Oleh: Maman S Mahayana

Pada tahun 1999, Taufiq Ismail atas nama majalah Horison membuat Program Pelatihan Membaca, Menulis, dan Apresiasi Sastra (MMAS), semacam pendidikan dan latihan (diklat) bagi guru-guru bahasa Indonesia SMA dan sekolah sederajat di seluruh Indonesia. Penyandang biayanya Dikdasmen Depdikbud. Pelaksana alias instrukturnya sebuah tim kecil yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan baca, keterampilan tulis, dan kepercayaan diri para guru bahasa Indonesia mengajar bahasa dan sastra Indonesia. Bergabunglah kemudian Prof Ahmad Slamet—dengan dua asisten, Holid Haras dan Yeti Mulyati, Ismail Marahimin –juga dengan dua asisten, Maman S Mahayana dan Cecep Syamsul Hari, dan Taufiq Ismail sendiri –juga dengan dua asisten, Agus R Sarjono dan Jamal D Rahman. Inilah tim MMAS yang paling awal.

Pelatihan pertama diselenggarakan di PPG Srengseng dengan peserta guru-guru SMA se-Jakarta. Pada sesi pertama, setelah upacara resmi dengan segala macam sambutan dari pejabat Depdikbud, acara pelatihan siap dimulai. Semua peserta berpakaian rapi, semiresmi, berbatik lengan panjang, berdasi, ada pula yang pakai jas. Wajah mereka tampak tegang, penuh disiplin, dan terkesan agak kaku. Boleh jadi itu tradisi penataran atau pelatihan guru-guru zaman Orba. Sementara para instruktur, berpakaian lebih santai. Tidak ada yang memakai batik. Ismail Marahim malah pakai sepatu sandal dengan pipa cangklongnya yang tidak pernah ketinggalan. Meski ketika menyampaikan materi, ia tak mengisap cangklongnya, tetap saja bawa cangklong ke dalam kelas sebagai peristiwa tidak biasa, nyeleneh!

Pada sesi pertama, Taufiq Ismail tampil sebagai pemberi materi. Agus dan Jamal belum hadir ketika itu. Jadi saya bertindak sebagai moderator. Tetapi, sebelum saya memperkenalkan narasumber, seorang peserta maju ke depan kelas. Ia berdiri tegak menghadap Pak Taufiq. Lalu, dengan suara lantang, peserta itu berteriak:

“Lapor! Kami guru-guru bahasa Indonesia se-DKI Jakarta, berjumlah … peserta, siap mengikuti pelatihan. Laporan selesai!”

Peserta itu lalu berbalik. Dengan sikap sempurna, ia kembali ke tempatnya.

Pak Taufiq terpana. Mungkin juga terpesona. Gaya militer sudah masuk ke ruang pelatihan guru. Semangat awal Pelatihan MMAS adalah menciptakan model pelatihan riang-gembira yang diharapkan merembet ke suasana pengajaran (bahasa dan sastra Indonesia) di dalam kelas, di hadapan para siswa. Maka, dengan santai, Pak Taufiq Ismail menjawab.

“Terima kasih laporannya. Tetapi, cara tadi cukup dilakukan sekali ini saja.Untuk selanjutnya, tidak perlu lapor-lapor segala. Kaya pelatihan hansip saja …”

Beberapa peserta ada yang gerrr … ada yang diam. Tetapi semuanya menyimak. Tertib dan kaku!

Sesi pertama—jika tak silap, berlangsung sampai jam istirahat, makan siang, dan solat (isoma).
***
Sesi kedua dimulai jam 13.00. Giliran Pak Ismail Marahimin yang akan memberi materi. Sebagai asisten, saya dan Cecep, ikut mendampingi. Kami masuk ruangan. Saya dan Cecep duduk di belakang peserta. Berbeda dengan sesi pertama, kini pakaian para peserta tampak lebih santai. Berbatik lengan pendek. Tidak ada dasi. Tidak ada jas.

Pak Ismail meletakkan cangklongnya. Ia duduk di meja. Wow! Ini kejutan kedua. Duduk di meja! Santai, kalem, dan dingin. Setelah say hello dan basa-basi sebentar, ia turun. Lalu menyuruh peserta paling ujung yang duduk di deretan pertama, ketiga, dan kelima, menyediakan selembar kertas. Peserta lain ikut sigap menyiapkan kertas, seolah-olah hendak ujian.

