KONAWE, PINTU YANG TERBUKA
: Untuk Firman Venayaksa

Di Konawe, pintu-pintu selalu terbuka
Menganga dan mengulum yang terluka
Siapa yang bertandang, disongsong aduhan gong
Oleh tangan tak nampak, oleh hati tak berjarak

Di Konawe, jendela-jendela selalu terjaga
Sebab di sini, masih terdengar suara tetangga
Darah dan gembira masih satu rumah
Sesiapa bernafsu ganjil, di leher kerbau, syahwatnya terjagal

Jika luka leleh, dicuci di arus Sungai Konaweeha
Menjelma pohon-pohon abadi di hutan Lambuya
Jika pisau hunus, menjelma air doa-doa
Menjadi ketabahan Yunus di lingkar Kalosara
Dingin api di mulut Pabitara
Tetapi jika aib terburai, kampung ditangisi sembilan sungai
Semua diam, luka jadi mendiang, berdarah dalam penyembelihan
dalam penyaliban Mosehe Wonua

Kawan, engkau tertawan di sungai Nun
Engkau bidik hilir, di lensamu sungai diseberangi Hidir
Kita terpana purnama segi empat, sebuah alamat
Lensamu takluk di isyarat yang tak tampak
Di langit Konawe, negeri serupa alam hikayat

Wahai jika ada yang bertandang
Orang Tolaki molulo, mengekalkan kedatangan
Bergenggaman jari-jari, bersahutan mata kaki
Mata dan tubuh beradu dalam rakaat gerak
Kelenjar syahwat memuih bersama dengusan keringat
Lenguhan gulita memekat, merajam malam yang sekarat
Seumpama bumi andaikan matahari
Merayakan hari Penciptaan

Wahai jika ada yang pergi
Pongasih amsal kepahitan sang kekasih, kebeningannya yang tandas, mengair jadi rasa belati
Direguk, mengabadikan kehilangan
Tapi di tiap pertemuan dan perjamuan
Namamu disebut sebagai Oheo sebagai Anaway
Menjelma Oanggo, lagu abadi dalam darah dalam sejarah Konawe

Di hari penciptaan Konawe, bumi leleh
Oheo kekalkan silsilah cintanya menjadi syair pedih Pabitara
Anaway awetkan perawan dan rajah tubuhnya menjadi bandul Kalosara
Meski tubuh dan darah, memutih memerah, di anyir silsilah, di kesumat sejarah
Agar di Bumi Konawe, sirna burai barah, doa darah, selamanya

Konawe, 24 Juni 2013

Kalosara: Simbol adat Suku Tolaki dalam bentuk lingkaran rotan
Pabitara: Juru bicara dalam pernikahan atau ritual adat lain
Mosehe Wonua: Ritual “mencuci” kampung
Molulo: Tarian khas Suku Tolaki
Oanggo: Sastra lisan Suku Tolaki
Pongasih: Minuman khas Suku Tolaki dari sulingan air beras

DOKUMEN BUTON

Saat kapalmu bertaut di teluk
Engkau disambut kepala naga, agar bagimu jiwa raga
Disafaatkan seribu doa-doa
Didendangkan keajaiban pamali

Mata naga menyala, debur ombak bercahaya
Memahat wajah Butuni, di keremangan istana
Di lembar pustaka, abjad yang linang dalam pusaka

Di Dermaga Murhum kita saling mencari
Nafas menggelantung di jangkar kapal
Riwayat sekelam cincin batu aspal

Kuselusuri jejakmu di aksara Wolio
Kutemukan Arung Palakka pada tahiat meriam
Jejak Belanda dalam silang sengketa, sulang singgasana
Sisa mesiu mengepul, mengepung Hasanuddin
Sebab Makassar dan Ternate amsal laut menggelombang
Dan Buton tak pernah tenang tiada tidur
Dalam patroli panjang labu rope labu wana

Wa Ode
Kuburu engkau di Keraton Wolio, di bukit-bukit batu Baadia
Engkau mematung jadi penghormatan abadi naga di Kamali
Sukmamu disebut Idrus Kaimuddin sebagai Bulan yang Tenang
Kotamu dibangunkan Amirul Tamim
Dirindukan pelaut, lalu kapal-kapal bertolak dan berlabuh

