OLEH: GUNANI FITRIANI

Namaku Gunani Fitriani. Aku lahir tanggal 23 Agustus 2003, tepatnya 18 tahun silam. Aku berasal dari keluarga yang berekonomian cukup. Hidupku sederhana dari lahir hingga saat ini. Ayahku seorang PNS, ia bekerja pada salah satu sekolah di Muna Barat, yaitu SMA Negeri 1 Tikep. Sementara itu, ibuku menjadi seorang ibu rumah tangga. Aku adalah anak kedua dari enam bersaudara. Aku memiliki 1 kakak perempuan, 2 adik perempuan, dan 2 adik laki-laki.

Dibesarkan dari keluarga yang cukup sederhana serta memiliki saudara yang cukup banyak, membuat kami sering bertengkar dalam hal-hal kecil, baik masalah makanan atau pun pekerjaan. Kakak saya seorang perempuan yang sangat memperhatikan kebersihan, baik dari kebersihan rumah maupun kebersihan tubuh. Kakak saya adalah saudara saya yang paling rajin dibanding aku dan adik-adikku. Aku dan kakakku sangat berbanding terbalik. Kakakku saat umur 9–10 tahun ia selalu bangun pagi dan sangat rajin membantu pekerjaan ibu, dari mencuci piring hingga menyapu halaman. Sedangkan aku dan adikku di umur segitu, kami belum pernah bangun pagi sendiri, jangankan bangun pagi membantu ibu pun aku jarang sekali.

Kejadian masa kecil yang sampai saat ini masih teringat dan tak terlupakan adalah disaat aku dan teman teman bermain kelerang, main karet, main wayang. Hal yang paling serunya, kami berbondong-bondong pergi memancing di rawa. Awalnya kami tidak ada niat untuk memancing sampai ada salah seorang temanku bernama Arwin mengajak kami memancing. Ia berkata, ”Wehhh, bagus kalau pergi di rawa. Musim ikan ini. Besar-besar lagi. Lumayan buat bakar-bakar,” katanya. Aku dan teman-teman lainnya langsung mengiyakan. Segala persiapan kami siapkan, dari mencari kayu sebagai alat pancingnya tasi, mata pancing, serta tidak lupa mencari cacing untuk umpanan kami.

Setelah selesai menyiapkan segala peralatan untuk memancing kami langsung pergi ke rawa yang jaraknya tidak terlalu jauh dari tempat biasa kami bermain. Kira-kira sekitar tiga kilometer. Aku dan tujuh teman lainnya memulai perjalanan kami ke rawa sekitar pukul 14.00. Kebetulan cuacanya sedang bagus. Tidak hujan dan tidak panas, jadi enak untuk kami berjalan kaki.

Sebelumnya kuperkenalkan ketujuh temanku tadi. Kami berteman tidak memandang usia. Jadi ada perbedaan umur di antara aku dan teman-temanku. Nama ketujuh temanku tadi, yaitu Ella, Hasna, Arwin, Agus, Obi, Adi, dan Umam. Mereka teman satu kampungku. Ada yang kelas 5, 6, dan SMP kelas 1. Sedangkan aku saat itu kelas 6 SD.

Okeee. Ketika tiba di rawa, kami bersiap untuk memancing. Di rawa itu ada beberapa petak, yakni tujuh petakan peliharaan orang dan sepuluh petakan bebas. Tujuh petakan itu merupakan petakan Pak Galak, Sebenarnya Pak Galak itu bukan nama sebenarnya. Itu hanyalah nama samaran yang aku dan kawan-kawanku berikan. Bagaimana tidak galak, ia sangat suka marah-marah kepada orang yang memancing di situ. Padahal itu bukan miliknya. Bahkan kami pernah dikejar pakai parang.

Yaaaa, sebenarnya memang salah kita. Awal ceritanya mengapa kita dikejar sambal membawa parang, karena memancing di petak peliharan ikannya. Aku, Ela, dan Obi memancing di petakan umum. Hasna, Agus, dan Umam asyik mandi di rawa padahal air itu kotor dan berlumpur. Yah namanya anak-anak pasti apa pun yang menurutnya asyik pasti dianggab benar. Sedangkan Adi dan Arwin memancing di petak peliharaan Pak Galak itu. Tak lama, anaknya melihat dan langsung melapor kepada ayahnya. Beberapa menit kemudian, Pak Galak keluar sambil memegang parang. Ditodongnya ke atas sambil berteriak, “Woiii, siapa suruh memancing di situ. Kan sudah dibilang, jangan. Awas kamu!” teriaknya sambil berlari menuju ke kedua temanku tadi.

