianto Foto Baru

RAHMAT ADIANTO lahir di Desa Lawela, Batauga, Buton Selatan. Ia kini sebagai mahasiswa Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Bahasa dan Sastra, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Halu Oleo. Tahun 2014 dua judul puisinya termuat dalam antologi bersama Merindu Mentari di Bumi Anoa terbitan Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Ia juga aktif sebagai anggota Sanggar Seni Fantastik Butuni sejak 2014 sampai sekarang. Mahasiswa berkulit sawo cukup matang ini, menjelang semester akhir dan sedang mengembangkan Channel YouTube (Rahmat Adianto) yang berisi tentang kebudayaan, sastra, dan seni. Ia Salah seorang Pendiri Lingkar Relawan dan Literasi (LIANSI). Saat ini ia menjadi relawan-anggota Pustaka Kabanti Kendari.