Oleh: Noorca M. Massardi

Senin, 4 Maret 2024, ibu mertua Yudhistira ANM Massardi, Mbak Dini, meninggal dunia karena sakit setelah dirawat beberapa waktu di RSUD Kota Bekasi. Jenazah ibunya Siska (istri Yudhis), itu akan dimakamkan di TPU Pedurenan, Bantar Gebang, setelah jenazah yang disemayamkan di rumah Yudhis, itu disalatkan di Masjid Darul Fallah dekat rumah, Pekayon Indah, Bekasi.

Saya dan Rayni, istri saya, tiba di rumah Yudhis sekitar pukul 11.20. wib. Di ruang tamu, jenazah Mbak Dini yang terbujur di ruang tamu, dan dikelilingi para pelayat, sudah siap untuk setiap saat diberangkatkan ke masjid. Tapi Yudhis dan keluarga batihnya tidak tampak. Kami diisyaratkan untuk masuk ke kamar Yudhis. Begitu pintu terbuka, tampak pemandangan panik. Yudhis terbujur di tempat tidur. Tubuhnya menggigil hebat. Ia dikelilingi Siska, perempuan yang ia nikahi pada 1985, serta ketiga anaknya, Iga Dada Massardi, Matatiya Taya, dan Kafka Dikara. Sementara keponakan kami Kakung dan adik kami Adhie M. Massardi ada di sisi lain. Mereka memijat dan menggosokkan minyak balur, sambil tak henti membaca doa. Yudhis sendiri terus mendesahkan: “dingin…! dingin…! dingin…!” di tengah dzikir dan tarikan napasnya yang tersengal-sengal. Selang oksigen masih terpasang di lubang hidungnya. Sementara isi tabung besar oksigen setinggi satu meter lebih, itu sudah hampir habis dan pesanan yang baru masih dalam perjalanan.

Saya merasa shock berat. Kejadian dan pemandangan di rumah itu, terasa sangat absurd dan surealistis. Saat itu, di ruang tamu ada jenazah yang terbaring dan siap dimakamkan, tapi pada saat yang sama tubuh saudara kembar saya Yudhis sedang menggigil hebat. Dan, mengingat kondisi dan kemampuan pompa jantungnya yang tinggal 40 persen, sebagaimana kata dokter jantungnya, saya tak mampu membayangkan apa yang akan terjadi, bila saat itu jantungnya berhenti berdenyut hingga akan ada dua jenazah di rumah yang sama. Saya hanya bisa berdoa, dengan sungguh-sungguh, semoga Allah swt tidak memanggil Yudhis saat itu. Karena saya sungguh tidak siap, dan belum ikhlas melepaskan Yudhis. Apalagi, tujuan kedatangan saya siang itu hanyalah untuk mengantarkan jenazah ibu mertuanya.

Alhamdulillah, setelah sikon yang gawat itu, perlahan kondisi Yudhis berangsur membaik. Tabung oksigen baru sudah datang dan dipasang. Saya & Rayni, Adhie & Dewi, Antho adik kami nomer delapan, dan Kafka, tetap menjaga di kamar. Sementara Siska, Iga dan Taya membawa jenazah Mbak Dini ke masjid, lalu ke pemakaman, dan kembali ke rumah beberapa jam kemudian. Yudhis pun bisa bangun, duduk, dan minta dibawa keluar karena merasa capek. Ia duduk di kursi roda menghadap meja makan, terus minum air hangat, dan makan sedikit menu makan siang yang telah dipesankan Iga Massardi, putra sulungnya yang terkenal dengan kelompok musiknya Barasuara. Yudhis masih bisa tersenyum dan kami sempat berfoto ria, sebelum kemudian bisa pulang dengan lega. “Semoga dia sabar dan ikhlas. lo juga, Noor.” Pesan Jajang C. Noer via WA beberapa waktu kemudian. “Aku belum siap kehilangan… 😭🙏😰” jawab saya. “Karena itu gue bilang harus sabar, dan ikhlas… C’est la vie. C’est notre vie…” jawab Jajang lagi. Itulah hidup. Hidup kita.
***
Beberapa bulan sebelumnya. Kamis 11 Mei 2023. Saya & Rayni bertemu Yudhis & Siska di sebuah cafe di F/X Senayan. Bersama Carry Nadeak dan Bambang Sulistyo, sahabat dari majalah Gatra, kami membahas perhelatan Perjalanan Cinta 70 Tahun Noorca & Yudhis yang rencananya akan diselenggarakan di Galeri Indonesia Kaya (GIK) pada Rabu, 28 Februari 2024. Acara itu digagas Yudhis sejak HUT kami ke 69 pada 28 Februari 2023. Saya sendiri sesungguhnya tidak begitu antusias, karena publik pembaca kami sudah menipis. Sudah fade-out. Terutama karena faktor usia. Generasi baby boomers (kelahiran 1946-1964), dan Gen X (1965-1980) yang merupakan basis pembaca kami sudah tidak aktif lagi. Sementara Gen Y Millenials (1981-1996) dan terlebih Gen Z (1997-2012) yang tumbuh dan dibesarkan oleh gawai elektronik, nyaris tidak mengenal kami, dan tidak lagi membaca dan membeli buku, kecuali novel-novel pop kelahiran aplikasi internet.

