Oleh: Syaifuddin Gani
Peneliti di Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara. Kini bekerja sebagai peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)
Sungguh, Maret menjadi bulan yang berkesan bagi masyarakat dunia. Pandemi korona yang mulai merebak di tangga Februari, meluaskan wabahnya sampai di ruang tamu Maret. Bahkan, dengan leluasa kini pun memasuki pintu April. Dunia kalut sekaligus sepi. Kalut karena berjibaku menghindar dan melawan sang virus. Orang orang sakit. Ada yang sembuh, dirawat, bahkan bertumbangan mati. Bulu kuduk kita bergidik ketika melihat ratusan peti mengantar mayat. Rasa kemanusiaan kita tiba-tiba tersentuh. Di sisi lain, dunia sepi karena umat manusia pada akhirnya memilih berdiam di rumah saja. Hari hari berat sepertinya akan bergerak sampai di haribaan Mei, saat Ramadan bulan suci itu mendatangi umat Muslim.
Tagar (tanda pagar) di rumah saja (#DiRumahSaja) menjadi viral bersamaan dengan #KerjadariRumah. Selain karena mengikuti imbauan pemerintah, juga adanya gerakan masif di tataran akar rumput. Penggiat media sosial menggaungkan agar segala pekerjaan dilakukan di rumah saja. Rumah menjadi penting kembali sebagai tempat tinggal, bekerja, dan belajar. Pimpinan saya di Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara mengeluarkan surat pemberitahuan sebagai bagian dari tanggap pandemi korona, bahwa sejak 23 Maret—3 April para staf mulai bekerja dari rumah.
Pekerjaan kantor dikerjakan di rumah. Dengan demikian, sudah lebih satu minggu, saya di rumah saja. Dengan lain kata, saya bekerja dari rumah. Sebagai abdi negara, saya mulai bekerja dari rumah, yakni mengerjakan tugas kantor di rumah. Rumah menjadi kantor. Kantor yang sesungguhnya di sana, menjadi rumah sepi. Jadi, saya sesungguhnya tidak sekadar di rumah saja. Rumah menjadi arena pekerjaan. Sebagai peneliti, di bulan Maret saya harus mengerjakan tiga tugas penelitian tim. Pertama, penyusunan ensiklopedia sastra Sulawesi Tengara. Kedua, masa awal perkembangan sastra Sulawesi Tenggara. Ketiga, vitalitas sastra lisan Tolaki. Data dikumpulkan sejak Februari sehingga penginputan sudah dilakukan ketika masih di kantor. Memasuki penghujung Maret, pandemi korona membuat segalanya berubah. Konsep #KerjadariRumah menjadi keniscayaan. #DiRumahSaja tidak terhindarkan. Era teknologi informasi membuat kerja di rumah lebih mudah. Komunikasi digital antaranggota tim adalah cara yang harus ditempuh. Percakapan di grup Whatsapp lebih masif. Saling tukar data, koreksi, evaluasi, dan verifikasi menghiasi cara kerja #DiRumahSaja. Di sini, kata-kata menggerakkan pekerjaan. Teknologi digital menjadi jembatannya.
Tinggal #DiRumahSaja yang membawa pekerjaan kantor di ruang keluarga, membuat pekerjaan menjadi berganda. Selain pekerjaan kantor, pekerjaan rumah sehari-hari minta ditunaikan. Sepakan #DiRumahSaja menjadi meriah dengan percampuran tugas kantor dan tugas rumah. Di sela-sela menginput data sastrawan Sulawesi Tenggara, juga harus mengecek pakaian di mesin cuci yang sementara bekerja. Mengalkulasi vitalitas sastra lisan Tolaki, pada saat yang hampir bersamaan harus mengetahui vitalitas keuangan keluarga di tanggal tua.
Hidup di era digital membuat dua dunia bekerja pada saat yang sama: dunia nyata dan dunia maya. Saat membuka referensi mengenai masa-masa awal sastra Sulawesi Tenggara, tiba-tiba di layar Facebook, seorang penggiat teknologi digital menulis keluhan. Ia dan delapan kawannya dipecat dari sebuah pekerjaan sebagai efek pandemi korona. Produksi sebuah video terhenti. Ia katakan bahwa berhenti dari sebuah pekerjaan di masa yang mengharuskan #DiRumahSaja menjadi sebuah kecemasan berlipat. Betapa tidak, ada beban hidup keluarga yang harus dipenuhi. Tiba-tiba rasa empati sosial saya bergejolak. Ada ribuan bahkan jutaan manusia Indonesia dan dunia yang memiliki nasib yang sama. Saya #KerjadariRumah dan #DiRumahSaja dalam kepungan situasi mencemaskan seperti itu.
#DiRumahSaja sambil melaksanakan pekerjaan kantor, peran teknologi digital begitu besar. Kehadiran (kedatangan dan kepulangan) ditentukan lewat sistem digital. Progresivitas pekerjaan dilaporkan secara digital melalui aplikasi. Akan tetapi, #KerjadariRumah dalam konsep #DiRumahSaja, tidaklah mudah. Ia menyimpan kerumitannya sendiri.
