Bayang-Bayang Sastra Marginal

Oleh: Badaruddin Amir

Pada seminar sastra yang diselenggarakan oleh HMJ Bahasa Sastra Indonesia dan Daerah Fakultas Pendidikan Bahasa dan Sastra UNM beberapa tahun silam, Prof. Dr. Hj. Sugira Wahid, MS (Alm) sengaja tidak menawarkan solusi bagi isu “sastra marginal” yang menjadi sentral pembahasan makalahnya. Isu sastra marginal yang muncul bersamaan dengan munculnya isu krisis sastra pada awal tahun 1950-an hingga akhir tahun 1960-an ini merupakan fenomena sastra yang agaknya akan berlangsung sepanjang sastra masih diciptakan orang, meski dengan terminologi yang beraneka ragam. Akan tetapi isu ini tidak perlu menakutkan kalangan sastrawan daerah atau sastrawan lokal yang menjadi “objek penderita” dari segala pergeseran nilai budaya.

Dalam makalahnya yang bertajuk “Sastra Marginal: Apa, Mengapa dan Bagaimana?” guru besar sastra Universitas Negeri Makassar ini memaparkan secara panjang lebar pengertian sastra marginal, termasuk di dalamnya sifat-sifat yang menandai setiap “gejala” marginalitas itu. Menurut beliau, marginalitas dalam kesusastraan dapat diartikan dalam dua tataran nilai. Yakni tataran sosiologis dan tataran ide (ologis). Tataran sosiologis mengacu pada posisi karya sastra atau kegiatan sastra yang terkesampingkan atau tidak diperhitungkan secara sosiologis-politis dalam peta kesusastraan yang melingkarinya pada kurung waktu tertentu. Dalam tataran ini pengertian marginalitas juga secara abstrak mengacu pada posisi pemikiran, wawasan dan sikap yang kritis terhadap apa yang berada pada posisi tengahan. Kata sifat marginal itu sendiri menurut kamus berasal dari kata “margin” atau tepian kertas di luar wilayah yang dipenuhi tulisan atau cetakan, yang mengundang dan mengandung konotasi “tak diperhitungkan”.

Menurut mahaguru kritik sastra ini, penyebab marginalitas yang bersifat sosiologis itu adalah: (1) terisolasinya karya (sastra) dari jangkauan pembaca dan lembaga yang dapat mengukuhkan karya tersebut, (2) adanya diskriminasi atau prasangka terhadap sastrawan atau kelompok tertentu karena posisi sosial, jenis kelamin atau ideologi atau identitas budaya yang dimilikinya. Sementara marginalisasi sastra menurut tataran ide (ologi) ialah yang berkaitan dengan isi dan bentuk karya sastra tersebut. Penyebabnya dapat berupa: (1) karena mutu/sifat sebagai karya sastra dipertanyakan, (2) karena membelot dari tradisi atau nilai-nilai estetik kesusastraan yang berlaku, (3) karena melanggar tabu-tabu sosial, (4) karena ideologi yang mendasarinya tidak sesuai dengan ideologi yang berlaku.

Faktor-faktor penyebab yang dikemukakan di atas bisa tumpang tindih antara satu dengan yang lain. Juga sifat-sifat yang mendasarinya sangat temporal/historikal dan relatif. Artinya, sastrawan A yang berada pada posisi “marginal” saat ini bukan tidak mungkin akan menduduki posisi “pusat” atau posisi “elit sastra” pada masa-masa yang akan datang. Juga demikian sebaliknya.

Sejarah sastra Inggris mencatat penyair Emily Dickinson (1830-1886) yang mematahkan alunan ritme puisi konvensional, mendapat kecaman karena pembelotannya dari tradisi atau nilai estetik yang berlaku. Puisi-puisi Dickinson tidak pernah mendapat perhatian para kritisi semasa ia hidup. Karya-karyanya baru dihargai orang setelah Dickinson meninggal. Hal yang sama juga dialami oleh penyair muda John Shadwell yang gemilang masa depannya, namun telah dihancurkan oleh penyair dan kritikus John Dryden (1631-1700) yang telah menyandang predikat “elit sastra yang berkuasa pada zamannya. Dryden meyakinkan masyarakat sastra betapa jeleknya sajak-sajak Shadwell sehingga Shadwell jadi tersingkirkan dan terpojok ke posisi “penyair marginal”. Untung karya yang baik tidak bisa dimatikan dengan diskriminasi dan politik saja. Baik Dickinson maupun Shadwell pada akhirnya mendapat pengakuan kembali dari masyarakat sastra sebagai sastrawan besar yang menempati posisi “mainstream” dalam sejarah kesusastraan Barat.