Namun Yudhis tetap bersemangat. Karena dari pengalamannya roadshow membaca dan pentas musikalisasi puisi sajak-sajaknya di pelbagai komunitas dan kampus seantero kota di Indonesia, yang dilakukannya sejak 2018, masih ada publik yang antusias. Dan ia masih dapat menggaet beberapa sponsor untuk biaya transportasi dan akomodasi. Saya jawab, aku ikut saja tapi tidak dapat membantu apa-apa. Selain karena sibuk sebagai Anggota Lembaga Sensor Film (LSF) periode 2020-2024, juga karena pergaulan saya memang sangat jauh dari badan, lembaga, kementerian, perusahaan dan pribadi yang memiliki cukup dana dan punya antusiasme membantu kegiatan literasi sastra khususnya puisi. Sementara tak ada satu pun penerbit yang memiliki biaya promosi apalagi untuk roadshow. Sejak dulu. Setiap kali saya dan Rayni roadshow mempromosikan buku (novel, kumpulan puisi atau kumpulan cerpen) kami yang terbaru, seluruh biaya transpor dan akomodasi selalu kami tanggung sendiri. Bahkan kerap kali buku kami tidak dijual di lokasi, tapi kami hadiahkan gratis sebagai kenangan kepada para sahabat dan fans yang datang, yang kondisi ekonominya rerata tidak lebih baik dari kami.

Kami bersepakat untuk menerbitkan buku baru, apa pun bentuknya sebagai penanda “Usia 70 Tahun” di acara itu. Kami akan menerbitkan buku kumpulan puisi masing-masing sebanyak 70 judul puisi. Yudhis yang setiap hari selalu menulis puisi, saat itu sudah punya stock lebih dari 100 judul puisi. Sementara saya baru ada belasan judul pelbagai tema. Setelah merenung beberapa saat, saya sampaikan saya akan menulis 70 judul puisi tentang Paris. Karena sejak tinggal di Paris (1976-1981), hingga kembali ke Jakarta dan sampai saat ini, saya tidak banyak mengabadikan Paris dalam karya. Selain dalam beberapa novel dan beberapa judul puisi. Tapi saya ingatkan sekali lagi pada Yudhis, jangan terlalu berharap pada hasil penjualan buku di lokasi. Bisa terbit pun sebagai buku, bila ada sponsor untuk itu, sudah sangat bagus. Lagi pula, industri buku, sebagaimana industri media cetak saat ini sedang atau bahkan sudah dying, sekarat, seiring pertambahan jumlah gawai dan populasi Gen Z dan Gen Alpha (kelahiran 2010 – sekarang). Kecuali beberapa penerbitan pers dan buku yang masih bertahan berkat pengelolaan warisan modal, aset, dan diversifikasi usaha yang baik sebelumnya. “Gak apa-apa, mungkin ini tahun-tahun terakhir kita masih bisa menerbitkan karya dalam bentuk buku cetak. Warisan untuk anak cucu dan generasi nanti. Biar ada yang masih bisa dikenang secara fisik,” kata Yudhis.

Sampai tenggat Oktober 2023, saya baru selesai menulis 50-an judul puisi tentang Paris. Alhamdulillah awal Desember 2023 saya mendapat tugas dari LSF, bersama beberapa anggota LSF lainnya, untuk memenuhi undangan dari Lembaga Sensor serupa di Paris. Walau hanya tiga malam di Paris, saya berhasil mengaktualisasikan diri dan tempat, hingga pada tenggat akhir Januari dapat terkumpul 70 judul puisi khusus tentang Paris.

Sementara Yudhis mulai September 2023 sudah melakukan Safari Sastra Yudhistira (SSY) ke Kediri, Tulungagung, Blitar, Trenggalek, Pacitan bersama Siska dan musisi Trio Gayatri. Lalu lanjut nonstop SSY Puisi Gugat Politisi (Desember 2023 sampai Februari 2024) bersama Renny Djajoesman dkk, ke Bandung, Ciawi, Tasikmalaya, Jakarta, Bandung, Jakarta, Jogja, dan terakhir di Mungkid, Magelang (07 Februari 2024). Sebelumnya, SSY I dilakukan Maret 2022 ke Kendal, Semarang, Magelang, Jogja, Solo, Tegal. Lalu SSY II (Juni 2022) ke kampus Unper, IAILM (Tasikmalaya), Unpad, UIN, Unisba, Unpar dan UPI Bandung. Dan SSY III (Februari 2023) ke Cirebon, Pemalang, Pekalongan, Demak, Kudus, Jepara, Pati, Rembang.

