Oleh: Syaifuddin Gani

Malam ini saya melewatkan dua pertandingan bola, Jepang vs Kolombia dan Polandia vs Senegal. Saya senang Jepang menang, tetapi kaget saat Polandia kalah.

Malam ini saya menerima dua tamu, kawan lama saya, Iksan dan Anca. Keduanya bersama saya dan belasan anak-anak Perumnas Wuawua, Kendari, tergabung dalam Sanggar Irmanda (Ikatan Remaja Masjid Nurul Hidayah), sekitar 16 tahun lalu.

Sanggar Irmanda latihan di halaman masjid serta pernah pentas di dalam masjid. Selain itu juga pernah pentas di halaman sekolah di dalam kompleks perumahan, Proselamat Teater Sendiri, dan Konawe.

Masa aktifnya Irmanda sekitar tahun 2002-2003, masa ketika aktif-aktifnya saya di Teater Sendiri (TS). Masa itu, banyak pula sanggar yang dibentuk oleh anak TS saat pulang kampung setamat kuliah. Didit Marshel di Uepai mendirikan Trapo, Adhy Rical di Lambuya mendirikan TAM, Iwan Konawe di Kolaka ikut mendirikan Teater 72 dan kemudian Sanggar Teko, Etsan mendirikan Teater MAN dan Sanggar Kerudung, juga Ruslan Manan di Lambuya mendirikan teater di sekolahnya.

Saat Jepang dan Senegal rayakan kemenangan, kami malah bernostalgia tentang pengalaman berteater dulu. Irmanda pernah mau pentas di halaman sekolah. Lampu sudah dipasang Iwan Konawe. Sore hari tiba-tiba kami menerima surat dari pemeran utama kami, seorang perempuan yang cukup mantap bermainnya. Isi suratnya, ia dilarang pentas oleh bapaknya. Ia berpesan agar kami jangan ke rumahnya, hanya karena surat pengunduran diri itu.

Padahal malam harinya kami akan pentas. Tiket sudah beredar, pagar sekolah sudah ditutup kain.
Kami panik dan sepakat harus bertamu ke rumahnya. Singkat cerita, kami datang dan memohon maaf ke orang tuanya jika selama anaknya latihan sudah mengganggu jadwal belajar dan lain-lain. Sang pemeran utama, saat kami berada di ruang tamu bersama orang tuanya, berada di kamarnya menanti putusan sidang. Akhirnya sang pemeran utama kami pun diizinkan main lagi. Kami pulang dengan riang gembira.

Salah satu adegan di lakon itu yang membuat kami terbahak-bahak adalah ada seorang pemeran preman yang akan memalak. Sebelum memalak, dia harus bakar rokok dulu. Nah, ia lalu keluarkan rokok dari saku dan berpaling ke belakang sambil nyalakan korek api. Sang preman kaget. Di hadapannya ada penonton dari jarak dekat yang ia kenali. Ternyata penonton itu adalah bapaknya. Preman kita kikuk. Bingung dan takut. Maklum, di rumahnya, dia haram menyentuh benda itu. Rokok yang sudah di bibir ia kantongi lagi. Api yang sudah nyala ia padamkan. Adegan memalak jadi kurang sangar. Preman kita tiba-tiba insyaf.

Kami merawat masa lalu sambil tertawa. Ada surat rahasia beredar seusai Festival Teater Pelajar (FTP) Teater Sendiri, tangisan seseorang saat peserta festival akan pulang ke kabupaten masing-masing, serunya Proselamat dan Ritus Bumi Konawe yang bunyi gongnya masih terus mengiang, juga pentas di Teater Empat Raha yang berkesan…..

Banyak kisah yang benar-benar sudah saya lupa. Ia telah terkubur lapis waktu. Semalam Iksan dan Anca mencoba membuka salah satu halaman kisahnya. Begini. Pernah ada kegiatan Teater Sendiri di Taman Budaya. Mungkin tahun 2003, katanya. Kalau mereka tak salah ingat, saat itu adalah kegiatan FTP atau kegiatan lainnya. Peserta datang dari berbagai kabupaten. Nah, ada peserta yang kekurangan logistik. Menurut Iksan, saya lalu kumpulkan anak-anak Irmanda, untuk pulang ke rumah masing-masing mengambil makanan, baik yang sudah siap disantap atau masih mentah. Anak-anak Irmanda ke rumah masing-masing lalu datang membawa, apa saja yang bisa dinikmati ke Taman Budaya. Berbagi kebahagiaan.

Cerita ini, benar-benar sudah saya lupa. Makanya saya mengawetkannya kembali di sini. Aksi anak-anak Irmanda saat itu, adalah bagian dari ajaran Kak Stone juga bagi kami di Teater Sendiri. Tahun-tahun itu (mulai sekitar 2000-an) suasana kekeluargaan dan soliditas para penggiat sastra dan teater begitu kental.
Cerita lainnya. Irmanda ikut pentas di Ritus Bumi Konawe (RBK). Salah satu penggagas RBK adalah seorang penyair Kendari yang di belakang namanya ada Konawe. Tahu ‘kan. Tapi saat itu, namanya masih berbeda. Irawan Tinggoa dan Iwan Comcom. Penggagas lainnya adalah Pak Darma. Rumah tempat Sanggar Anasepu sebagai pemilik kegiatan, bagian belakangnya berlantai dua. Ada kamar khusus peserta gondrong. Tentu yang nginap di situ adalah Galih, Iwan Comcom, Etsan, Ujang, dan kalo tak salah, Carmill Edo Kusno Odung. (Nama terakhir ini, rambutnya gondrong ke atas).

 

Tersebab kesibukan luar biasa saat RBK, kegiatan sampai pukul 00.00 malam yang dikawal polisi, lanjut diskusi sampai hampir Subuh, ada saja peserta yang tidak sempat mandi. Nah, terutama para banggona alias sabangka yang menempati kamar khusus itu, mandi ibarat meruntuhkan pesona tertentu.
…….
Sebenarnya, saya merasa sudah gemuk dan besar. Kedatangan dua sobat lama malam ini, saya tiba-tiba merasa kerdil. Keduanya tinggi dan lebar. Saya saja yang lebar dan tidak tinggi-tinggi. Iksan yang sawo matang kini bekerja di Papua. Kamis ia balik lagi ke daerah kerjanya. Saat ini ia pulkam menjenguk orang tuanya. Anca tetap di Kendari juga bekerja di sebuah perusahaan.

Enam belas tahun lalu itu sudah banyak perubahan yah, bro.

Kendari, 20 Juni 2018