Temanku yang kaget langsung lari ke tempat kami dan berteriak, “Woi, Pak Galaaak. Woi, lari cepat.” Spontan kami kaget dan terkejut, Alih-alih berlari, saking kagetnya, saat mau berdiri, temanku malah terpeleset. Sialnya, dia menarik tanganku dan akhirnya kami berdua jatuh di dalam air. Cepat-cepatlah kami naik keatas dengan rasa takut yang tinggi serta badan yang basah kuyup dan dipenuhi lumpur.

Teman-temanku yang sedang mandi tadi lari terbirit-birit sampai lupa memakai sandal dan bajunya. Kami lari secepat-cepat mungkin agar tidak didapat oleh Pak Galak itu. Tibanya kami di tempat awal kami berkumpul tadi semua pulang ke rumah untuk membersihkan diri. Aaku yang sudah basah kuyup dan bau rawa ini sangat takut untuk pulang, karena ayahku selalu memperingati jangan pernah pergi ke rawa, sungai, dan kali. Dengan rasa takut yang cukup besar, aku memberanikan diri untuk pulang dan langsung masuk kamar mandi agar tidak ketahuan bahwa aku habis dari rawa. Sayangnya nasib buruk terjadi. Adik saya yang sangat cerewet itu melapor ke ayah saya.Tak lama kemudian ayah saya datang dengan muka datarnya langsung bertanya, “Dari mana kamu, pulang bau rawa begini.” Dengan nada gugup, aku menjawab, ”Dari mancing, Pak.” Dengan nada tinggi, ayahku berkata, ”Bagus, untung ko pulang masih utuh badanmu. Kalau ko dimakan buaya di sana, bagaimana? Siapa yang tahu?”

Cukup panjang ceramah dari ayahku sampai membuat aku menangis. Tetapi untungnya ayahku tidak memukulku. Setelah kejadian itu, aku tetap pergi ke rawa untuk memancing. Alhamdulillah beberapa hari tidak ketahuan bahwa saya main di rawa. Sampai kami pergi ke rawa pada hari Jumat, kami lupa bahwa itu hari Jumat. Ayahku keliling mencariku menggunakan motor, tapi tidak kunjung menemuiku. Akhirnya, ada salah satu temanku yang lain memberitahu ayahku.
“Fitri pergi mancing Pak Guru, sama teman-temannya.”

Temanku juga cerita sama ayahku bahwa aku sering ke sana. “Matilah kalau aku pulang,”ucapku dalam hati. Pulanglah aku lewat pintu belakang. Tahu-tahunya, ayahku duduk di meja makan sudah dengan batang kayu gamalnya. Merindinglah aku.

Ayahku langsung berteriak dengan nada tinggi, “Fitriiii, mandi di rawa lagi kamu, iyo. Bagus ko pulang. Kalau ko dimakan buaya, kapok!” bentak ayahku.

Aku yang dari awal sudah menangis ditambah bentakan, tambah berlinang deras air mataku. Untunglah nasib baik mash berpihak padaku. Ibuku menghalangi ayahku agar tidak memukulku dan berhenti memarahiku.

Akhirnya ibuku menyuruhku untuk bersih-bersih dan makan.

Semenjak kejadian itu aku, masih mengulanginya terus sampai dapat hantaman dari ayahku. Tetapi, walau begitu ayahku tetap memperhatikan aku serta sayang padaku. Meskipun ayahku terlihat cukup sangar tapi ia memiliki hati yang lembut. Ayahku menjadi sebuah panutan dalam diri saya. Dari cara ia mendidik anak-anaknya walaupun terlihat keras tapi itulah salah satu cara agar anak-anaknya menjadi anak yang kuat dan tangguh untuk menghadapi suatu masalah dan kerasnya persaingan di dunia yang terada abadi ini.

Itulah kejadian yang sangat teringat dari aku kecil hingga saat ini.

Kendari, 28 November 2021.

GUNADI FITRIANI biasa dipanggil Fitri, lahir tanggal 23 Agustus 2003 di Kambara, Kabuaten Muna Barat. Saat ini menempuh pendidikan di Universitas Halu Oleo, Prodi Perpustakaan dan Ilmu Informasi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.