Bertahan

Simpang usai bandara
Makassar menyambut
Hari ini yang pertama
Atau mungkin yang terakhir

Demikian adanya

Hidupnya selalu menerka-nerka
Tentang waktu yang cemburu
Atau barangkali membenci

Memanggil
Menjamin tak ada sesak
Untuk berlalu
Dari semua yang ada

Di dinding rumah sakit
Ratapan tulus menguar
Tak persis rumah ibadah
—dan waktu tak peduli

Ia tersenyum tak ada kesedihan
Untuk kesekian kali
Pergi lebih dulu
Sebelum waktu datang —menjemput

2023

Suara Bapak

Kopi buatan ibumu dengan sedikit Gula Jawa
Dan pepatah bapak kapan hari di beranda
Pisang goreng gurih habis dalam 30 menitan
O, Nak, mungkin kehilangan tak menyakitkan
Sebab dewasa ini waktu dapat kau taklukkan

Minggu kau terjaga pukul 4 dini hari
Sewindu setelah kepergian bapak
Untuk kesekian kali lelap menolak
Kini napasmu terburu-buru di lengking katak
Mengapa kau biarkan matamu sembab —lagi

Dari rumah tempat bapak ibumu menua
Kau mulai menyadari satu hal
: foto-foto bergelantungan hari ini bermakna
Tangan bapakmu merangkul
Dan kau melihat kegagalan di senyummu
Bahaya laten tak tersampaikan padamu
Bapak berbohong di sela seruput kopi hari itu
Kau menghakimi waktu yang terus berjalan
Tentang ingatan yang memudar dan terlupakan
Mengapa kehilangan begitu menyakitkan?

Saban hari kau menerka-nerka
Suara dari kata-kata
Dan kau tak lagi mengingatnya

Demikianlah ganasnya waktu
Yang tak berhenti berjalan
Di lorong ingatan yang kian usang

2023

Pulang

Lelucon membasahi kering di hatimu
Meski sesaat serupa angin yang bertamu
Ketika di meja Warung Kopi Daeng berdinding kayu
Menguar kegetiran dari mata-mata sayu

Matamu menembus kegersangan
Senyum-senyum merekah mereka
Dalam kebingungan kata menjamah waktu kota
Yang tak tahu malu mendikte kepala-kepala

Di antara mereka gemar memotret kehampaan
Yang ramai dalam kebisingan, lalu
Kau merekam kehampaanmu
Tumpah ruah dalam dinding kamarmu

Kau diksi suci dalam serapah lagu-lagu
Menemani jalan panjang menuju rumahmu
Yang sama sekali tak berujung
Menuju pulang

2023

Yang Mati Usai Bahagia

Tubuhku adalah pemakaman yang ramai
Saban hari orang-orang asyik berziarah
Untuk meminta kemakmuran dan restu

Dan kematian-kematian yang kau antarkan
Tanpa belas kasih, menujuku
Tapi apakah arti pemakaman tanpa kesedihan?

Langkahmu menghentak, dedaunan luruh
Bisikmu lirih
memintaku duduk memesan bahagia
Pada pohon-pohon kamboja

2023

NAUFAL FAJRIN JN, mahasiswa Sastra Inggris Universitas Negeri Makassar. Selain rutin menulis untuk TribunnewsSultra.com, juga menulis beberapa puisi, prosa, dan esai. Beberapa karyanya yang dimuat: Antologi Puisi Gurat-gurat Cinta (Poetry Publisher), sejumlah puisi (Pustaka Kabanti Kendari), cerpen “Kisah Maba yang Mesti Menggantung Hatinya di Atas Ranjang” (Estetikapers.com), cerpen “Teruslah Hidup, Adelio!” (Kallaliterasi.com), dan sejumlah ulasan ringan (Pronesiata.com). Mari bertukar surat melalui surel berikut naufalfjrn.jn@gmail.com.