“Yang menyiapkan kertas, cukup tiga orang itu. Yang lain, tak perlu!” begitu perintahnya. Lalu, katanya lagi, “Nah, sekarang, coba Anda yang menyiapkan kertas tadi, bikin satu kalimat. Bikin satu kalimat! Bebas! Terserah! Satu kalimat!”

Ketiga peserta yang diperintahkan tadi, kelihatan berpikir keras. Mungkin bingung atau entah apa.
“Sudah?” tanya Pak Ismail.
“Belum, Pak!” jawab salah seorangnya.
“Lho, Anda kan guru bahasa Indonesia. Masa bikin satu kalimat saja, sulit? Oke! Sudah?”
“Ya, sudah Pak!” ketiganya menjawab serempak.
“Nah, sekarang, serahkan kertas itu ke teman sebelahnya. Bikin juga satu kalimat melanjutkan kalimat temanmu. Begitu seterusnya sampai ke ujung deretan kedua. Yang di deretan ketiga dan kelima, lakukan hal yang sama. Itulah yang disebut permainan menulis berantai. Kita akan melihat nanti, menulis tidak hanya perlu memperhatikan pilihan kata dan tata kalimat, tetapi juga logika.”

Setelah semua peserta kebagian membuat satu kalimat melanjutkan kalimat-kalimat sebelumnya, kami mengambil kertas itu dan menyerahkannya ke Pak Ismail. Sambil berdiri, ia lalu membacakan satu per satu deretan kalimat yang dibuat para peserta itu. Hasilnya?

Rangkaian kalimat itu jadi bahan tertawaan semua. Gak nyambung, aneh, dan lucu!

Begitulah kesan pertama yang ditampilkan Ismail Marahimin. Tetapi seketika, suasana pelatihan jadi cair. Wajah para peserta tidak lagi tegang dan kaku. Setelah itu, Pak Ismail menyampaikan beberapa hal penting dalam perkara menulis. Singkat. Tidak lebih dari lima—sepuluh menit.

“Ada pertanyaan?”

Semua peserta terdiam.

“Baik. Sekarang tulislah sebuah deskripsi tentang suasana di ruang kelas ini. Bebas. Ceritakan apa adanya. Jangan abaikan tentang apa yang dilihat, didengar, dirasakan, dipikirkan, dan seterusnya. Kalian boleh menyelesaikannya di ruang ini, boleh juga di luar. Jam 15.00 kurang lima menit, tugas dikumpulkan. Selamat bekerja!”

Para peserta dibuat bengong. Lalu ada pertanyaan tentang format tulisan, panjang—pendek, jumlah halaman, pencantuman nama, asal sekolah, judul, dan seterusnya. Jawaban Pak Ismail Marahimin, singkat saja, “Bebas!”

Setelah tugas dikumpulkan, sesi Pak Ismail selesai tepat pukul 15.00. Di kamar, kami memeriksa semua tugas itu. Karena semuanya menggunakan tulisan tangan, maka perlu perjuangan tersendiri untuk memeriksa dan memahami tulisan para guru peserta pelatihan itu. Setiap kalimat dicermati. Kesalahan-kesalahan dikoreksi. Beberapa kalimat aneh dan lucu, disiapkan untuk dipamerkan di depan para peserta. Hasilnya: tidak ada satu pun tugas yang bersih dari kesalahan. Ejaan dan tanda baca, diabaikan. Kalimat terseok-seok, logika jumpalitan. Nilai: titik satu untuk C, titik dua untuk B, dan titik tiga untuk A.