Bagi orang tua yang memiliki dua anak usia sekolah dasar seperti saya, beban #DiRumahSaja menjadi lebih terasa. Di telepon genggam saya, lebih dua puluh grup Whatsapp senantiasa bunyi. Grup yang wajib saya buka dan respon adalah grup kantor. Dua grup lain yang ada di telepon genggam saya dan istri adalah grup orang tua dan guru kelas kedua anak kami. Tugas yang terkirim di dalamnya jauh lebih banyak dibanding tugas kantor. Bunyi notifikasi memenuhi ruang keluarga di rumah. Selain itu, ditambah oleh bunyi dari puluhan grup lain dan dari berbagai aplikasi media sosial, baik di telepon genggam maupun di laptop. Bunyi yang menyampaikan kata kerja. Kami sekeluarga pun dibuat bekerja olehnya. Bekerja dengan kata-kata. Sebuah pekerjaan yang keluar-masuk antara dunia nyata dan dunia maya.
Saya dan istri silih-berganti memeriksa pekerjaan dua anak kami. Anak pertama kelas lima di sebuah sekolah dasar negeri. Anak kedua sekolah di salah satu PAUD swasta. Rasa rasanya, tugas anak kedua lebih banyak. Saya dan istri ikut membaca tugas mereka dan ikut berjuang menunjukkan jalan yang benar dalam mengerjakannya. Yah, karena namanya masih di sekolah dasar, semua mata pelajaran dikerjakan. Saya bolak-balik dari sebuah teks wacana yang dikirim melalui grup Whatsapp ke laptop dalam kerja algoritma melalui pencarian di mesin Google. Pesan penting dari tugas ini adalah harus ada jaringan internet. Apakah semua orang tua punya “kesempatan” untuk membeli jaringan?
Anak pertama saya pun sibuk mewarnai wajah harimau yang dikirim gurunya, yang saya cetak melalui mesin printer. Anak kedua harus menulis kembali urutan peristiwa sebuah dongeng dari buku pelajar sekolah yang dikirim guru melalui grup Whatsapp. Istri saya harus siaga antara dapur penggorengan dan meja belajar. Menggoreng ikan dan memacu semangat anak-anak, saling berpadu menjadi tarian yang mengiringi kerja di rumah.
Apakah hanya itu yang mewarnai kerja dari rumah yang dilakukan di rumah saja? Bagi saya pribadi, tidak cukup. Ada kegairahan bersifat personal yang membuat saya “menikmati” kenyataan ini. Di tengah perjuangan melawan wabah korona, kecemasan terjangkit, tugas kantor, tugas rutin rumah tangga, dan membantu anak menyelesaikan tugas sekolah, ada pekerjaan lain yang saya lakukan. Saya memiliki komunitas yang juga harus tetap bekerja di tengah semua ini. Pustaka Kabanti adalah nama komunitas saya yang bekerja dalam diam karena pertemuan fisik dengan anggota tidak memungkinkan. Saya sesekali berkomunikasi secara digital dengan beberapa anggota.
Saya mendata kembali buku dan majalah sastra yang memuat karya sastrawan Sulawesi Tenggara yang ada di rak Pustaka Kabanti. Saya lalu memotret setiap buku lalu saya kirim di Instagram dan Twitter Pustaka Kabanti. Hal ini penting untuk mendokumentasikan karya sastrawan Sulawesi Tenggara di sistem penyimpanan digital yang dapat diakses banyak orang. Sebuah langkah kecil untuk menyiarkan karya kreatif sebagian manusia Sulawesi Tenggara. Kerja lain adalah menyeleksi puisi yang dikirim untuk dimuat di Blog Pustaka Kabanti Kendari.
Tiba-tiba saya sadar bahwa dokumentasi sastra yang saya kerjakan, masih terkait dengan tugas kantor. Artinya, data dokumentasi sastra itu dapat lagi digunakan sebagai bahan ensiklopedia sastra Sulawesi Tenggara dan penulisan masa awal perkembangan sastra Sulawesi Tenggara. Pemuatan puisi karya penyair muda Kendari adalah bagian dari pemetaan sastra Sulawesi Tenggara juga. Demikianlah, ternyata kegairahan bekerja di berbagai ruang dapat bertemu kembali dalam tujuan yang sama. Ensiklopedia, vitalitas sastra, dokumentasi sastra, tugas anak di rumah, sampai mengelola blog sastra adalah pekerjaan yang melibatkan kata-kata sebagai medium sekaligus pesan.
Pandemi korona dan efek yang diberikannya, kembalinya masyarakat dunia ke rumah masing-masing, bertemunya pekerjaan (orang tua, anak, rumah tangga), serta dampak psikologis yang diakibatkannya mengandung hikmah besar. Tempat tinggal kita telah menjadi rumah yang sesungguhnya, rumah kerja dan rumah pengetahuan. Sebuah masa suram yang dapat mendorong untuk sesuatu yang benderang. Sebuah masa untuk berumah di kata-kata. Bekerja dengan kata-kata.
Kendari, 3 April 2020

CATATAN:
Esai ini dikutip sepenuhnya dari Rubrik Bahasa, Sastra, & Budaya di Harian Rakyat Sultra sebagai edisi perdana pada Senin, 6 April 2020. Kehadiran rubrik tersebut merupakan Program Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara, kerja sama dengan Rakyat Sultra, yang dimulai sejak 2016. Sampai saat ini, yakni 2023, adalah tahun ketujuh kehadiran rubrik tersebut yang selain memuat karya penulis Sulawesi Tenggara, juga penulis dari berbagai wilayah tanah air. Dengan rubrik tersebut, termasuk kategori rubrik nasional. Pada saat esai ini dimuat kembali di blog tahun 2023 ini, peta dan situasi literasi, termasuk rumah-rumah buku di atas sudah mengalami perubahan.