Sepulang dari Magelang awal Februari 2024 itulah, kondisi fisik Yudhis drop. Tubuh lemas. Napas sesak. Badan kerap demam dan menggigil. Hampir setiap dua hari pindah dan ganti rumah sakit di kawasan Bekasi. Fokus pada jantung dan dampak ikutannya. Ternyata, operasi jantung, ganti klep, bypass, pacu jantung, yang sukses dilakukan 10 tahun lalu, kemampuannya sudah merosot hingga kurang dari 40 persen. Energi yang dipacu Yudhis untuk keliling Jawa sejak Maret 2022, naik-turun tangga, hingga awal Februari 2024, itu pun segera berbuah: pompa jantung Yudhis mengalami keletihan yang sangat. “Mulai hari ini, stop semua perjalanan darat yang meletihkan itu. Kalau mau keliling Indonesia kan bisa lewat zoom…!” kata saya. Yudhis mengangguk-angguk serius sambil tersenyum.

Beberapa hari sebelum acara 70 Tahun, itu kondisi Yudhis tetap memburuk. Saya sudah menyarankan kepada tim agar acara itu dibatalkan. Tapi katanya, Yudhis masih semangat untuk tampil. Akhirnya, dalam kondisi kesehatan minimalis, Yudhis bisa muncul bersama saya di auditorium GIK. Kami resmi meluncurkan masing-masing satu kumpulan puisi berisi 70 judul. Saya Dari Paris untuk Cinta dan Yudhis Akhirnya Kita Seperti Dedaun, dengan sponsor Penerbit Mata Pelajar Indonesia, Tasikmalaya.

“Alhamdulillah akhirnya saya sampai juga pada tanggal hari ini, mencapai usia tepat 70 tahun,” kata Yudhis dalam sambutannya disertai tangis yang tertahan. Lalu, ia membacakan puisi Akhirnya Kita Seperti Dedaun, sambil duduk dan menahan emosi. Sementara saya membacakan dua puisi Au Premier Jour dan Cafe. Lalu, karena para sahabat penonton menantang kami agar membacakan puisi berdua, supaya bisa tampil dalam satu frame kamera, kami pun setuju untuk masing-masing membacakan puisi sendiri. Secara improvisasi, kami membacakan puisi dalam duet bergantian setiap kalimat. Yudhis memilih Dari Sebuah Kafe, dan saya membaca Enfin (Akhirnya), judul puisi saya yang ke-70. Saya memulai dengan kalimat pertama kemudian disambung oleh Yudhis:

Enfin
Dari Sebuah Kafe
paris kita pasti berbeda
Aku lihat aneka kehidupan melintasi jalan kopi
dengan siapa yang tinggal atau melancong
: Pahit robusta, asam arabika
karena di sana kita mengawali segala
Dihirup dari sedih ke arah resah
menggali bekal dan menyepakati kehidupan
Sebagian membawa americano
tak ada tempat yang dapat menggantikan
Sebagian membawa cappuccino
kecuali bali yang datang
(Kecewa dan bahagia, mungkin hanya kadar susu)
kemudian tempat yang selalu memberi kebebasan
Di kafe ini, semua garis melengkung:
juga menanam ilham dan menuangkan cinta
Aku minum kopi dan merokok
maka bila kita renungi masa silam
Yang lain minum kopi dan merokok
atau mengarungi masa yang akan datang
Mereka bicara banyak
paris dan bali selalu menjadi rujukan
Kembali kepada kerja
bagi semangat mimpi dan kemandirian
Aku membaca haiku
paris dan bali kita memang berbeda
Kembali ke masa lalu
dengan yang tinggal atau melancong ke sana
Tapi Waktu adalah garis paralel
karena di sana kita telah dan akan merampungkan segala
Seperti jalan kereta di terowongan
menggali cinta dan menyepakati kebersamaan
Dengan kepekatan espresso
tak akan pernah ada lagi, ma cherie
anugerah yang lebih indah dari itu
bagi kita berdua, mon amour
bagi cinta dan kasih kita
Selamanya

Bintaro, 060424

Sumber: Facebook/Noorca M. Massardi, 28 April 2024. Pemuatan di Blog Pustaka Kabanti atas seizin penulisnya.