Oleh: Mia Lestary

Hallo, perkenalkan nama saya Mia Lestary. Saya kuliah di Jurusan Perpustakaan dan Ilmu Informasi, Universitas Halu Oleo. Saat ini saya tinggal di Kelurahan Poasia, Kota Kendari, tepatnya di Perumnas Poasia Blok B No. 232. Saya ingin bercerita sedikit mengenai sejarah kampung halaman tempat saya bertumbuh yaitu Desa Lalonaha.

Sulawesi Tenggara mempunyai 17 kota/kabupaten, salah satunya Kabupaten Kolaka. Mayoritas penduduk Kolaka adalah Suku Tolaki, sehingga nama kecamatan dan desa kota ini lebih banyak menggunakan bahasa Tolaki. Gedung pemerintahan, tepatnya kantor bupati yang merupakan kantor pemerintahan teratas atau terbesar di Kolaka menggunakan bahasa Tolaki yaitu Wonua Sorume yang artinya Bunga Anggrek. Begitu pula dengan kecamatan yang ada di wilayah Kolaka. Salah satunya, Kecamatan Wolo.

Kecamatan Wolo mempunyai beberapa desa, salah satunya Desa Lalonaha, yaitu desa tempat aku lahir dan dibesarkan. Desa ini terletak di sebelah utara Kolaka, tepatnya berbatasan dengan Desa Iwoimopuro dan Desa Lana yang berjarak kurang lebih 65 km dari Kolaka. Kata Lalonaha berasal dari bahasa Tolaki yaitu tumbuhan yang menyerupai rotan dan biasa dianyam menjadi tikar anyaman karena bentuknya panjang. Diberi nama Lalonaha karena di kala itu terdapat banyak tanaman lalonaha yakni rumput panjang menyerupai rotan di hutan tersebut yang sekarang telah menjadi desa.

Penduduk Desa Lalonaha adalah Suku Toraja yang berasal dari Polewali dan Mamasa (kini bagian dari Provinsi Sulawesi Barat). Kisahnya, pada awal tahun 1978, warga Kecamatan Pana, mencari lahan untuk dikelola berharap agar hidupnya menjadi lebih baik. Saat itu, sampai akhirnya mereka memutuskan untuk menetap di desa tersebut. Mereka juga merupakan orang pertama yang mengelola tempat itu.

Awalnya hanya 11 orang yang datang yakni Karel S, Samuel Otong, Tangnga Lalan, Anton, M. Talebong, Markus Ilang, Paulus Ilang, R. Talebong, Dominggus Goa, Nehemia, dan Tangdi. Bermula adanya berita dari Zeth Palallo bahwa ada suatu tempat yang tanahnya bagus dan cocok untuk bertani yaitu di Unaasi, dulunya Desa 19 November. Sehingga mereka memutuskan datang dari Polewali dan Mamasa melihat tanah tersebut untuk dijadikan lahan persawahan. Namun, setelah melihat lahan tersebut mereka kurang yakin karena mereka melihat sudah ada tanda-tanda bahwa lahan itu pernah diolah. Mereka pun berniat pulang atau kembali ke Mamasa.

Nah, melihat kenyataan yang merisaukan ini, Zeth Palallo yang merupakan pihak yang memanggil ke-11 orang ini—yang juga masih merupakan keluarga—merasa kurang enak jika ke-11 keluarganya ini pulang tanpa membawa hasil apa pun. Zeth lalu mencarikan jalan keluar dengan mengarahkan ke bagian utara yaitu Kecamatan Wolo. Di sanalah mereka mulai merintis tempat atau hutan itu yang memang belum ada tanda-tanda pernah diolah. Mereka pun menandai wilayah itu sebanyak-banyaknya untuk dijadikan sebagai lahan miliknya. Saat itu belum ada orang yang mengelola lahan itu. Sistem yang berlaku masa itu adalah menunjuk atau menandai lahan belaka. Saat itu pula belum ada undang-undang yang mengatur tentang pembagian lahan dan hak milik.

Setelah mereka menandai lahan, mereka kemudian memanggil sanak saudara mereka dan memulai kehidupan dan menetap di sana serta beranak cucu. Tempat itu kini dipenuhi oleh suku dari Polewali Mamasa. Akhirnya, tempat itu dikategorikan layak atau memenuhi kriteria untuk menjadi sebuah desa yang di beri nama Desa Lalonaha oleh pemerintah setempat.

Pembaca budiman, akan tetapi, masyarakat lebih lazim menamai desa itu dengan panggilan desa Polmas (Polewali Mamasa) dengan alasan bahwa penduduk desa tersebut berasal dari Polewali dan Mamasa.
Itulah sejarah kecil desa tercintaku. Semoga tulisan ini bisa bermanfaat untuk kalian yang ingin tahu tentang desaku yakni Desa Polmas. Maksudku, Desa Lalonaha.

Kendari, 18 Oktober 2018

MIA

Mia Lestary

MIA LESTARY adalah seorang mahasiswa Jurusan Perpustakaan dan Ilmu Informasi, Fisip, Univ. Halu Oleo, Kendari. Mia, demikian sapaan akrabnya, lahir di Desa Lalonaha, Kabupaten Kolaka, 27 April 1999. Gadis berumur 19 tahun tersebut bersuku Toraja dan berasal dari Kabupaten Kolaka. Ia kini tinggal di Jalan Jenderal A.H. Nasution No.9, Kel. Kambu, Kec. Kambu, Kendari. Ia memiliki hobi membaca dan dengar musik. Tulisan ini adalah bagian dari Pelatihan Menulis bagi Relawan di Pustaka Kabanti Kendari.

#PustakaKabantiKendari
#PelatihanMenulisBagiRelawanBaru
#JurnalismeKomunitas