Begitulah, sesi Menulis—Ismail Marahimin, adalah sesi yang paling heboh: menjengkelkan, melelahkan, dan menyenangkan! Mabok Tugas! Pada setiap awal pertemuan, tugas-tugas para peserta dipereteli, dijentretkan kesalahannya, dan dibacakan kelucuannya. Saya dan Cecep diberi kesempatan sekitar lima—10 menit untuk mengomentari hasil koreksian masing-masing. Setelah itu, Pak Ismail akan menyampaikan ihwal topik yang akan dikerjakan, memberi beberapa contoh yang disediakan dalam buku yang disusunnya sendiri, Menulis secara Populer (Jakarta: Pustaka Jaya, 1999). Tidak lebih dari 30 menit, sesi itu diakhiri dengan tugas menulis lagi. Ketika para peserta mendengar perintah tugas itu, kekesalan dan gerutuan pun, bermunculan dari mulut beberapa peserta. Peserta lain pun menimpalinya dengan gerrr!

Pelatihan MMAS itu diselenggarakan selama 12 hari. Dapat dibayangkan, betapa kesalnya para peserta dalam mengikuti sesi menulis. “Tangan sampai lumpuh!” begitu komentar salah seorang peserta. Beberapa peserta ada yang meminta, agar sekali saja dalam satu sesi, tidak ada tugas. Tetapi Pak Ismail tetap bergeming. Tugas jalan terus.
***
Di antara mabok tugas itu, ada pula sesi “selingan” yang penting dan menggembirakan para peserta, yaitu hadirnya sastrawan tamu. Pada Pelatihan MMAS pertama itu, hadir Umar Kayam yang baru saja keluar rumah sakit dan Motinggo Busye yang ketika itu lebih religius dan kembali menekuni sastra serius. Keduanya menikmati benar interaksi dengan para guru.

Pertemuan antara sastrawan dan para guru ini, dampaknya luar biasa. Mereka tak sekadar baca karyanya, tetapi juga bertemu langsung dengan sastrawan idola, sastrawan kebanggaan mereka. Salah satu komentar peserta yang masih saya ingat adalah berikut ini: “Oh, ternyata para sastrawan hebat itu, begitu rendah hati. Ternyata juga, mereka sangat menghormati guru. Ya, Allah. Terima kasih sudah dipertemukan dengan Taufiq Ismail, Umar Kayam, dan Motinggo Busye!”

Di luar ruang pelatihan, guru itu berteriak-teriak agak histeris. Ia memeluk temannya. Keduanya meneteskan air mata! Sungguh, saya melihat peristiwa itu. Tak tahan, ikut meneteskan air mata juga.

Pelatihan selama 12 hari itu pun selesai. Tanpa mengurangi peran besar instruktur lain, Pak Ismail Marahimin yang paling punya kesan khas di mata para peserta: nyeleneh, menjengkelkan, menyenangkan, dan membuka mata para peserta, bahwa belajar menulis, ya, menulis! Belajar mengarang, ya mengarang!

Apa yang terjadi kemudian pada para instruktur dan sastrawan tamu?

Honor pun dibagikan. Selama 12 hari pelatihan, saya sebagai asisten instruktur, membayangkan sejumlah uang yang lumayan. Ternyata, di luar ekspektasi! Dan peristiwa luar biasa pun terjadi! Pak Ismail Marahimin menandatangani penerimaan honor, tetapi kemudian mengembalikannya lagi kepada Panitia.

“Maaf, kualifikasi saya tidak sebesar ini. Tetapi, jika Panitia tidak punya uang, silakan ambil honor saya. Untuk pelatihan berikutnya, Pak Taufiq, mohon maaf, saya tidak bisa ikut lagi. Saya kira, Panitia tidak menghargai profesionalitas. Saya tidak bisa bekerja sama dengan orang-orang seperti itu. Terima kasih!”

Saya bengong! Cecep terdiam. Pak Taufiq Ismail terpana. Tampak, Pak Taufiq menahan tangis—atau menahan kemarahan? Setelah Panitia meninggalkan kami. Kami berembuk.

Setelah diketahui, berapa honor yang diterima Umar Kayam, Motinggo Busye, Profesor Ahmad Slamet, dan instruktur lain, kami berkesimpulan: Panitia telah memangkas, sekitar 70—80 persen honor para instruktur dan sastrawan tamu. Itu penganiayaan! Wajar jika Pak Ismail Marahimin tak mau menerima dan malah ikhlas menyumbangkannya untuk Panitia.