Di bukit Baadia, kata-kata abadi, pesan-pesan terberkati
Digali dari meditasi khusu’ manusia Buton
Biar harta raib asal manusia tiada aib
Walau manusia guyah tetapi negeri terjaga
Biar negeri papa asal pemerintah di titian adil
Tetapi biar pemerintah rubuh asal tegak tiang agama

Tetapi Wa Ode
Di Festival Pulau Makassar, ina-ina yang rumahkan senja di matanya
Tangisi kenangan 1969 dalam lagu kerabat yang hilang
Tepukan dan permainan tangan orang dalam
Di Senayan, aspal meleleh dalam diplomasi batas tapal
Semua semu nan nyata
Dalam getir irisan gambus Kabanti

Kita menggenggam nasib
Menyelusuri pintu belakang kegulitaan istana raja
Penjara Kasim yang murung
Menjelma belasungkawa abadi
Mengoar di gelegak gelombang laut Buton

Baubau, 6 April 2016—28 September 2017

Catatan:
– Labu rope labu wana: Ungkapan bahasa Wolio di Buton yang artinya berlabuh haluan (depan), berlabuh buritan (belakang)yang bermakna menjaga serangan Kerajaan Gowa dan Kerajaan Ternate.
– 1969, Buton diklaim sebagai basis PKI oleh militer
– Muh. Kasim adalah Bupati Buton yang meninggal “gantung diri” di penjara tahun 1969 akibat dituduh sebagai PKI. Sebuah tuduhan yang tidak pernah dibuktikan oleh militer saat itu.

LEMBAH MOWEWE, PERAWAN TERSALIB
: Untuk Jenny

Perjalanan itu menderukan gemamu yang ranggas
Serupa raung mesin mengebor rahim Mekongga
Matamu pijar adalah puncak pinus
Memergoki cakrawala

Aku istirah di Lembah Mowewe
Merenungi pertemuan merah
Di dermaga Kolaka
Sambil meradang memandang nanah tanah
Dikeruk baja dan raja

Hidup seumpama perahu menjala
Lalu kalah terdampar di tebing senja.
O, betapa merdeka gelombang
Bergulung lalu berguling
Di dada-dada pantai
Sementara kita membilang butir pasir yang rekat
Di tubuh pendosa.

Kau kenangkah isyarat dan tabiat
Berkobar di deru waktu
Sebagian seumpama lintah
Yang lain haus darah
Lapar daging?

Lembah Mowewe yang gaib, perawan tersalib
Aku memetik bunga Sorume
Menancapkan di rambutmu warna Mekongga
Sebelum aus digerus gerigi
Sebelum raib dirajah para raja

Aku istirah di lembah Mowewe
Di lembah matamu yang meleleh

Mowewe, 13 Agustus 2007SYAIFUDDIN GANI PIC

SYAIFUDDIN GANI lahir di kampung Salubulung, Kelurahan Talippuki, Kecamatan Mambi, Kab. Polmas (kini, Kab. Mamasa), Prov. Sulsel (kini, Sulbar), 13 September 1978. Setamat di SMAN 1 Polewali tahun 1997, ia kemudian ke Kendari dan menjadi mahasiswa Universtas Haluoleo (kini, Halu Oleo), Jurusan Pendirikan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia & Daerah, FKIP. Sejak tahun 1998, bergabung dengan Teater Sendiri, belajar sastra dan teater di komunitas tersebut di bawah bimbingan Achmad Zain. Bersama Teater Sendiri pentas teater di berbagai kota di Indonesia seperti Kendari, Banjarmasin, Surabaya, Solo, Yogyakarta, dan Jakarta. Tahun 2006 menjadi pegawai Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Puisinya tersebar di berbagai media dan buku antologi puisi. Sejak 2014 menjadi peneliti sastra di kantor tersebut. Akhir tahun 2016 mendirikan Pustaka Kabanti di rumahnya bersama Ita Windadari dan Iwan Konawe. Di Pustaka Kabanti kini, menjadi arena menulis bagi setiap anggotanya.