Di Indonesia marginalisasi sastra boleh disebut dimulai pada awal berkembangnya ragam karya sastra majalah dan cerita silat sekitar tahun 50-an. Pada masa itu isu krisis sastra merebak. Terutama setelah dimuatnya tulisan Sudjatmoko pada majalah Konfrontasi pertengahan tahun 1954. Dalam tulisan tersebut Sudjatmoko secara tandas mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis akibat dari adanya krisis kepemimpinan politik.

Menurut Sudjatmoko masalah sastra dan kebudayaan tidak bisa dipisahkan dari masalah politik yang membentuknya. Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sastra Indonesia sedang mengalami krisis karena yang ditulis hanya cerpen-cerpen kecil (pinggiran) sekitar psikologisme perseorangan. Tidak ada roman- roman besar berbobot sastra yang memenuhi ukuran sebagai roman standar.

Majalah-majalah yang terbit pada waktu itu seperti Kisah, Mimbar Indonesia dan lain-lain menampung karya-karya dari penulis-penulis sastra yang potensial seperti Mahatmanto, Rijono Pratikto, Nugroho Notosusanto dan lain-lain. Namun di luar jalur sastra majalah ini muncul pula dengan marak karya-karya sastra yang tergolong “marginal” dari pengarang-pengarang produktif terutama dalam jenis cerita-cerita silat. Hal ini muncul setelah pemerintah Orde Lama tumbang dan digantikan oleh pemerintah Orde Baru. Tema-tema perjuangan revolusi pisik menentang penjajah berakhir. Sebagai ganti pengarang- pengarang produktif mulai menggarap tema-tema sifat lokal maupun asing. Nama-nama pengarang produktif seperti S.H. Mintaraja menjadi terkenal melebihi pengarang-pengarang sastra serius. Karya-karya cerita silatnya seperti Pelangi di Langit Singasari, Naga Sasra dan Sabuk Inten dan sebagainya memenuhi rak-rak persewaan buku pada masa itu.

Sebenarnya munculnya “sastra marginal” ini bukan baru dimulai pada tahun 1950-an Kalau kita mau menjajaki awal mulai munculnya “sastra marginal” maka kita harus mundur lagi sampai ke awal abad XX. Pada masa itu tradisi pemuatan karya-karya sastra di surat kabar sudah dimulai. Di Bandung misalnya terbit surat kabar Medan Prijaji yang memuat cerita cerita bersambung berbentuk roman. Cerita-cerita itu ditulis dalam bahasa melayu, mengisahkan tentang kehidupan masyarakat pada masa itu. Pengarang- pengarang yang terkenal seperti H. Moekti, Rd. Mas Tirtoadisurjo, Mas Marko Martodikromo, membuat cerita-cerita marginal yang bersifat menghasut rakyat untuk berontak dan karena itu, secara populer disebut pula sebagai “bacaan liar”. Bahkan menurut apa yang dapat kita jejaki “maginalisasi sastra” itu juga sudah ada pada zaman Pujangga Melayu Klasik. Raja Ali Haji seorang pujangga Melayu Klasik yang terkenal dengan “Gurindam XII” nya mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan dari pihak penguasa pemerintahan Kolonial. Karya-karyanya diremehkan oleh kritisi sastra Inggris dan Belanda karena ia adalah seorang ulama nasional. Lain halnya dengan Abdullah Bin Abdul- kadir Munsyi. Pengarang besar ini senantiasa mendapat perlakuan yang menyenangkan dari pihak penguasa kolonial dan karya-karyanya mendapat perhatian para kritisi sastra karena Abdullah adalah pengagum segala sesuatu yang bersifat Inggris atau Barat.

Masa keemasan “sastra marginal” di Indonesia menurut pengamatan Sugira Wahid dimulai bersama dengan munculnya berbagai ragam karya sastra pada tahun 1970-an. Pada era penciptaan ini banyak karya sastra berupa novel pop, puisi “mbeling”, puisi kontemporer, sastra warna lokal, dan sastra “tegal”, bermunculan.

Genre sastra tersebut pada dasarnya memang lebih mewarnai khasanah sastra Indonesia bahkan oleh H.B. Jassin dinilai positif dan dapat menjadi jembatan untuk memasuki sastra yang lebih serius namun sebagian “elit sastra” kita masih menilai bahwa bentuk-bentuk penciptaan karya sastra dengan semangat “pemberontakan” atau dengan semangat “eksperimen- tal” saja demikian itu tidak lebih dari sastra marginal yang kehadirannya pada gelanggang sastra boleh disepelekan.

Hal inilah yang menciptakan jurang pemisah antara apa yang disebut “elit sastra” yang kebanyakan bermarkas besar di kota dan menguasai produksi penerbitan sastra dengan kalangan sastrawan “marginal” yang terpuruk di daerah-daerah dan membentuk komunitas-komunitas sastra tersendiri.[]