Setelah berdiskusi, diputuskan Program MMAS tidak perlu dilanjutkan lagi, jika honor untuk para instruktur dan sastrawan tamu, tidak sesuai dengan yang diusulkan. Saya melihat wajah Pak Taufiq Ismail begitu kusut menahan tangis dan kemarahan. Pak Ismail Marahimin pun meninggalkan kami, tanpa membawa uang seperak pun! Dalam hati, saya menjerit! Memohon maaf. Pak Ismail Marahimin, maafkan saya. Saya belum sanggup mengikuti tindakan Pak Marahimin. Honor kecil ini, bagaimanapun, ditunggu orang rumah. Maka, terpaksa tidak saya kembalikan pada Panitia!

Maafkan saya …

Sebagai junior, saya bangga punya senior yang punya sikap! Ia menentukan harga berdasarkan kualitas yang dimilikinya. Jika honor itu dianggap melecehkan kualitas dirinya, ia berani mengembalikan pelecehan itu kepada Panitia. Dalam banyak hal, Pak Ismail adalah sosok kompromistis, tetapi dalam hal lain yang menyangkut harga diri, ia tegas: tidak ada kompromi!

Dua minggu kemudian ada berita, Program Pelatihan MMAS dilanjutkan. Semua kekurangan honor akan dibayarkan. Pelaksana diserahkan kepada pihak PPG—konon, Ketua Panitia sebelumnya, dimutasi entah ke mana. Saya tetap sebagai asisten Pak Ismail Marahimin. Belakangan, entah pada Program MMAS yang ke berapa, Sunu Wasono dilibatkan menggantikan Cecep Syamsul Hari yang masuk pada tim apresiasi sastra. Pelaksanaannya juga berpindah-pindah bergantung pada sasaran pesertanya per provinsi, misalnya, Banjarmasin untuk peserta guru-guru di Kalimantan Selatan. Kota-kota lainnya, di antaranya, Cipayung—Bogor, Jakarta, Makassar, Malang, Mataram, Medan, Palembang, Pekanbaru, Yogyakarta, dan entah kota apa lagi. Para pesertanya yang semula diserahkan kepada Dinas Pendidikan setempat, kini ditentukan berdasarkan kriteria, yaitu guru muda yang berprestasi!

Yang tidak lucu adalah waktu pelaksanaan. Awalnya 12 hari, lalu 10 hari, diperpendek lagi jadi seminggu dengan waktu efektif enam hari. Program MMAS berlangsung entah sampai tahun berapa, sebab pada akhir Agustus 2008, saya pergi ke Korea Selatan sehingga tidak terlibat lagi dalam perancangan dan pelaksanaan program itu.

Pada musim dingin pertama di Seoul menjelang pergantian tahun, saya mendengar berita duka yang mendalam: senior yang membanggakan, guru istikomah, sahabat yang baik dan setiakawan, dan orang baik itu, Ismail Marahimin, selesai menjalankan tugasnya di dunia, 26 Desember 2008. Sungguh, banyak hal yang saya pelajari dari sosok Ismail Marahimin: sikap, integritas dan dedikasi! Ia telah meninggalkan sebuah warisan penting bagi dunia pendidikan di Indonesia, khususnya di FIB-UI: Penulisan Populer!
***
Program Pelatihan MMAS itu keren sebagai pemantik atau entah sebagai apa! Jika kini banyak sastrawan dan penyair terkemuka di Indonesia yang (kebetulan) pernah mengikuti program itu, prestasi dan capaian mereka lebih ditentukan oleh diri mereka sendiri, bukan oleh pihak lain! Tulisan ini bukan untuk mengungkit masa lalu, melainkan sekadar untuk mengenang, bahwa pernah ada sosok bersahaja bernama Ismail Marahimin yang kerap bikin para peserta program ini (dan mahasiswanya di FIB-UI), jengkel, kesel, malu, seneng, gerr, bangga, dan mabok tugas! Satu hal lagi yang saya kagumi pada sosok Ismail Marahimin adalah sikap dan integritasnya! Ia harus bersikap ketika ia melihat, ada ketidakbenaran. Bagian sikap itulah yang makin jarang saya jumpai pada diri sastrawan kita sekarang!

Terima kasih, Pak Ismail Marahimin telah menjadikan saya cantriknya selama 10 tahun! Tenanglah di Surga. Alfatihah …